TULISAN DARI BUKU KUCELKU
Wahib mewariskan sekumpulan catatan harian yang kemudian dibukukan dengan judul menggugah, Pergolakan Pemikiran Islam (LP3ES, 1981). Apa yang dimaksud judul buku
itu sebenarnya lebih merupakan pergolakan batinnya sendiri yang selalu gelisah;
gelisah sebagai seorang muda yang nasibnya tak kunjung cerah, dan terutama
gelisah sebagai seorang manusia yang rindu akan Kebenaran, ketimbang pergolakan
pemikiran Islam secara umum.
Tuhan bukanlah daerah terlarang
bagi pemikiran
–Ahmad Wahib
Pemikir bebas itu telah pergi 32 tahun lalu (31
Maret 1973), hampir 31 tahun setelah ia datang (9 Nopember 1942).
Dalam pencariannya yang penuh haru untuk
menemukan Tuhan, akhirnya ia dipanggil oleh-Nya dengan segera, tanpa disengaja
saat sebuah sepeda motor berkecepatan tinggi menabraknya di depan kantor
majalah Tempo, tempat di mana ia bekerja sebagai calon reporter. Kepada
kita, Wahib mewariskan sekumpulan catatan harian yang kemudian dibukukan dengan
judul menggugah, Pergolakan Pemikiran Islam (LP3ES, 1981). Apa yang dimaksud
judul buku itu sebenarnya lebih merupakan pergolakan batinnya sendiri yang
selalu gelisah; gelisah sebagai seorang muda yang nasibnya tak kunjung cerah,
dan terutama gelisah sebagai seorang manusia yang rindu akan Kebenaran,
ketimbang pergolakan pemikiran Islam secara umum.
Inti Gagasan Pembaruan Wahib
Beragam persoalan yang diungkapkan Wahib dalam buku tersebut,
menunjukkan minatnya yang luas terhadap berbagai bidang. Oleh Djohan Effendy,
kawan terdekat sekaligus editor buku, persoalan itu dibagi ke dalam empat
bagian: masalah keagamaan yang menempati porsi terbesar, soal politik dan
budaya, dunia kemahasiswaan dan keilmuan, dan soal-soal yang menyangkut
kehidupan pribadi. Di sini akan disinggung sekilas tema-tema pemikirannya yang
saya anggap penting.
Kritik terhadap
umat Islam
Di bagian awal buku, Wahib mengungkapkan kekecewaannya akan kondisi umat
Islam saat itu, yang menurutnya belum mampu menerjemahkan kebenaran Islam dalam
suatu program pencapaian (PPI, 18). Antara cita dan kenyataan masih jauh
jaraknya. Dalam pandangan Wahib, agama (Islam) telah kehilangan daya serap dalam
masalah-masalah dunia, dus terpisahnya agama dari masalah dunia. Jadi tanpa
disadari, umat Islam telah menganut sekularisme, meskipun dengan lantang sering
menentang sekularisme (PPI, 37).
Kekecewaan Wahib juga diarahkannya pada organisasi-organisasi Islam.
Apalagi tantangan pertama terhadap gagasan-gagasannya justru berasal dari
kalangan HMI, sebuah organisasi yang menghimpun mahasiswa Islam, dari mana dia
memulai pembaruannya. HMI saat itu masih belum bisa melepaskan ketergantungan
baik secara emosional maupun politis dengan tokoh-tokoh Masyumi. Partai politik
yang pernah dibekukan Soekarno itu, bersama Muhammadiyah, kerap menjadi sasaran
utama kritik Wahib.
Perjuangan politik Masyumi, menurutnya, terlalu yuridis-formalistis,
hanya berkutat pada aspek-aspek lahiriah dari ajaran Islam. Senafas dengan itu,
ia juga menilai Muhammadiyah telah berhenti sebagai organisasi pembaharu karena
tidak lagi gelisah dan merasa cukup puas dengan ide-ide yang sudah ada.
Muhammadiyah telah kehilangan élan vital pembaruannya, yakni kemauan untuk
mencari dan bertanya, mengkritik diri, dan tidak terdapat lagi benturan ide-ide
yang intensif di dalamnya.
Wahib justru lebih menghargai NU yang menurutnya lebih apresiatif
terhadap kebudayaan, terbuka terhadap perubahan (change) dan penuh
dengan inovasi-inovasi kultural. Hal ini, andaikata dilambari dengan sikap
demokratis, jujur dan berwatak, dapat diperkirakan masa depan NU akan jauh
lebih cemerlang daripada Muhammadiyah yang cenderung anti-kebudayaan. Kritiknya
terhadap NU adalah kurangnya apresiasi ulama-ulamanya terhadap ilmu-ilmu sosial
dan kemanusiaan modern, yang membuatnya gagap terhadap perubahan.
Kebebasan
Berpikir
Atas kondisi-kondisi yang ada pada umat dan organisasi-organisasi Islam
itu, Wahib menyerukan pentingnya pembaharuan. Dan itu harus dimulai dari
kebebasan berpikir. Kebebasan berpikir bukan saja hak, melainkan kewajiban.
Bagi Wahib, orang yang berpikir itu, meskipun hasilnya salah, masih jauh lebih
baik daripada orang-orang yang tidak pernah salah karena tidak pernah berpikir.
Ia yakin bahwa Tuhan tidak membatasi, malah Tuhan akan bangga dengan otaknya
yang selalu bertanya tentang Dia.
Oleh karena itu Wahib heran dengan orang yang tidak mau menggunakan
pikirannya, atau yang menyarankan agar dia berpikir dalam batas-batas tauhid,
sebagai konklusi globalitas ajaran Islam. Aneh, tulisnya, mengapa berpikir
hendak dibatasi. Apakah Tuhan takut terhadap rasio yang diciptakan oleh Tuhan
sendiri? Tuhan bukanlah daerah terlarang bagi pemikiran. Tuhan itu segar,
hidup, tidak beku. Dia tak akan mau dibekukan (PPI, 23).
Sumber Islam dan
Sejarah Muhammad
Meskipun sangat mempercayai kekuatan akal, Wahib tidak setuju kalau akal
dijadikan sebagai sumber Islam. Sumber Islam itu dua, Alquran dan Sunnah. Akal
adalah alat untuk menggali kedua sumber itu. Tidak proporsional kalau akal
dijadikan sumber. Logikanya, akal itu macam-macam, tiap orang berbeda-beda,
maka sumber pun macam-macam pula (PPI, 23).
Namun pada catatannya kemudian, Wahib menyatakan bahwa sumber Islam
adalah Sejarah Muhammad. Alquran dan Sunnah hanyalah sebagian sumber saja dari
Sejarah Muhammad. Sumber lainnya dari Sejarah Muhammad adalah kondisi sosial,
yakni struktur masyarakat waktu itu, kebudayaannya, struktur ekonominya, pola
pemerintahannya, hubungan luar negerinya, adat istiadanya, iklimnya, pribadi
Muhammad, pribadi sahabat-sahabatnya, dan lain-lainnya (PPI, 110).
Tampaknya ini merupakan
perkembangan lebih lanjut dari pemikirannya yang belum selesai, dan, oleh
karena itu, merupakan yang paling susah dipahami. Pantaslah jika pemikiran
tersebut tidak disetujui seorang pun yang hadir dalam sebuah diskusi di rumah
Dawam Rahardjo, yaitu Nurcholish, Djohan, Usep, dan Utomo, dan Dawam
sendiri.
Ijtihad dan Transformasi
Bentuk nyata berpikir bebas diwujudkan dalam ijtihad. Ijtihad merupakan
usaha untuk menyusun konsepsi Islam tentang masalah keagamaan (akidah, ibadah,
akhlak, dan khilafah), dan usaha untuk menjawab persoalan-persoalan kemanusiaan
dengan berpegang pada konsepsi Islam di atas. Dalam menafsirkan ayat-ayat
Alquran, Wahib menekankan pentingnya memahami semangat jaman atau konteks ketika
suatu ayat turun (asbabun nuzul). Dengan demikian, kita tidak akan
memaknai ayat secara harfiah, melainkan didasarkan pada konteksnya di jaman
Nabi, dan disesuaikan dengan kondisi saat ini.
Untuk menjawab persoalan umat, yang dibutuhkan bukanlah
sekadar re-interpretasi ajaran Islam, melainkan transformasi ide-ide
Islam pada jaman yang sedang berjalan (PPI, 69). Transformasi melepaskan kita
dari kungkungan teks yang statis menuju sumber lain yang lebih dinamis, yakni
kondisi sosial. Lebih jauh, Wahib membuat tesis, karena nilai-nilai yang
berlaku dalam masyarakat itu berkembang, seharusnyalah hukum-hukum Islam itu
berkembang pula.
Konsep ini mempunyai konsekuensi besar terhadap berbagai hal, misalnya
pada perumusan fikih. Fikih, menurut Wahib, merupakan hasil sekularisasi ajaran
Islam di suatu tempat dan waktu (PPI, 58). Apa yang dilakukan Nabi adalah fikih
pada masanya, dan ini bisa jadi berbeda dengan fikih yang kita terapkan saat
ini. Misalnya Nabi menerapkan bentuk negara teokrasi, itu memang sesuai dengan
jamannya. Apakah kita sekarang hendak menerapkan teokrasi, demokrasi, atau
bentuk negara lain, sifatnya kondisional. Yang jelas, dalam hal hubungan Islam
dan negara, Islam hanya menyediakan nilai-nilai dasar. Kitalah yang menentukan
penerapan nilai-nilai itu dalam bentuk apa.
Politik, Budaya,
dan Pribadi
Keluasan minat dan pandangan Wahib kian terlihat jelas ketika ia
menyoroti masalah politik dan budaya. Greg Barton, dalam buku Gagasan Islam
Liberal di Indonesia (Paramadina, 1999, hal. 288), meringkas pikiran-pikiran
ensiklopedis Wahib ini dalam satu paragraf panjang: “Di bagian ini Ahmad Wahib
menanggapi isu-isu militer dalam kehidupan Indonesia serta kebutuhan responsi
pragmatic untuk hal itu, peran dan potensi Pancasila, kebutuhan masyarakat
Indonesia untuk menginternalisasi prinsip-prinsip prinsip-prinsip demokratis
dan problem-problem nasionalisme etnik.
Ia menyentuh dan berulang-ulang menyoroti tema intelektual serta peran
mereka dalam masyarakat, menjelaskan perbedaan antara intelektual dan teknokrat,
pemikir dan ilmuwan, lalu mendiskusikan peran perubahan mereka dalam konteks
sejarah singkat Indonesia, serta mengupas prospek masa depan mereka. Ia pun
memperhitungkan kontribusi seni, sastra, dan seniman bagi hidup serta jiwa juga
kelemahan-kelemahan santri yang menentang kelompok-kelompok agama lain. Ia
mencari saat-saat ras tidak lagi menjadi isu dan mempertanyakan tabiat partisan
nasionalisme Indonesia. Ia mendiskusikan sebab-sebab serta alasan hegemoni
kultur Jawa. Ia menulis panjang tentang Pemilu 1971 dan tabiat politik
Indonesia. Ia mengkaji ABRI dan Golkar dan perilaku kekuasaan. Ia menatap kaum
muda sambil mempertimbangkan peran partai-partai oposisi. Ia menertawakan
birokrat. Ia memperjuangkan hak-hak asasi manusia.
Ia berpikir dan berpikir bebas.” Tidak banyak pemikir Islam yang
menaruh minat pada banyak hal sekaligus, tanpa kehilangan kedalaman dan
orisinalitas. Dalam hal ini, mungkin hanya Abdurahman Wahid yang bisa
melebihinya. Nurcholish Madjid sendiri, menurut saya, tidak seluas Wahib rentangan
pemikirannya, terutama karena Nurcholish tidak tertarik dengan seni dan sastra
dan karenanya jarang bicara soal-soal kebudayaan. Tetapi tentu bukan di sini
tempatnya untuk menjabarkan secara rinci pandangan-pandangan Wahib tentang
aneka ragam soal itu.
Lepas dari semua atribut kehebatan itu, Wahib tetaplah seorang manusia
yang tak luput dari keterbatasan. Obsesinya yang melangit, cita-citanya yang
mengangkasa, seolah tidak berbanding lurus dengan kehidupannya sehari-hari
sebagai pribadi: pekerjaan yang tidak tetap, kehidupan cinta yang tidak jelas,
dan masa depan yang belum pasti. Wahib sendiri berulang-ulang mengeluhkan
keadaan ini di catatan-catatannya yang menyangkut kehidupan pribadi. Keadaan
sebenarnya tentu lebih lengkap dari sekadar yang dapat dibaca dalam PPI, yang
atas pertimbangan-petimbangan tertentu tidak dimasukkan oleh Djohan Effendy
selaku editor.
Posisi Wahib dalam Pembaruan Pemikiran Islam
BukuPergolakan Pemikiran Islam diterbitkan pada tahun 1981, delapan
tahun setelah kematiannya. Meskipun semasa hidupnya Wahib sering menganjurkan
pembaruan Islam, namun pemikiran genuinnya baru diketahui oleh
teman-teman diskusinya saja seperti Djohan Effendy, Dawam Rahardjo, Syu’bah
Asa, dan Nurcholish Madjid, serta paling banter oleh para aktivis HMI Jateng.
Posisinya dalam kelompok pembaruan, menurut Djohan Effendy, “lebih merupakan
‘orang belakang layar’ atau ‘actor intellectualist’, tak begitu dikenal
umum” (PPI, 13). Karena ia memulai pembaruannya dari tubuh HMI, maka waktu itu
fungsionaris HMI-lah yang lebih dikenal. Lebih lanjut, dalam pengantar buku PPI
itu Djohan juga menyayangkan terlupakannya nama Ahmad Wahib dalam tulisan dua
sarjana luar negeri, yakni Prof. Bolland dari Belanda dan Dr. Kamal Hassan dari
Malaysia, yang meneliti gerakan pembaharuan Islam di Indonesia (PPI, 13).
Oleh
karena itu cukup wajar jika dikatakan bahwa Wahib menjadi besar justru setelah
ia meninggal. Ia mati, sudah itu berarti. Kita bisa berandai-andai apa saja
mengenai nasib Wahib seandainya ia hidup lebih lama. Mungkin namanya akan
tenggelam karena idealismenya terbentur kenyataan, karena bakat intelektual dan
kerja kerasnya tak cukup kuat untuk melesatkannya ke garda depan; atau boleh
jadi ia akan lebih besar dari yang diperolehnya sekarang, lebih terkenal dan
lebih berpengaruh, bahkan dibanding Nurcholish Madjid. Apapun itu, yang terjadi
adalah: ia berpikir, ia menulis, ia mati; ia sempat dilupakan, dan tiba-tiba ia
menghentak dunia Islam Indonesia begitu catatan hariannya diterbitkan. Ia pun
dikenal banyak orang. Namanya sering dibicarakan. Pemikirannya kerap jadi
kutipan. Dan kegelisahannya yang khas dalam menempuh jalan kebenaran banyak
dijadikan model oleh anak-anak muda Islam.
Ini menunjukkan bahwa sebesar atau sekecil apapun, Ahmad Wahib, bersama
Nurcholish Madjid, Djohan Effendy, Abdurahman Wahid, dan lain-lain, telah
menorehkan jejak dalam pemikiran Islam Indonesia, khususnya dalam suatu corak
pemikiran yang akhir-akhir ini diidentifikasi sebagai “Islam liberal”. Wahib
telah ikut melapangkan jalan bagi dakwah liberalisme Islam di Indonesia.
Buahnya kini dapat dinikmati kaum liberal dengan adanya berbagai kemudahan
menyampaikan pendapat, termasuk mendirikan organisasi.
Banyak hal yang ditinggalkan Wahib, sebagian besar belum
selesai, untuk kita pikirkan dan tanyakan kembali. Sekadar kesimpulan, saya
kira sumbangan terbesar Wahib bagi pembaruan pemikiran Islam bukanlah pada
kebenaran gagasan-gagasannya, karena untuk itu ia tak diberi banyak waktu untuk
melengkapi pemikirannya dengan argumen-argumen yang komprehensif dan
sistematis. Dalam hal ini Nurcholish Madjid dan Abdurahman Wahib telah
menggantikan perannya secara lebih baik. Sumbangan Wahib paling berharga justru
terletak pada pertanyaan-pertanyaannya, yang diliputi semangat dan spirit yang
gigih dalam mencari Kebenaran.
Akhirul kalam,
pergulatan Wahib yang tanpa lelah mengingatkan kita akan satu prinsip hidup
mahapenting: kejujuran, (meminjam Pram dalam Bumi Manusia) sejak
dalam pikiran. Ia sendiri telah mengamalkannya secara konsisten lewat praktek
berpikir bebas. Ia emoh jadi orang munafik, sok suci dan semacamnya. Ia benci
pada pikiran-pikiran munafik, yaitu pikiran-pikiran yang tidak berani
memikirkan yang timbul dalam pikirannya, atau pikiran-pikiran yang pura-pura
tidak tahu akan pikirannya sendiri (PPI, 31). Sebab hanya dengan kejujuran,
dengan berpikir bebas, kita akan menemukan diri kita yang sebenarnya, menjadi
sepenuh manusia, yang kreatif