SEJARAH AWAL TEOLOGI
ISLAM
Prakata : Ini adalah saya dapatkan copas dr sebuah
makalah dr Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, sangat menarik utuk
dibaca....mudah2an ini bisa menambah wawasan pengetahuan kita ttg "Sejarah
Teologi Islam"(ini mungkin SEJARAH MENGAPA BANYAK FIRQAH DLM ISLAM),
adapun jk ada keterangan dalam content tulisan ini salah, silahkan aku mencoba mengkoreksinya
dengan bukti2 atau dalil yg shohih agar kita semua bisa mendapat
hikmahnya.......aamiin !!!
Sejarah Teologi Islam
untuk memenuhi tugas matakuliah:
pengembangan pembelajaran
multimedia sejarah
BAB I
SEJARAH AWAL TEOLOGI ISLAM
Menurut William L. Resse, Teologi berasal dari bahasa
Inggris yaitu theology adalah Pemikiran tentang ketuhanan.[1]
Menurut William Ockham, Teologi adalah Disiplin ilmu
yang membicarakan kebenaran wahyu serta independensi filsafat dan ilmu
pengetahuan.[2]
Menurut Ibnu Kaldun, Teologi adalah disiplin ilmu yang
mengandung berbagai argumentasi tentang akidah imani yang diperkuat dalil-dalil
rasional.
1.2 SEJARAH TIMBULNYA PERSOALAN-PERSOALAN TEOLOGI DALAM ISLAM
Timbulnya aliran-aliran teologi Islam tidak terlepas
dari fitnah-fitnah yang beredar setelah wafatnya Rasulullah Saw. Setelah
Rasulullah Saw wafat peran sebagai kepala Negara digantikan oleh para
sahabat-sahabatnya, yang disebut khulafaur Rasyidin yakni Abu Bakar, Umar bin
Khatab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Namun, ketika pada masa
Utsman bin Affan mulai timbul adanya perpecahan antara umat Islam yang
disebabkan oleh banyaknya fitnah yang timbul pada masa itu. Sejarah mencatat,
akibat dari banyaknya fitnah yang timbulkan pada masa itu menyebabkan
perpecahan pada umat Islam, dari masalah politik sampai pada masalah teologis.
1. Persoalan Politik
Awal mula perpecahan bisa kita simak sejak kematian
Utsman bin Affan r.a. Ahli sejarah menggambarkan ‘Usman sebagai orang yang
lemah dan tak sanggup menentang ambisi keluarganya yang kaya dan berpengaruh
itu untuk menjadi gubernur. Tindakan-tindakan yang dijalankan Usman ini
mengakibatkan reaksi yang tidak menguntungkan bagi dirinya. Sahabat-sahabat
nabi setelah melihat tindakan Usman ini mulai meninggalkan khalifah yang ketiga
ini. Perasaan tidak senang akan kondisi ini mengakibatkan terjadinya
pemberontakan, seperti adanya lima ratus pemberontak berkumpul dan kemudian
bergerak ke Madinah. Perkembangan suasana di Madinah ini membawa pada
pembunuhan Usman oleh pemuka-pemuka pemberontak di Mesir ini
. Setelah Usman wafat Ali sebagai calon terkuat
menjadi khalifah keempat. Tetapi segera ia mendapat tantangan dari
pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi khalifah, terutama Talhah dan Zubeir dari
Mekkah yang mendapat sokongan dari Aisyah. Tantangan ini dapat dipatahkan Ali
dalam pertempuran yang terjadi di Irak tahun 656 M. Talhah dan Zubeir mati
terbunuh dan Aisyah dikirim kembali ke Mekkah.[3]
Tantangan kedua datang dari Mu’awiyah, Gubernur
Damaskus dan keluarga dekat Usman. Ia menuntut Ali supaya menghukum
pembunuh-pembunuh Usman, bahkan ia menuduh bahwa Ali turut campur dalam soal
pembunuhan itu. Dalam pertempuran yang terjadi antara kedua golongan ini di
Siffin, tentara Ali mendesak tentara Mu’awiya sehingga yang tersebut akhir ini
bersiap-siap untuk lari. Tetapi tangan kanan Mu’awiyah Amr Ibn al-’As yang
terkenal sebagai orang licik minta berdamai dengan mengangkat al-Quran keatas.
Qurra’ atau syi’ah yang ada dipihak Ali mendesak Ali untuk mnerima tawaran itu
dan dicarilah perdamaian dengan mengadakan arbitase. Sebagai pengantara
diangkat dua orang, yaitu Amr Ibn al-‘As dari pihak MU’awiyah dan Abu Musa
al-Asy’ari dari pihak Ali. Dalam pertemuan mereka, kelicikan Amr mengalahkan
perasaan takwa Abu Musa. Sejarah mengatakan bahwa keduanya terdapat pemufakatan
untuk menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan, Ali dan Mu’awiyah.Tradisi
menyebutkan bahwa Abu Musa terlebih dahulu mengumumkan kepada orang ramai
putusan menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan itu. Berlainan dengan apa
yang telah disetujui, Amr mengumumkan hanya menyutujui penjatuhan Ali yang
telah di umumkan Abu Musa, tetapi menolak penjatuhan Mu’awiyah. Peritiwa ini
merugikan bagi Ali dan menguntungkan bagi Mu’awiyah. Khalifah yang sebenarnya
adalah Ali, sedangkan Mu’awiyah kedudukannya tak lebih dari Gubernur daerah
yang tak mau tunduk kepada Ali sebagai khalifah. Dengan adanya arbitase ini
kedudukannya telah naik menjadi khalifah yang tidak resmi.[4]
Sikap Ali yang menerima dan mengadakan arbitase ini,
sungguhpun dalam keadaan terpaksa, tidak disetujui oleh sebagian tentaranya.
Mereka berpendapat bahwa hal serupa itu idak dapat diputuskan oleh arbitase
manusia. Putusan hanya datang dari Allah dengan kembali kepada hukum-hukum yang
ada dalam al-Quran. La hukma illa lillah (tidak ada hukum selain hukum dari
Allah) atau la hakama illa Allah (Tidak ada pengantar selain dari hukum Allah),
menjadi semboyan mereka.[5]
Mereka memandang Ali telah berbuat salah , oleh karena
itu mereka meninggalkan barisannya. Golongan mereka inilah dalam sejarah islam
terkenal dengan nama al-Khawarij, yaitu orang yang keluar dan memisahkan diri.
Karena memandang Ali bersalah dan berbuat dosa, mereka
melawan Ali. Ali sekarang menghadapi dua musuh, yaitu Mu’awiyah dan
Khawarij.karena selalu mendapat serangan dari kedua pihak ini Ali terlebih
dahulu memusatkan usahanya untuk menghancurkan Khawarij. Setelah Khawarij kalah
Ali terlalu lelah untuk meneruskan pertempuran dengan Mu’awiyah. Mu’awiyah
tetap berkuasa di Damaskus dan setelah Ali wafatia dengan mudah dapat
memperoleh pengakuan sebagai khalifah umat Islam pada tahun 661 M.
Persoalan-persoalan politik yang terjadi ini akhirnya
menimbulkan persoalan teologi. Timbullah persoalan siapa yang kafir dan siapa
yang bukan kafir. Khawarij menganggap Ali, Mu’awiyah, Amr Ibn al-‘As, Abu Musa
al-Asy’ari dan lain-lain yang telah menerima arbitase adalah kafir. Karena
keempat pemuka ini dianggap kafir dalam arti telah keluar dari islam, kaum
Khawarij menganggap mereka harus dibunuh.
Lambat laun kaum Khawarij pecah menjadi beberapa
sekte. Konsep kafir turut pula mengalami perubahan. Yang dipandang kafir bukan
lagi hanya orang yang tidak menentukan hukum dengan al-Qur’an, tetapi orang
yang berbuat dosa besar juga dipandang kafir.
Persoalan orang yang berbuat dosa inilah yang kemudian
mempunyai pengaruh besar terhadap pertumbuhan teologi selanjutnya dalam islam.
Persoalan ini menimbulkan tiga aliran teologi, yaitu Khawarij, Murji’ah,
Mu’tazilah.
Aliran Khawarij mengatakan bahwa orang yang telah
berbuat dosa besar adalah kafir, dalam arti telah keluar dari agama islam dan
ia wajib dibunuh. Kaum Murji’ah mengatakan bahwa orang yang telah melakukan
dosa besar tetap masih mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang
dilakukannya, terserah kepada Allah SWT yang mengampuninya atau tidak.
Sedangkan Mu’tazilah sebagai aliran ketiga tidak menerima pendapat diatas. Bagi
mereka orang yang telah berbuat dosa besar bukan kafir tetapi bukan pula
mukmin. Orang yang seperti ini menurut mereka mengambil posisi diantara dua
posisi mukmin dan kafir yang dalam bahsa arabnya terkenal dengan istilah
almanzilah bain al-manzilitain (posisi diantara dua posisi).
Dalam keadaan seperti ini timbullah dua aliran teologi
yang terkenal dengan nama al-qadariah dan al-jabariah. menurut al-qadariah
manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Sebaliknya
dengan al-jabariah berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam
kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam tingkah lakunya bertindak dengan
paksaan Tuhan dan gerak-gerik ditentukan oleh Tuhan, menurut jabariah.
Selanjutnya, kaum Mu’tazilah dengan diterjemahkannya buku-buku falsafat dan
ilmu pengetahuan Yunanikedalam bahsa Arab,terpengaruh oleh pemakaian rasio atau
akal yang mempunyai kedudukan tinggidalam kebudayaan Yunani klasik itu. Dengan
pemakaian rasio ini oleh kaum Mu’tazilah membawa mereka untuk mengambil teologi
liberal, dalam arti bahwa sungguhpunkaum Mu’tazilah banyak mempergnakan rasio
mereka, mereka tidak meninggalkan wahyu. Dengan penggambaran diatas sudah pasti
bahwa Mu’tazilah lebih memilih qadariah dibanding jabariah yang mana golongan yang
percaya pada kekuatan dan kemerdekaan akal untuk berfikir.[6]
Teologi mereka yang bersifat rasional dan liberal ini
membuat kaum intelegensia tertarik akan teologi mereka yang terdapat dalam
lingkungan pemerintahan Kerajaan Islam Abbasiah dipermulaan abad ke-9 Masehi.
Khalifah al-Ma’mun, putra dari khalifah Harun al-Rasyid pada tahun 827 M
menjadikan teologi Mu’tazilah sebagai mazhab yang resmi dianut negara. Katena
telah menjadi aliran resmi dari pemerintahan, kaum Mu’tazilah mulai bersikap
paksa dalam menyiarkan ajaran mereka. Terutama paham mereka bahwa al-Qur’an
bersifat makhluq dalam arti diciptakan bukan bersifat qadim dalam arti kekal
dan tidak diciptakan.[7]
Aliran mu’tazilah yang bersifat rasional ini
menimbulkan tantangan keras dari golongan tradisional Islam, terutama golongan
Hambali, yaitu pengikut-pengikut mazhab Ibn Hambal..politik menyiarkan aliran
Mu’tazilah secara kekerasan berkurang setelal al-Ma’mun meninggal pada tahun
833 M, dan akhirnya aliran Mu’tazilah sebagai mazhab resmi dari negara
dibatalkan oleh khalifah al-Mutawwakil pada tahun 856 M. dengan demikian kaum
Mu’tazilah kembali kepada kadudukan mereka semula, tetapi kini mereka telah
mempunyai lawan yang bukan sedikit dari kalangan umat islam.
Perlawanan ini kemudian mengambil bentuk aliran
teologi tradisional yang disusun oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari (932 M).
Al-Asy’ari sendiri pada mulanya adalah mu’tazilah, tetapi kemudian menurut
riwayatnya setelah melihat dalam mimpi bahwa ajaran-ajaran Mu’tazilah diocap
Nabi Muhammad sebagai ajaran yang sesat, al-Asy’ari meninggalkan ajaran tiu dan
membentuk ajaran baru yang trerkenal dengan nama teologi al-Asy’ariah atau
al-Asya’irah.[8]
Disamping aliran asy’ariah timbul pula di Samarkand
perlawanan menentang aliran Mu’tazilah yang didirikan oleh Abu Mansur Muhammad
al-Maturidi. Aliran ini dikenal dengan nama teologi al-Maturidiahyang mana
tidak bersifat setradisional al-Asy’ariah, akan tetapi tidak pula seliberal
Mu’tazilah.
Selain Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur
al-Maturidi ada lagi seorang teolog dari Mesir yang juga bermaksud menentang
ajaran-ajaran kaum Mu’tazilah. Teolog itu bernama al-Tahawi (933 M) yang mana
ajaran-ajaran ini tidak menjelma sebagai aliran teologi Islam.
Dengan demikian aliran-aliran teologi penting yang timbul
dalam islam adalah aliran Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’ariah dan
Maturidiah. Aliran Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah tidak mempunyai wujud lagi
kecuali dalam sejarah. Yang masih ada sampai sekarang ialah aliran Asy’ariah
dan Maturidiah, dan keduannya disebut Ahl Sunnah wa al-Jama’ah. Aliran
Maturidiah banyak dianut oleh umat Islam yang bermazhab Hanafi, sedangkan
aliran Asy’ariah pada umumnya dipakai oleh umat Islam Sunni lainnya.
Dengan masuknya kembali paham rasionalisme kedunia
islam yang mana sekarang masuk melalui kebudayaan modern. Banyak ajaran-ajaran
Mu’tazilah mulai timbul kembali, khususnya dikalangan kauimintelegensia islam yang
mendapat pendidikan Barat.
[1]
Abdul Rozak. Ilmu Kalam. Bandung :Pustaka Setia. 2007. Hal. 14
BAB II
MADZHAB-MADZHAB
TEOLOGI ISLAM
1. Khawarij
a. Asal Usul dan Sejarah Khawarij
Kata khawarij secara etimologi berasal dari bahasa
Arab, yaitu kharaja yang berarti keluar, muncul, timbul atau memberontak.
Syahrastani mengartikan khawarij sebagai kelompok masyarakat yang memberontak
dan tidak mengakui terhadap imam yang sah dan sudah disepakati oleh kaum muslimin,
baik pada masa sahabat, pada masa tabiin maupun pada masa sesudahnya.[1] Namun,
menurut Harun Nasution ada pula pendapat yang mengatakan bahwa nama khawarij
diberikan atas surat an-Nisa ayat 100 yang didalamnya disebutkan : “Keluar dari
rumah lari kepada Allah dan Rasul-Nya”. Dengan demikian kaum khawarij memandang
diri mereka sebagai orang yang meninggalkan rumah dari kampung halamannya untuk
men gabdikan diri kepada Allah dan RasulNya.[2]
Selain itu mereka menyebut diri mereka Syurah, yang
berasal dari kata Yasyiri (Menjual), sebagaimana disebutkan dalam Al-Baqoroh
ayat 207 : “Ada manusia yang menjual dirinya untuk keridhaan Allah”. Nama lain
yang diberikan kepada mereka adalah Haruriah, dari kata harura, suatu desa
didekat kufah, Irak. Di tempat inilah, mereka yang pada waktu itu berjumlah dua
belas ribu orang berkumpul setelah memisahkan diri dari Ali. Disini mereka
memilih ‘Abdullah bin abdul wahab al-Rasyidi menjadi imam sebagai ganti dari
Ali bin Abi Thalib. Dalam pertempuran dengan Ali mereka mengalami kekalahan
besar, tetapi seorang khawarij bernama Abd al-Rahman Ibn Muljam dapat membunuh
Ali.[3]
Khawarij merupakan kelompok pertama yang tidak
mengakui bahkan memberontak terhadap Ali Bin Abi Thalib setelah terjadinya
Arbitrase antara Ali dan Muawiyah. Pada mulanya, kelompok ini berjuang di pihak
Ali ketika terjadi perang siffin antara Ali dan Muawiayah dan kelompok inilah
yang mendukung Ali untuk melakukan Arbitrase dengan Muawiyah. Namun setelah Ali
dan Muawiyah melakukan arbitrase, kelompok ini menolak kesepakatan arbitrase dan
keluar dari kelompok Ali.[4]
Sebelumnya, menurut sebagian pendapat, Ali sebenarnya
mencium adanya tipu daya dibalik ajakan perundingan damai tersebut sehingga ia
bermaksud menolak permintaan itu. Namun, karena desakan sebagian pengikutnya,
terutama Ahl-Qurra. Dengan sangat terpaksa Ali menerima permintaan perjanjian
damai tersebut. Dalam perundingan damai tersebut, Ali mengutus Abdullah bin
Abbas sebagai delegasi juru damai (Hakam)nya, tetapi orang khawarij menolaknya.
Mereka beralasan bahwa Abdullah bin Abbas berasal dari kelompoknya Ali sendiri.
Kemudian mereka mengusulkan agar Ali mengirim Abu Musa al Asy’ary dengan
harapan yang dapat memutuskan perkara berdasarkan Kitabullah. Keputusan tahkim
menurut riwayat, yakni Ali diberhentikan jabatannya sebagai khalifah oleh
utusannya dan mengangkat Muawiyah sebagai Khalifah sangat mengecewakan
orang-orang Khawarij. Mereka membelot dengan mengatakan, “Mengapa kalian
berhukum kepada manusia, Tidak ada hukum selain hukum disisi Allah.” Ali r.a
menjawab,” Ini adalah ungkapan yang benar, tetapi mereka artikan dengan
keliru.” Pada saat itulah orang-orang khawarij keluar dari pasukan Ali r.a dan
menuju Harura. Itulah sebabnya, khawarij disebut sebagai Haruriah. Dengan
Arahan Abdullah Al-Kiwa, mereka sampai di Harura. Di Harura, kelompok Khawarij
ini melanjutkan perlawanan terhadap Muawiyah dan juga kepada Ali. Mereka
mengangkat seorang pemimpin bernama Abdullah bin Shahab Ar-Rasyibi.[5]
Kadang-kadang mereka disebut dengan Syurah dan Al Mariqoh.[6]
Gerakan khawarij berpusat di dua tempat. Yaitu di
Bathaih yang menguasai dan mengontrol kaum khawarij yang berada di Persia dan
sekeliling Irak. Tokoh-tokohnya ialah Nafi’ Bin Azraq, Qathar bin Faja’ah.
Lainnya bermarkas di Arab daratan yang menguasai kaum khawarij yang berada di
Yaman, Hadlaramaut, dan Thaif. Tokoh-tokohnya ialah Abu Thaluf, Najdar bin
Amri, dan Abu Fudaika.[7]
b.
Doktrin-doktrin pokok Khawarij[8]
Diantara
doktrin-doktrin pokok Khawarij
adalah berikut
ini. Khalifah atau Imam harus dipilih secara bebas oleh kaum Muslimin; Khalifah
tidak harus berasal dari keturunan Arab. Siapapun berhak menjadi khalifah
apabila memenuhi syarat;
Khalifah dipilih secara permanen selama yang
bersangkutan bersikap adil dan menjalankan syariat Islam. Ia harus dijatuhkan
bahkan dibunuh kalau melakukan kezaliman;
Khalifah sebelum Ali (Abu Bakar, Umar, dan Utsman)
adalah sah. Tetapi setelah tahun ketujuh dari masa kekhalifahannya, Utsman r.a
dianggap telah menyeleweng;
Khalifah Ali adalah sah, tetapi setelah adanya
Arbitrase, ia dianggap telah menyeleweng;
Muawaiyah dan Amr bin Ash serta Abu Musa Al-As’ary juga telah dianggap
menyeleweng dan telah menjadi kafir;
Pasukan
perang jamal yang telah melawan Ali juga Kafir;
Seseorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim
sehingga harus dibunuh. Yang lebih parah, mereka menganggap bahwa seorang
muslim dapat menjadi kafir apabila ia tidak mau membunuh muslim lain yang telah
dianggap kafir dengan resiko ia menanggung beban harus dilenyapkan pula;
Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung dengan
golongan mereka. Bila tidak mau bergabung maka ia wajib diperangi karena hidup
dalam dar el-harb (Negara musuh), sedang golongan mereka sendiri dianggap
berada dalam dar al-islam (Negara Islam);
10. Seseorang harus menghindar dari pimpinan yang
menyeleweng;
11. Adanya wa’ad dan wa’id (Orang yang baik harus masuk surga, sedangkan yang
jahat harus masuk kedalam neraka);
12. Amar ma’ruf nahi munkar;
13. Memalingkan ayat-ayat al-Quran yang tampak Mutasabihat (samar);
14. Quran adalah makhluk;
15. Manusia bebas memutuskan perbuatannya, bukan dari Tuhan;
c.Perkembangan Khawarij
Kaum khawarij yang pada umumnya terdiri dari
orang-orang Arab badawi yang hidup di padang pasir tandus membuat mereka
bersifat sederhana dalam tetacara hidup dan pemikiran, tetapi keras hati,
berani, bersifat merdeka, dan tidak bergantung pada orang lain. Perubahan agama
tidak membawa perubahan pada sifat-sifat ke-badawiyan mereka. Akibat dari
sifat-sifat seperti inilah mereka bersikap keras walaupun dengan sesama muslim.
Selain itu, merekapun terpecah belah dalam beberapa golongan/sekte.[9]
Menurut Asy-Syahrastani, mereka terpecah menjadi
delapan belas subsekte, namun sekte yang paling pentingnya adalah Al-Muhakimah,
Al-Azariqoh, An-Najdiyah, Al-Baihasiyah, Al-A’jaridah, ats-Ts’alibah, dan
as-Shufriyah.[10] Menurut al-Bagdady, seperti yang dikutip harun nasution ada
dua puluh sub sekte Khawarij.[11]
Sekte-sekte Khawarij tersebut membicarakan persoalan
hukum bagi orang yang berbuat dosa besar, apa dia masih dianggap mukmin atau
dia telah menjadi kafir. Doktrin inilah yang terlihat mendominasi mereka,
sedangkan doktrin-doktrin lainnya hanya sebagai penunjang saja. Pemikiran
subsekte ini bersikap praktis daripada teoritis sehingga kriteria mukmin dan
kafirnya menjadi tidak jelas. Hal ini membuat kondisi tertentu seseorang yang
bias menjadi kafir dan dalam waktu bersamaan menjadi seorang mukmin.[12]
Tindakan-tindakan Khawarij ini membuat risau Umat
Islam saat itu, sebab dengan cap kafir yang diberikan salah satu subsekte
Khawarij tertentu, jiwa seseorang harus melayang, meskipun oleh subsekte lain
masih dianggap mukmin. Bahkan, dikatakan bahwa jiwa seorang Yahudi dan Majusi
itu lebih berharga daripada dengan jiwa seorang mukmin. Namun begitu, ada
subsekte Khawarij yang agak lunak, yaitu Najdiyah dan Ibadiyah. Keduanya
membedakan antara kafir nikmat dan kafir agama. Kafir nikmat hanya melaksanakan
dosa dan tidak berterima kasih kepada Allah. Orang semacam ini tidak perlu
dikucilkan dari masyarakat. Perkembangan selanjutnya, semua aliran yang
bersifat radikal dikategorikan sebagai golongan Khawarij.[13]
2. Murjiah
a. Asal-usul dan sejarah munculnya
Nama Murjiah beraal dari kata irja atau arja’a yang
bermakna penundaan, penangguhan, dan pengharapan. Memberi harapan dalam artian
member harapan kepada para pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan Allah
Swt. Selain itu, irja’a juga bisa memiliki arti meletakkan di belakang atau
mengemudikan, yaitu orang yang mengemudikan amal dan iman. Oleh karena itu,
Murjiah berarti orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang
bersengketa, yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya masing-masing, ke hari
kiamat kelak.[14]
Ada beberapa teori yang mengemukakan asal-usul adanya
aliran Murjiah. Teori pertama mengatakan bahwa gagasan Irja’a atau arja
dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan
kesatuan umat Islam ketika terjadinya pertikaian politik dan juga bertujuan
untuk menghindari sektarianisme. Diperkirakan Murjiah ini muncul bersamaan dengan
munculnya Khawarij.[15]
Teori lain mengatakan bahwa gagasan irja, yang
merupakan basis doktrin Murjiah, muncul pertama kali sebagai gerakan politik
yang diperlihatkan oleh cucu Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan bin Muhammad Al-Hanafiyah,
sekitar tahun 695.
Menurut Watt, 20 tahun setelah kematian Muawiyah,
dunia Islam dikoyak oleh pertikayan sipil. Al-Mukhtar membawa paham Syiah ke
Kufah dari tahun 685-687; Ibn Zubair mengklaim kekhalifahan di mekah hingga
yang berada di bawah kekuasaan Islam. Sebagai respon dari keadaan ini, muncul
gagasan irja atau penangguhan (postponenment). Gagasan ini pertama kali
digunakan tahun 695 olleh cucu Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan bin Muhammad
Al-Hanafiyah, dalam sebuah surat pendeknya. Dalam surat ini Al Hasan menunjukan
sikap politiknya dengan mengatakan, “ Kita mengakui Abu Bakar dan Umar, tetapi
menangguhkan keputusan atas persoalan yang terjadi pada konflik sipil yang
pertama yang melibatkan Utsman, Ali, dan Zubair. ” Dengan sikap politik ini, Al-Hasan
mencoba untuk menanggulangi perpecahan umat Islam. Ia pun mengelak berdampingan
dengan kelompok Syiah yang terlampau mengagungkan Ali dan para pengikutnya,
serta menjauhkan diri dari Khawarij yang menolak mengaki kekhalifahan Muawiyah
dengan alasan bahwa dia adalah keturunan si pendosa Utsman.[16]
Teori lain mengatakan bahwa ketika terjadi perseteruan
Ali dan Muawiyah, dilakukan Tahkim atas usulan Amr bin Ash, pengikut Muawiyah.
Kelompok Ali terpecah menjadi dua kubu, yang pro dan yang kontra. Kelompok
kontra akhirnya keluar dari Ali, yaitu kelompok Khawarij, yang memandang bahwa
keputusan takhim bertentangan dengan al-Quran. Oleh karena itu, pelakunya
melakukan dosa besar dan pelakunya dapat dihukumi kafir. Pendapat ini ditolak
oleh sebagian sahabat yang kemudian disebut Murjiah, yang mengatakan bahwa
pembuat dosa besar tetaplah mukmin, tidak kafir, sementara dosanya diserahkan
kepada Allah, apakah dia akan mengampuninya atau tidak.[17]
b.
Doktrin-doktrin Murjiah
Menurut W. M. Watt, doktrin-doktin Murjiah secara umum
sebagai berikut:[18]
Penangguhan keputusan terhadap Ali dan Muawiyah hingga Allah yang memutuskannya
di hari kiamat kelak.
Penangguhan Ali untuk menduduki rangking keempat dalam
peringkat al-Khalifah ar-Rasyidun. Pemberian harapan terhadap orang
muslim yang berdosa besar untuk mendapat ampunan dan rahmat dari Allah Swt.
Doktrin-doktrin Murjiah menyerupai pengajaran
(mazdhab) para skeptik dan empiris dari kalangan Helenis. Sementara Abu
A’la al Maududi menyebutkan dua ajaran paling pokok Murjiah, yaitu :[19]
Iman adalah percaya kepada Allah dan Rasul-Nya saja.
Adapun amal dan perbuatan tidak merupakan suatu keharusan bagi adanya iman.
Seseorang tetap dianggap mukmin walaupun meninggalkan perbuatan yang diwajibkan
dan melakukan dosa besar.
Dasar keselamatan adalah iman semata. Selama masih ada
iman di hati, setiap maksiat tidak dapat mendatangkan madarat atas seseorang.
Untuk mendapat ampunan, manusia hanya cukup dengan menjauhkan diri dari syirik
dan mati dalam keadaan akidah tauhid.
Dalam perkembagannya, golongan Murjiah terpecah dalam
beberapa sekte. Perpecahan ini dipicu akibat terjadinya perbedaan-perbedaan
pendapat dalam golongan Murjiah itu sendiri. Menurut Asy-Syahrastani, kelompok
Murjiah terbagi dalam empat kelompok besar. Yakni Murjiah al-Khawarij, Murjiah
al-Qadariyah, Murjiah Jabbariyah, dan Murjiah Murni.[20]
Kata Jabariyah berasal dari kata Jabara yang
mengandung arti memaksa dan mengharuskan melakukan sesuatu.[21] Asy-Syahrastani
mengartikan Jabariah sebagai menolak adanya perbuatan dan menyadarkan semua
perbuatan kepada Allah Swt. Berdasarkan hal ini, Asy-Syahrastani membagi
Jabariah dalam dua bentuk, yaitu : Jabariah Murni, yang menolak adanya
perbuatan berasal dari manusia dan memandang manusia tidak memiliki kemampuan
untuk berbuat,
Jabariah Pertengahan (Moderat), yang mengakui adanya
perbuatan manusia namun perbuatan manusia tidak membatasi. Namun, orang yang
mengakui adanya perbuatan makhluk yang mereka namakan “kasb” bukan termasuk
Jabariyah.
Paham al-Jabr pertama kali diperkenalkan oleh Ja’ad
bin Dirham kemudian disebarluaskan oleh Jahm bin Shafwan dari Khurasan. Dalam
perkembangannya paham ini juga dikembangkan oleh tokoh lainnya, diantaranya
al-Husain bin Muhammad an-Najjar dan Ja’ad bin Dirrar. Pendapat yang lain
mengatakan bahwa kemunculan paham Jabariyah terpengaruh dari paham ajaran
Yahudi dan Nasrani. Yaitu Yahudi sekte Qurro dan agama
Nasrani
yang bersekte Ya’cubiyah.[22]
Mengenai paham Jabariyah ini, para ahli sejarah
teologi Islam ada yang berpendapat bahwa kehidupan bangsa Arab yang dikelilingi
gurun sahara telah mempengaruhi cara hidup mereka. Kebergantungan mereka
terhadap gurun sahara yang panas telah memunculkan sikap penyerahan diri
terhadap alam.[23]
Selain itu, menurut Abdul Rozak, pemikiran-pemikiran
Jabariah telah ada sejak awal periode Islam. Hal itu terlihat dari beberapa
peristiwa yang terjadi baik pada masa Nabi maupun sesudahnya, seperti pada masa
Umar bin Khatab, yaitu ketika terjadinya pencurian dimana pencuri berargumen
bahwa ia telah ditakdirkan untuk mencuri, yang akhirnya pencuri tersebut
mendapat hukuman potong tangan dan dera karena telah menggunakan dalil
Tuhan.[24]
b. Doktrin-doktrin Jabariyah.
Doktrin-doktrin Jabariyah secara umum dapat dipaparkan
sebagai berikut, yaitu :[25]
Fatalisme, yakni kepasrahan total yang menganggap
manusia tidak dapat melakukan apa-apa, tidak memiliki daya, dan dipaksa berbuat
oleh Allah Swt.
Surga
dan Neraka tidak kekal, tidak ada yang kekal selain Allah Swt.
Iman
adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini, pendapat ini sama
dengan konsep iman yang di ajarkan Murji’ah.
Kalam Tuhan adalah Makhluk.
Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat.
Perkembangan Jabariyah
Dalam perkembangannya Jabariyah terbagi antara
Jabariyah Murni dan Jabariyah Moderat. Jabariyah Murni terbagi dalam beberapa
golongan, yaitu al-Jahmiyah, an-Najjariyah, dan ad-Dhirariyah.[26]
Asal Muasal paham Qodariyah
Qodariyah berasal dari bahasa Arab, yaitu Qadara, yang
artinya kemampuan dan kekuatan. Menurut terminology, Qodariyah adalah suatu
aliran yang percaya bahwa segala perbuatan manusia tidak diintervensi oleh
Tuhan. Jadi, tiap-tiap orang adalah pencipta dari perbuatannya.[27]
Para pakar sejarah teologi Islam tidak mengetahui
secara pasti kapan paham ini timbul, tetapi menurut keterangan ahli lainnya,
paham Qodariyah diperkirakan timbul pertama kali oleh seorang bernama Ma’bad
al-Juhani, menurut Ibn Nabatah, Ma’bad al-Juhani dan temannya, Ghailan
al-Dimasyiqi mengambil paham ini dari seorang Kristen yang masuk Islam di Irak.
Dan Menurut Zahabi, Ma’bad adalah seorang tabi’i yang baik dan ia pun menentang
kekuasaan Bani Umayah. Dalam pertempuran dengan al-Hajjad tahun 80 H, dia mati
terbunuh.[28]
Doktrin-doktrin Qodariyah
Secara
garis besar, doktrin-doktrin Qodariah pada dasarnya berkisar tentang takdir
Tuhan, yaitu : Manusia berkuasa atas segala perbuatannya;[29]
Takdir adalah ketentuan Allah Swt yang diciptakan-Nya
bagi seluruh alam semesta beserta seluruh isinya, sejak zaman azali, yaitu
hukum dalam istilah al-Quran disebut Sunatullah.[30]
Dalam
perkembangannya, paham qodariyah seringkali disebut dengan paham Mu’tazilah
seperti yang dijelaskan Asy-Syahrastani yang menyatukan pembahasan Mu’tazilah
dengan pembahasan Qodariyah. Hal ini disebabkan karena paham qodar dijelaskan
lebih luas pada aliran Mu’tazilah.
5. Mu’tazilah
Secara harfiayah kata Mu’tazilah berasal dari kata
i’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh
atau menjauhkan diri[31]. Secara teknis, Mu’tazilah menunjuk pada dua
golongan[32], yaitu :
Golongan pertama, muncul sebagai respon politik, yaitu
bersifat lunak dalam menyikapi pertentangan antara Ali dan lawan-lawannya.
Menurut Abdul Rozak, golongan inilah yang pertama-tama disebut Mu’tazilah
karena mereka menjaukan diri dari pertikaian masalah Imamah.
Golongan kedua, muncul sebagai respon persoalan
teologis yang berkembang di kalangan khawarij dan Murjiah tentang pemberian
status kafir kepada orang yang berbuat dosa besar. Mu’tazilah inilah yang akan
dibahas kemudian.
Beberapa versi tentang pemberian nama Mu’tazilah
(golongan kedua) ini, merujuk pada peristiwa yang terjadi antara Washil bin
A’tha, Amr bin Ubaid dan Hasan Al-Basri di Basrah. Ketika Washil mengikut
pengajaran yang diberikan oleh Hasan al-Basri tentang dosa besar. Ketika Hasan
Basri masih berpikir. Washil mengemukakan pendapatnya dengan mengatakan, “ Saya
berpendapat bahwa orang yang berdosa besar, bukan mukmin dan bukan pula kafir,
tetapi berada dalam posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir.”
Kemudian Washil menjauhkan diri dari Hasan Basri dan pergi di tempat lain di
lingkungan masjid. Disana Washil mengulangi pendapatnya di depan para
pengikutnya. Dengan peristiwa ini, Hasan Basri berkata,” Wazhil menjauhkan diri
dari kita (I’tazaala anna). Menurut Asy-Syahrastani, kelompok yang menjauhkan
diri inilah yang kemudian disebut sebagai Mu’tazilah.[33]
Versi lain yang diberikan oleh Tasy Kubra Zadah,
menyebut bahwa Qatadah Ibn Da’amah pada suatu hari masuk ke masjid Basrah dan
menuju ke majelis ‘Amr bin Ubaid yang disangkanya majelis Hasan al-Basri.
Setelah ia tahu bahwa itu bukanlah majelis Hasan al-Basri, ia berdiri dan
meninggalkan tempat itu sambil berkata, “ini kaum Mu’tazilah.” Sejak itu,
mereka disebut kaum Mu’tazilah.[34]
Al-Mas’udi memberikan keterangan lain lagi, mereka
disebut kaum Mu’tazilah karena mereka berpendapat bahwa orang yang berdosa
besar bukan mukmin dan juga bukan kafir, tetapi mengambil posisi diantara kedua
posisi itu (al-mazilah bain al-manzilatain).[35]
Menurut Ahmad Amin, nama Mu’tazilah sudah ada sebelum
peristiwa antara Washil dan Hasan al-Basri. Nama Mu’tazilah diberikan kepada
golongan yang tidak mau berintervensi dalam pertikaian politik yang terjadi
pada masa Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, Qais yang waktu itu sebagai
gubernur di mesir pada masa Ali, ia menjumpai pertikaian disana, satu golongan
turut padanya, dan golongan lain menjauhkan diri ke Kharbita (I’tazalat ila
Kharbita). Dalam suratnya kepada Khalifah, ia menamai golongan yang menjauhkan
diri dengan nama Mu’tazilah.[36]
Golongan Mu’tazilah juga dikenal dengan nama lain
seperti Ahl al-Adl yang berarti golongan yang mempertahankan keadilan Tuhan dan
ahl al-tawhid wa al-adl[37] yang berarti golongan yang mempertahankan keesaan
murni dan keadilan Tuhan. Mereka juga sering disamakan dengan paham Qadariyah
yang menganut paham free act dan free will. Selain itu mereka juga dinamai
al-Mua’tillah karena golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan tidak
mempunyai sifat, dalam arti sifat yang memiliki wujud diluar zat Tuhan. Mereka
juga diberi nama dengan Wa’diyyah, karena mereka berpendapat bahwa ancaman
Tuhan itu pasti akan menimpa orang-orang yang tidak taat akan hukum-hukum
Tuhan.[38]
Ajaran-ajaran
Mu’tazilah mendapat dukungan dan penganut dari penguasa Bani Umayyah, yakni
khalifah Yazib bin Walid (125-227H). Sedangkan dari Bani Abbasiyah yaitu Al-Makmun
(198-218H), Al-Mu’tasim billah (218-227H), dan Al-Watsiq ( 227-232H).[39]
b. Ajaran Dasar Teologi Mu’tazilah.
Ajaran-ajaran
dasar Mu’tazilah ini juga disebut dengan al-Ushul al-Khamsah.[40] Yaitu :
At-Tauhid (pengesaan Tuhan) merupakan prinsip utama
dan intisari ajaran Mu’tazilah. Sebenarnya, semua aliran teologis dalam Islam
memegang doktrin ini. Namun, Tauhid dalam paham Mu’tazilah memiliki arti
spesifik. Yaitu :
Tuhanlah satu-satunya yang Esa, yang unik dan tidak
satupun yang menyamai-Nya. Karena itu, Dia-lah yang qadim. Bila ada yang qadim
lebih dari satu, maka telah terjadi ta’adud al qudama (tebilangnya zat yang tak
berpemulaan).
Mu’tazilah menolak konsep Tuhan memiliki sifat-sifat,
penggambaran fisik, dan Tuhan dilihat dengan mata kepala.
Al-Adl[42]
Ajaran tentang keadilan ini berkait erat dengan beberapa hal, antara lain :
a. Perbuatan Manusia
Menurut Mu’tazilah, melakukan dan menciptakan
perbuatannya sendiri, terlepas dari kehendak dan kekuasaan Tuhan, baik secara
langsung maupun tidak. Konsep ini memiliki konsekuensi logis dengan keadilan
Tuhan, yaitu apapun yang akan diterima manusia di akhirat merupakan balasan
perbuatannya di dunia.
b. Berbuat baik dan terbaik (as-shalah wa al-ashlah)
Maksudnya adalah kewajiban Tuhan untuk berbuat baik,
bahkan terbaik untuk manusia. Tuhan tidak mungkin jahat dan penganiaya, karena
hal tersebt tidak layak bagi Tuhan. Jika Tuhan berlaku jahat terhadap seseorang
dan berlaku jahat kepada orang lain berarti Ia tidak adil. Maka Tuhan pastilah
berbuat yang terbaik bagi manusia.
Mengutus rasul bagi manusia merupakan kewajiban bagi
Tuhan dengan alasan sebagai berikut : Tuhan wajib berlaku baik kepada
manusia. Al-Quran secara tegas menyatakan kewajiban Tuhan untuk memberikan
belas kasih kepada manusia (QS 26:29). Tujuan diciptakan manusia adalah
untuk beribadah kepada-Nya. Agar tujuan tersebut berhasil, tidak ada
jalan lain selain mengutus rasul
.
Al-Wa’ad wa al-Wa’id[43]
Al-Wa’ad wa al-Waid berarti janji da ancaman, Tuhan
yang Mahaadil dan Mahabijaksana, tidak akan melanggar janji-Nya. Yaitu untuk
member pahala surge bagi yang berbuat baik dan mengancam dengan siksa neraka
atas orang yang durhaka. Begitu pula janji Tuhan untuk member ampunan orang
yang bertaubat nasuha pasti benar adanya.
Al-Manzilah
bain al-Manzilatain[44]
Menurut pandangan Mu’tazilah, pelaku dosa besar tidak
dapat dikatakan sebagai orang mukmin secara mutlak. Hal ini karena keimanan
menuntut adanya kepatuhan kepada Tuahan, dan tidak cukup hanya pengakuan dan
pembenaran. Pelaku dosa besar juga tidak bias dikatakan kafir secara mutlak
karena ia masih percaya kepada Tuhan, Rasul-Nya, dan mengerjakan pekerjaan yang
baik.
Al-Amru
bi al-Ma’ruf wa an-Nahy an Munkar.[45]
Al-Amru bi al-Ma’ruf wa an-Nahyi an-Munkar berarti
menyuruh kebaikan dan mencegah kemungkaran. Dalam paham Mu’tazilah, ada
beberapa syarat yang harus dipenuhi seorang mukmin untuk melakukan hal ini.
Yaitu :
Ia mengetahui perbuatan yang disuruh itu memang ma’ruf
dan yang dilarang itu memang munkar.
Ia mengetahui bahwa kemungkaran telah nyata dilakukan
oleh orang.
Ia mengetahui bahwa perbuatan amr ma’ruf atau nahy munkar tidak akan membawa
mudharat yang lebih besar. Ia mengetahui atau paling tidak menduga bahwa
tindakannya tidak akan membahayakan dirinya dan hartanya.
[1] Asy-syahrastani. Al-Milal wa Al-Nihal. Surabaya:
PT Bina Ilmu. 2006. Hal.101
[2] Harun Nasution. Teologi Islam : Aliran-aliran sejarah analisa perbadingan.
Jakarta: UI Press. 2002. Hal.13
[3] Ibid.
[4] Asy-Syahrastani. Loc.cit.
[5] Ibid.
[6] Abdul Rozak, et.al. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia.2007. hal. 50
[7] Sahilun A Nasir. Pengantar Ilmu Kalam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
1994. Hal. 94
[8] Abdul Rozak. Op. Cit. hal.51
[9] Harun Nasution. Op. Cit. hal.15
[10] Asy-Syahrastani. Op.Cit. hal. 102
[11] Harun Nasution. Op. Cit. hal. 15
[12] Abdul Rozak. Op. Cit. hal. 55
[13] Ibid.
[14] Abdul Rozak. Op. Cit. hal. 56
[15] Ibid
[16] Ibid. hal.57
[17] Ibid.
[18] Ibid. hal.58
[19] Ibid. hal.59
[20] Asy-Syahrastani. Op. Cit. hal.175
[21] Abdul Rozak. Op. Cit. hal. 63
[22] Sahilun A. Nasir. Op. Cit. hal. 133
[23] Abdul Rozak. Op. Cit. hal. 64
[24] Ibid. hal. 64-65
[25] Abdul Rozak. Op. Cit. hal. 67-69
[26] Asy-Syahrastani. Op. cit. hal.71-74
[27] Abdul Rozak. Op. cit. hal. 70
[28] Harun Nasution. Op. cit. hal. 34
[29] Ibid. hal. 35
[30] Abdul Rozak. Op. cit. hal. 74
[31] Ibid. hal. 77
[32] Ibid.
[33] Ibid. hal. 78
[34] Harun Nasution. Op. cit. hal. 41
[35] Ibid.
[36] Ibid
[37] Asy-Syahrastani. Op. cit. hal.37
[38] Abdul Rozak. Op. cit. hal. 80
[39]
[40] Abdul Rozak. Op. cit. hal. 80
[41] Ibid. hal. 80-83
[42] Ibid. hal. 83-84
[43] Ibid. hal. 85
[44] Ibid.
[45] Ibid. hal. 86-87
6. Syiah
a. Asal-usul kemunculan Syiah
Syiah secara bahasa berarti pengikut, pendukung,
partai, atau kelompok, sedangkan secara terminology adalah sebagian kaum
muslimin yang dalam bidang spiritual dan keagamaannya selalu merujuk kepada
keturunan Nabi Muhammad Saw, atau orang yang disebut sebagai ahl-bait.[1]
Menurut Abu Zahrah, Syiah mulai muncul pada akhir masa
pemerintahan Utsman bin Affan kemudian tumbuh dan berkembang pada masa
pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Adapun menurut Watt, Syiah benar-benar muncul
ketka berlangsung peperangan antara Ali dan Muawiyah pada perang siffin. Dalam
respon ini, golongan yang mendukung Ali disebut sebagai Syiah dan yang tidak
menolak Ali disebut sebagai Khawarij.[2]
Berkaitan dengan teologi, mereka memiliki lima rukun
iman, yakni Tauhid, Nubuwah, Ma’ad (Kepercayaan akan adanya hidup di akhirat),
Imamah( (kepercayaan terhadap imamah yang merupakan hak ahlul bait), dan adl
(keadilan Tuhan).
Tuhan adalah Esa, baik ekstensi maupun esensi-Nya.
Keesaan adalah mutlak. Keesaan Tuhan tidak murakkab (tersusun). Tuhan tidak
membutuhkan sesuatu, Ia berdiri sendiri, dan tidak dibatasi oleh ciptaan-Nya.
Setiap mahkluk membutuhkan petunjuk, baik petunjuk
dari Tuhan maupun dari manusia. Rasul merupakan petunjuk hakiki utusan Tuhan
yang diutus untuk memberikan acuan dalam membedakan antara baik dan buruk di
alam semesta. Tuhan telah mengutus 124.000 rasul untuk memberikan petunjuk
kepada manusia.
Ma’ad
adalah hari akhir untuk menghadapi Tuhan di akhirat. Mati adalah kehidupan
transit dari kehidupan dunia menuju kehidupan akhirat.
4.Imamah
Imamah adalah institusi yang diinagurasikan Tuhan
untuk memberikan petunjuk manusia yang dipilih dari keturunan Ibrahim dan
didelegasikan kepada keturunan Muhammad Saw.
Tuhan menciptakan kebaikan di Alam semesta ini
merupakan keadilan. Tuhan memberikan akal kepada manusia untuk mengetahui
perkara yang salah melalui perasaan. Manusia dapat menggunakan indranya untuk
melakukan perbuatan, baik perbuatan baik maupun perbuatan buruk. Jadi, manusia
dapat memanfaatkan potensi berkehendak sebagai anugrah Tuhan untuk mewujudkan
dan bertanggung jawab atas perbuatannya.
Dalam perkembangannya, golongan syiah ini terpecah
dalam beberapa sekte. Perpecahan ini dipicu karena doktrin imamah yang
berbeda-beda. Diantara sekte syiah itu adalah Istsna Asy’Ariyah, Sab’iyah,
Zaidiyah, dan Gullat.
7.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Ungkapan Ahl Sunnah wal Jamaah (sering disebut dengan
Sunni) dapat dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu umum dan khusus. Sunni
dalam pengertian umum adalah lawan dari Syiah. Dalam artian ini, Mu’tazilah dan
As’ariyah masuk dalam golongan Sunni. Dalam pengertian khusus, Sunni adalah
mazhab dalam barisan As’ariyah dan merupakan lawan dari Mu’tazilah.[3]
Selanjutnya, trem Ahlussunah banyak dipakai setelah munculnya aliran As’ariyah
dan Maturidiyah, dua aliran yang menentang ajaran Mu’tazilah.[4]
a. Ajaran Asy’ariah
Ajaran Asy’ariah muncul atas keberanian Abu Hasan
Al-Asy’ary yang menenteng paham Mu’tazilah. Abu hasan Al-Asy’asy adalah seorang
pengikut M’tazilah sampai ia berusia 40 tahun. Setelah itu, secara tiba-tiba
dia mengumumkan diri dihadapan jama’ah masjid Basrah bahwa dia keluar dari
golongan Mu’tazilah dan menunjukan keburukan-keburukannya. Menurut Ibn Asakir,
yang melatar belakangi al-Asy’ary meninggalkan paham Mu’tazilah adalah
pengakuan al-Asy’ary yang telah bermimpi bertemu Rasulullah Saw sebanyak tiga
kali pada bulan Ramadhan.[5] Namun menurut pendapat yang lain, al-Asy’ary
keluar dari Mu’tazilah karena adanya keraguan ketika dia mempertanyakan hal
tentang mukmin dewasa, anak-anak, dan kaum kafir kepada al-Jubba’i.[6]
Ajaran-ajaran
Asy’ariyah : Tuhan dan Sifat-sifat-Nya[7]
Al-Asy’ary berhadapan pada dua pandangan ekstrim. DI
satu pihak dia berhadapan dengan kelompok mujassimah (antromorfis) dan kelompok
musyabbihah yang berpendapat bahwa Allah memiliki sifat yang disebutkan dalam
al-Quran dan Sunnah dan sifat-sifat itu harus dipahami menurut arti harfiahnya.
Di pihak lain, ia berhadapan dengan Mu’tazilah yang berpendapat bahwa
sifat-sifat Allah tidak lain esensi-Nya.
Menghadapi dua kelompok tersebut, al-Asy’ary
berpendapat bahwa Allah memiliki sifat-sifat itu, seperti mempunyai tangan dan
kaki, dan ini tidak boleh diartikan secara harfiah, melainkan secara simbolis.
Selanjutnya, al-Asy’ary menjelaskan bahwa sifat-sifat Allah itu unik sehingga
tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia. Sifat-sifat Allah Swt
berbeda dengan Allah sendiri, tetapi-sejauh menyangkut realitasnya tidak
terpisah dari esensi-Nya. Dengan demikian tidak berbeda dengan-Nya.
Kebebasan dalam berkehendak[8]
Dalam kebebasan berkehendak, al-Asy’ary membedakan
anta ra khaliq dan kasb. Menurutnya, Allah adalah Khaliq (pencipta) perbuatan
manusia, tetapi manusia lah yang mengupayakannaya (muktasib).
Akal dan Wahyu dan Kriteria Baik-buruk[9]
Al-Asy’ary mengutamakan wahyu dalam menghadapi
persoalan yang memperoleh penjelasan kontadiktif antara akal dan wahyu.
Al-Asy’ary mengatakan bahwa walaupun al-Quran terdiri
atas kata-kata, huruf, dan bunyi, semuanya tidak melekat pada esensi Allah dan
karenanya tidak qadim. Namun, bagi al-Asy’ary al-Quran tidaklah diciptakan.
Al-Asy’ary yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat,
tetapi tidak dapat digambarkan. Kemungkinan rukyat dapat terjadi manakala Allah
sendiri yang menyebabkan dapat dilihat atau bilamana dia menciptakan kemampuan
penglihatan manusia untuk melihat-Nya.
Allah adalah penguasa mutlak, jadi Dia tidak memiliki
keharusan apapun.
Kedudukan orang yang berdosa[13]
Al-Asy’ary berpendapat bahwa mukmin yang melakukan
dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karana
dosa kecuali kufur.
Abu Mansur al-Maturidi dilahirkan di Maturid, sebuah
kota kecil di Samarkand, wilayah Uzbekistan (sekarang). Al-Maturidi hidup pada
masa khalifah al-Mutawakil yang memerintah tahun 232-274/847-861 M. Ia sendiri
wafat pada tahun 333 H/944 M. Ia adalah pengikut Abu Hanifah dan paham-paham
teologisnya banyak persamaannya dengan paham yang dimajukan oleh Abu Hanifah.
Sistem teologi Abu Mansur dikenal dengan nama Al-Maturidiyah.[14]
Ajaran-ajaran Al-Maturidy Akal dan Wahyu[15]
Menurut al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban
mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal. Kemampuan akal dalam mengetahui
kedua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Quran yang memerintahkan agar
manusia menggunakan akal dalam usaha memperoleh pengetahuan dan pemikiran yang
mendalam tentang makhluk ciptaan-Nya. Dalam masalah baik dan buruk, al-Maturidi
berpendapat bahwa penentu baik dan buruk sesuatu terletak pada sesuatu itu
sendiri, sedangkan perintah atau larangan syariah hanyalah mengikuti ketentuan
akal mengenai baik dan buruknya sesuatu.
Menurut al-Maturidi perbuatan manusia adalah ciptaan
Tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya. Khusus mengenai
mengenai perbuatan manusia, kebijaksanaan, dan keadilan kehendak Tuhan
mengharuskan manusia memiliki kemampuan berbuat (ikhtiar) agar
kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya dapat dilaksanakannya. Tuhan
menciptakan daya (kasb) dalam diri manusia dan manusia bebas memakainya.
Daya-daya tersebut diciptakan bersamaan dengan perbuatan manusia. Dengan
demikian tidak ada pertentangan antara qudrat Tuhan yang telah menciptakan
perbuatan manusia dan ikhtiar yang ada pada manusia.
Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan[17]
Qudrat Tuhan tidak sewenang-wenang, tetapi perbuatan dan
kehendak-Nya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah
ditetapkan-Nya.
Sifat
Tuhan[18]
Al-Maturidi
berpendapat bahwa sifat Tuhan tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula
lain dari esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu mulzamah (ada bersama, baca:
inheren) zat tanpa terpisah. Menetapkan sifat Allah tidak harus membawanya pada
antromorphisme karena sifat tidak berwujud tersendiri dari zat, sehingga
terbilangnya sifat tidak akan membawa terbilangnya yang qadim (taaddud al-qudama).
Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat
Tuhan. Hal ini diberitakan oleh al-Quran, antara lain firman Allah dalam surat
Al-Qiyamah ayat 22-23. Al-Maturidi lebih lanjut mengatakan bahwa Tuhan kelak di
akhirat dapat dilihat dengan mata, karena Tuhan memiliki wujud walaupun Ia
immateri. Namun, melihat Tuhan, kelak di akhirat tidak dalam bentuknya (bila
kaifa), karena keadaan di akhirat tidak sama dengan keadaan di dunia.
Kalam
Tuhan[20]
Al-Maturidi membedakan antara kalam (sabda) yang
tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam nafsy (sabda yang sebenarnya).
Kalam nafsy adalah sifat yang qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun
dari huruf dan kata-kata adalah bahar (hadis).
Akal memerlukan bimbingan ajaran wahyu untuk
mengetahui kewajiban-kewajiban. Jadi, pengutusan rasul berfungsi sebagai sumber
informasi. Tanpa mengikuti ajaran wahyu yang disampaikan rasul berarti manusia
telah dibebankan sesuatu yang berada diluar kemampuannya.
Al-Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa besar
tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun dia mati sebelum bertobat.
Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia
sesuai dengan perbuatannya. Menurut al-Maturidi, iman itu cukup dengan tasdhiq
dan iqrar. Sedangkan amal adalah penyempurna iman. Oleh karena itu, amal tidak
akan menambah atau mengurangi esensi iman, kecuali hanya menambah atau
mengurangi sifatnya saja
Persoalan teologi yang berawal dari persoalan politik
pemerintahan, tidak sedikit berimbas terhadapan tatanan kehidupan masyarakat
sosial yang secara tidak langsung ikut terlibat serta menjadi bagian di
dalamnya. Berbagai kalangan bersaing untuk mempertahankan paham mereka, bahkan
hingga menimbulkan perselisihan di dalam golongan itu sendiri. Hal ini
menggambarkan bahwa bukanlah suatu hal yang aneh jika terjadi perpecahan di
kalangan umat Islam, terlebih dalam satu golongan tidak kokoh dengan satu pemahaman.
Adapun pengaruh atau imbas dari teologi itu sendiri
adalah :
Terpecahnya Umat Islam dalam Keberagaman Sudut Pandang
Terpecahnya umat Islam pada daat itu, tidak terlepas
dari sejarah lahirnya teologi, yang berawal dari terbunuhnya Khalifah Utsman
bin Affan serta naiknya Ali sebagai Khalifah yang memimpin dunia Islam pada
saat itu. Sejarah Islam secara gamblang menjelaskan bahwa Perang Siffin
berimbas kepada lahirnya golongan-golongan yang berdiri di atas paham mereka
sendiri.
Persoalan teologipun menjadi suatu hal yang menarik
pada saat itu, terlebih jika dikaitkan dengan berbagai perkembangan pemikiran
dari suatu golongan dan bahkan peikiran para tokoh Islam.
Setidaknya banyak aliran yang timbul dari persoalan
ini, antara lain Khawarij, Murji’ah dan Mu’tazilah serta Qadariyah dan
Jabariyah. Aliran-aliran ini berdiri dengan paham dan pemikiran mereka
masing-masing terhadap situasi yang terjadi pada saat itu. Dengan adanya
golongan-golongan inilah menggambarkan bahwa Islam terpecah dalam beberapa
kelompok yang menjunjung tinggi pemikiran mereka masing-masing.
Kecekcokan dalam Suatu Golongan.
Bukan hanya melibatkan kelompok-kelompok besar,
teologi ternyata juga berdampak terhadap apa yang terjadi di dalam
golongan-golongan tersebut. Persoalan yang awalnya menimbulkan perbedaan
beberapa golongan, ternyata juga mengalami perbedaan tersendiri di dalam ruang
lingkup golongan tersebut
Khawarij misalnya, yang dikenal sebagai barisan yang
keluar dari pendukung Ali bin Abi Thalib, dan telah mempunyai pemikiran
tersendiri, ternyata dari pengikut golongan khawarijpun tepecah ke dalam
beberapa sekte dengan pemikiran yang berbeda. Golongan khawarij juga sering
mengadakan perlawanan terhadap penguasa-penguasa Islam dan Umat Islam yang ada
di zaman mereka.
Lain hal dengan Mu’tazilah, setelah beberapa saat
mencapai puncak kejayaannya, Mu’tazilah mengalami kemunduran drastis yang
disebabkan oleh perbuatan mereka sendiri. Mereka yang hendak mempertahankan
pemikiran dan kebebasan mereka sendiri, malah memusuhi orang-orang yang tidak
mengikuti paham mereka. Peristiwa ini mencapai puncak hingga menimbulkan
perpecahan yang justru melahirkan golongan baru.
Tidak sedikit dari golongan-golongan ini yang
menggunakan kekerasan dalam pelaksanaannya. Banyak terjadi pemaksaan terhadap
umat Islam dan terhadap pengikut golongan itu sendiri untuk meyakini atau ikut
dengan pemikiran yang mereka anut. Dan tentunya tidak semua pihak yang mampu
menerima tindak paksaan seperti itu, sehingga memicu kekerasan yang akan
berdampak lebih buruk lagi.
Dari fenomena ini terlihat bahwa keberagaman pemikiran
dan sifat ingin berkuasanya manusia dapat menimbulkan hal-hal yang seharusnya
tidak perlu terjadi, seperti peperangan antar sesame Muslim.
Timbulnya
Pemberontakan Aliran Khawarij
Pengikut aliran khawarij juga terpecah menjadi
beberapa golongan. Inflasi dari pertentangan itu justru memunculkan
ajaran-ajaran aqidah asing dalam lembaran sejarah khawarij. Mereka memberontak
hanya untuk menetapkan proposisi keliru dari ajaran-ajarannya. Mereka
beranggapan bahwa meninggalkannya hanyalah membawa kekafiran dan kesesatan.
Ketika suatu saat terbukti bahwa proposisi itu keliru, mereka malah kembali
menarik diri, namun setelah itu mereka melkaukan pemberontakan yang jauh lebih
dahsyat sebagai tanda bahwa mereka hendak menebus kesalahan yang telah mereka
lakukan.[1]
Dari kondisi yang demikian,
pemberontakan-pemberontakan yang muncul dalam satu aliran, disebabkan oleh
watak keras kepala dari golongan tersebut, adanya sikap ingin memisahkan diri
dan mengulang-ulang kesalahan, bahkan sebagian aliran justru bergabung dengan
aliran lain untuk menyerang aliran utama.
Selain itu, kerasnya watak khawarij serta adanya
ektrimitas, menyebabkan setiap tindakan dan aktivitasanya dijalankan tanpa
pemikiran yang matang serta revolusi yang selalu berubah. Khwarijpun sering
mengadakan pemberontakan terhadap penguasa yang dzalim, walaupun tindakannya
itu akan mengantarkan mereka ke dalam keputusan yang tidak diharapkan.
Aliran Syi’ah muncul diawali dengan tersisanya pasukan
Ali setelah Khawarij menyempal. Setelah adanya keputusan tahkim, mereka
membulatkan tekad membuat sebuah keputusan untuk mendukung Ali bin Abi Thalib.
Syiah yang pertama kali muncul tidak pernah mencaci dan mencerca sahabat
Nabi.[2] Namun ketika melangkah lebih jauh, Syiah berjalan dengan memunculkan
konsep-konsep yang berbahaya yang ditandai dengan watak ekstrim serta menganut
keyakinan yang tidak diakui oleh Islam.
Implikasi
dari Perselisihan Politik
Gerakan-gerakan Khawarij dan Syi’ah cukup menyibukkan
penguasa Islam dan banyak menguras keringat pasukan yang seharusnya digunakan
untuk penaklukan. Keterlambatan dalam penaklukan adalah imbas langsung dari
perselisihan yang terjadi. Gerakan yang dilakukan oleh khawarij dan syi’ah ini
berjalan dalam waktu dan kondisi yang tidak tepat. Mereka bukannya membentengi
umat Islam, akan tetapi bergerilya dengan pertumbahan darah dan perampasan
harta kaum muslimin sendiri
Permasalah implikasi dari aqidah ini berarah pada
konsep pemahaman dari suatu aliran. Keyakinan yang dianut oleh masing-masing
aliran justru menimbulkan bid’ah.Jadi berdasarkan catatatan sejarah Islam,
terdapat bid’ah khwarij, bid’ah murji’ah dan bid’ah syi’ah.
Diantara
hal yang tergolong ke dalam bid’ah khawarij adalah :
- Mereka mengkafirkan para pendosa besar
- Menyalahi Al-Qur’an baik secara aksi maupun pola pikir tergolong kafir.
- Ancaman bagi pendosa besar adalah abadi di dalam api neraka.
Bid’ah ini timbul karena sikam ekstrim di dalam beragama.
Bid’ah Murji’ah
Ajaran Murji’ah yang berpegang kepada sebuah pendapat
bahwa iman seseorang tidak terpengaruh kepada kemaksiatan,seperti halnya
kekafiran yang tidak akan terpengaruh oleh ketaatan[3]. Konsep iman inilah yang
bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an, karena Al-Qur’an menjelaskan baha amal
dan iman merupkan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
Termasuk ke dalam bid’ah Syi’ah adalah sikap fanatik
yang berlebihan terhadap imam. Mereka menempatkan kedudukan imam di atas posisi
Nabi, sebagai orang yang terhindar dari dosa dan mampu melihat hal-hal yang
ghaib.
Selain dari itu yang termasuk bid’ah Syi’ah adalah
keberpihakan mereka kepada keyakinan Jahmiyyah dalam hal sifat-sifat Allah dan
aliran Qadariyah dalam hal perbuatan hamba
Ahmazun,Muhammad. Fitnah Kubro: Tragedi pada masa
Sahabat. Jakarta : LP2SI Al-Haramain. 1999
Nasution, Harun. Teologi Islam: Sejarah Perbandingan
Aliran-aliran. Jakarta : UI-Press. 2006.
Natsir, Sahilun. Pengantar Ilmu Kalam. Jakarta : Raja
Grafindo. 1994
Rozak, Abdul, et.al. Ilmu Kalam. Bandung : Pustaka Setia. 2007