MADILOG TAN MALAKA
BAB II
F I L S A F A T
Judul Buku : MADILOG
Penulis : Tan Malaka
Penerbit : NARASI
Tahun Terbit : 2015 Cetakan Ketiga
Tebal : 568 halaman,
14,5 x 21 Cm
ISBN : (10)
979-168-374-3
: (13)
978-979-168-374-6
Apabila kita menonton satu pertandingan sepakbola, maka lebih dahulu sekali
kita mesti pisahkan si pemain, mana yang masuk klub ini, mana pula yang masuk
kumpulan itu. Kalau tidak begitu bingunglah kita. Kita tak bisa tahu siapa yang
kalah, siapa yang menang. Mana yang baik permainannya, mana yang tidak.
Begitulah kalau kita masuki pustaka filsafat yang mempunyai ratusan, ya,
ribuan buku itu. Kita lebih dahulu mesti pisahkan arah-pikiran para ahli
filsafat. Kalau tidak, niscaya bingunglah kita, tak bisa memisahkan siapa yang
benar, siapa yang salah. Seperti para pemain sepak bola tadi kacau balau di
mata kita, tak tahu apa maksudnya masing-masing, begitulah di mata kita para
ahli filsafat berkata semau-maunya saja, kalau tak ada pangkal tak ada ujung.
Tetapi memakai Engels buat penunjuk jalan, bisalah kita terhindar dari
kekacauan dan membuang-buang waktu. Engels, sekarang terkenal sebagai
co-creator, sama membangun, dengan Marx, sebetulnya dalam filsafat banyak
sekali meninggalkan pusaka. Karl Marx terkenal sebagai bapak Dialektis
Materialisme dan Surplus Value, yakni Nilai-Ber-Lebih, nilai yang diterbitkan
oleh buruh, tetapi dimiliki oleh kapitalis. Engels, pendiam, pembelakang,
selalu berdiri di belakang kawannya Marx, tetapi setia dan jujur, meneruskan
mengarang "Das Kapital", yang belum habis ditinggalkan Marx, karena
ia meninggal. Engels sendiri menulis beberapa buku berhubung dengan filsafat
"Anti Duhring" dan "Ludwig Feurbach" sejarah dan ekonomi.
Sebagai co-creator Engels melanjutkan dan mendalamkan paham Dialektis
Materialisme dan komunisme, dengan bahasa yang terang, populer, jitu dan merdu.
Engels memisahkan para ahli filsafat dari jaman Yunani sampai pada masa
hidupnya Marx-Engels dalam dua barisan. Pada satu barisan terdapat kaum Idealis
yang bertentangan dengan barisan kedua, kaum materialis. Kaum Idealis
"umumnya" memihak pada kaum yang berpunya dan berkuasa, sedangkan
kaum materialis berpihak pada proletar dan kaum tertindas. Kadang-kadang
perlawanan tinggal tersembunyi tetapi kadang-kadang terbuka terus-terang, cocok
dengan riwayatnya perjuangan proletar dan kapitalis dalam politik.
Kadang-kadang idealis di luarnya itu, materialis di dalamnya, sarinya; Spinoza,
kadang-kadang materialis di luarnya, tetapi di dalamnya idealis.
Menurut pemisahan yang diadakan oleh Engels, maka pada barisan idealis,
kita dapati penganjur terkemuka sekali seperti Plato, Hume, Berkeley yang
berpuncak pada Hegel. Pada barisan materialis, kita dapati Heraklit, Demokrit
dan Epikur, di masa Yunani, Diderot, Lamartine di masa revolusi Perancis yang
berpuncak pada Marx-Engels. Di antaranya itu didapati banyak ahli filsafat
campur aduk scientists, setengah idealis setengah materialis.
Biasanya musuh proletar, menerjemahkan dan menyamarkan
"materialisme" itu sebagai ilmu yang berdasar atas daya upaya mencari
kesenangan hidup tak terbatas; makan sampai muntah, minum sampai mabuk, kawin
dan cerai sesukanya saja. Sedangkan idealisme itu diterjemahkan dan dijunjung
tinggi sebagai satu ilmu berdasarkan kesucian yang paling tinggi, lebih
memperhatikan berpikir dari pada makan, dan kebudayaan yang sampai menjaduhi
kaum ibu seperti seorang santri, resi. Dalam keadaan yang benar, dalam
kehidupan mereka, kita tidak sekali dua kali berjumpa, dengan seorang yang
memangku paham idealis berlaku sebaliknya dari persangkaan itu, sedangkan dalam
kalangan materialis banyak kita dapati orang hidup dengan segala sederhana dan
seperti suami dan bapak yang setia.
Idealis dan materialis yang dijadikan Engels sebagai ukuran buat memisahkan
para ahli filsafat dalam dua barisan, semata-mata berdasarkan atas sikap yang
diambil si pemikir, ahli filsafat dalam persoalan yang sudah kita tuliskan
lebih dahulu, yakni mana yang pertama, primus, mana yang kedua. Benda atau
fikiran, matter atau idea. Yang mengatakan pikiran lebih dahulu, itulah
pengikut idealisme, itulah yang idealis. Yang mengikut materialisme, itulah
yang materialis. Hidup segala sederhana, atau mau segala lebih dengan tiada
memperdulikan kesehatan diri sendiri, dan kebaikan buat masyarakat itu
bergantung kepada watak masyarakat, dan didikan masing-masing orang.
Dengan memakai pemisahan yang diadakan oleh Engels, filsafat menjadi
persoalan yang mudah bagi kita. Dengan mengambil satu contoh, satu model saja,
kita bisa ketahui seluk beluknya perkara yang bersamaan dan bersangkutan.
Dengan David Hume sebagai ahli filsafat idealis, kita bisa gambarkan semua ahli
filsafat idealis dari Plato sampai Hegel.
"If I go into myself", "kalau saya masuki diri saya
sendiri", kata Hume, maka saya jumpai "bundles of conceptions",
bergulung-gulung pengertian, bermacam-macam gambaran dari pada benda.
Kalau Hume hendak mengetahui apakah benda yang bernama buah jeruk itu
umpamanya, maka yang ia insyafi cuma rasanya yang manis itu, kulitnya yang
licin itu, beratnya yang 1/2 atau ¼ kilo itu, warnanya yang hijau atau kuning
itu, bunyinya yang nyaring atau lembek itu. Bunyi itu ada di telinga, dalam
badan Hume, bukan pada jeruk, beratnya di tangan Hume, bukan pada jeruk,
rupanya pada mata, rasanya di lidah atau di ujung jari Hume. Semuanya bunyi,
rupa dan rasa itu dengan perantaraan saraf, nerve, berjalan ke pusat ke centre,
ke otak.
Otak mencatat bunyi, rupa dan rasa tadi menjadi pengertian, conception,
seperti pengertian merdu, kuning, berat, lezat dan licin. Semua pengertian ini
" dalam" saya, kata Hume, bukan di luar saya. Jeruk itu sebagai
benda, tak ada bagi saya. Yang ada Cuma "ide", pikiran, pengertian,
tentang benda itu dalam otak saya. Otak saya penuh dengan pengertian "bundles
of conceptions" kata Hume. Jeruk sebagai benda, lembu sebagai benda, tak
ada buat saya. Yang ada cuma ide, pikiran, pengertian, gambaran dari jeruk,
lembu, bumi, bintang dan engkau. "Engkau" kata Hume, cuma
"ide" buat saya.
Tetapi Engkau buat Hume adalah saya buat tuan Smith umpamanya, dan saya
buat Hume, adalah engkau buat Smith. Jadi engkau cuma ide, cuma gambaran buat
Hume itu mestinya juga gambaran buat Smith. Hume yang dipandang dari pihak
Smith ialah engkau mestinya satu gambaran, satu ide saja. Tak ada Hume itu buat
Smith sebagai orang, sebagai ahli filsafat. Yang ada cuma gambaran dalam otak
Smith.
Dengan begitu Hume yang membatalkan benda dan mengaku ide saja, membatalkan
adanya dirinya sendiri, mengakui bahwa sebetulnya dia sendiri tak ada.
Beginilah akibatnya yang konsekwen dari Idealisme, dengan membatalkan adanya
benda, ia membatalkan dirinya sendiri.
Demikianlah David Hume dengan memisahkan ide dari benda, abstraction dan
menganggap ide yang pertama, dalam menentang benda sebagai dasar yang pertama,
tewas dalam tentangannya membatalkan adanya diri sendiri. Dengan begitu ia
sebetulnya membatalkan filsafat idealisme itu.
Sesudah Hume, boleh dibilang filsafat idealisme sudah mati. Tetapi barang
yang mati itu acapkali menjelma hidup kembali dengan memakai bentuk baru, seperti
Pharao Rah dan Ptah tadi, sekarangpun masih ada bentuknya.
Emmanuel Kant ahli filsafat Jerman kesohor itu, mengangkat naik kembali
bendera Hume, tetapi tidak dengan konsekwensi Hume. Kant tidak berjalan terus
jujur seperti Hume, tetapi maju mundur. Seperti kata Lenin, filsafat Kant tidak
boleh dipakai buat berkelahi, bukan filsafat berkelahi. Menurut Kant, kita bisa
ketahui dengan pancaindera kita sesuatu benda, tetapi "Ding an Sich"
benda sendirinya, kita tidak bisa ketahui.
"Kalau sudah kita ketahui sesuatu barang dengan pancaindera apa juga
lagi yang mesti kita ketahui tentang barang itu“ begitulah kaum materialis
bertanya. Buat kaum materialis hal itu sudah cukup. Tetapi buat Kant itu belum
cukup. Ia tak sepenuhnya memihak pada Hume dan bilang terus terang, bahwa benda
itu buat dia tak ada, yang ada cuma gambaran dalam otaknya. Tetapi ia cari
rumput buat sembunyi dengan memakai "Ding an Sich" benda itu sendiri.
Jawab Engles dalam hal ini, pendek dan jitu. Kata Engels: dari hari ke
sehari "Ding an Sich" itu, sudah menjadi "Ding an Furuns".
Benda yang sendirinya itu tidak diketahui, dari sehari ke sehari sudah menjadi
"benda kita". Keterangan Engels tentang "Ding Fur Uns" itu
dulu banyak saya cari tapi tak berjumpa. Tetapi menurut pikiran saya, jawab
Engels yang pendek ini mesti diterjemahkan sebagai Berikut:
"Air" umpamanya, yang dahulu kala dianggap oleh nenek moyang kita
seperti suatu barang yang ajaib, sekarang kita sudah ketahui "zat
asalnya", ialah Hydrogen dan oxygen. Sudah diketahui, menurut undang mana
dia berpadu, ialah menurut Undang Dalton. Apa rasanya air itu kalau diraba atau
diminum. Berapa beratnya 1 L.
Apa gunanya buat kita, buat tumbuhan dan hewan. Bagaimana sifatnya, dsb.
Apa juga lagi yang mesti di "Ding an Sich"kan tentang air, nenek
moyang kita cuma mengetahui 4 zat saja di alam ini ialah :tanah, air, api,
udara. Sekarang sudah diketahui 92 zat asli, elementen. Yang diketahui sudah
boleh kita periksa dengan pancaindera kita, dengan perkakas yang kita bikin,
seperti microoskop, telescoop dan teropong, perkakas yang bisa membesarkan
kuman, beratus ribu kali dan mendekatkan bintang beratus ribu kali.
Perkakas yang dari tahun ke tahun, dari abad ke abad, bisa ditambah
kepastiannya dan kejituannya. Semua zat yang kita ketahui itu boleh kita pada
satu sama lainnya, kita buat makanan dan kesehatan kita, kita pakai kodratnya
buat kehidupan dan kesenangan kita. Kaum penakluk memakai buat menerpedo dan
membom. Yang belum kita ketahui, sedang kita cari dengan giat dan dengan lebih
besar pengharapan mendapatkannya karena teori, cara berpikir dan perkakas kita
makin banyak, makin baik.
Dimana lagi "Ding an Sich" itu tempatnya, pada zaman, di mana
alam yang dahulu kala, dianggap gaib itu, sebagian besar sudah diketahui dan
dikontrole, dikemudikan dipakai menjadi "Sing fur Uns", yakni benda
kita, seperti kata Engels tadi. Idealis yang lebih licin, karena ia memakai
Dialektika dan Logika dengan cara dan bahasa yang tiada ada bandingnya selama
ini, ialah Hegel. Lama Marx, walaupun ia sudah Marxis, sesudah meninggalkan
gurunya, Hegel,dilekati Hegelisme.
Dengan dua sayap thesis di kanan, anti thesis di kiri dan badan synthesis
di tengah, Hegel terbang makin lama makin tinggi sampai silau mata si
pemandang. Buat Hegel "absolute Idee" ialah, yang membikin benda
"Realitat". "Die absolute Idee macht die Gesichte" absolute
idee yang membikin sejarah, histori, dan membayang pada filsafat. Bukan
filsafat yang membikin sejarah, katanya, melainkan Absolute Idee "deren
nachdrucklichen Ausdruck, die Philosophie ist" yang tergambar nyata pada
filsafat. Jadi menurut Hegel, sejarah ialah sejarah dunia dan masyarakat
dibikin Absolute Idee, dan hal ini tergambar pada filsafat. Pada lain tempat
Hegel mengatakan, bahwa Negara dan Saat ialah "verwieklichung"
penjelmaan, absolute idee itu. Absolute Idee itu sama dengan Metaphysik, Idee
sendirinya, idee yang tak dibikin, yang tunggal tak jatuh pada undang sebab dan
akibat, hidup dan mati, tak melahirkan atau dilahirkan, tak takluk pada tempo
dan tempat, melainkan tunggal, terkuasa dan sempurna. Absolute Idee itu
tergambar jitu dan pasti pada filsafat. Absolute Idee akhirnya sama dengan
metaphysik, yakni gaib di luar Ilmu Alam, rohani, Ammon kata Egypte purbakala,
Dewa Rah.
Rohani inilah yang dicari oleh mystikus, murid tarekat Hindu, kalau ia
memandang puncak hidungnya saja, menyebut omm, omm, omm, lepas dari semua yang
lahir, pikiran pada perempuan, pada badannya sendiri, lepas dari makanan, ya,
lepas dari suaranya sendiri, omm, omm, omm tadi. Kalau beruntung seperti
Gautama Budha, maka leburlah Rohani, Jiwanya dengan Rohani yang mengisi Alam
ini.
Feurbach, materialis besar, yang dianggap jembatan antara Hegel dan Marx,
mula-mula memakai Dialektika juga. Buah pikirannya ketika itu banyak memberi
alat pelajaran pada Marx dan Engles. Tetapi setelah Feurbach melemparkan
Dialektika sebagian besar disebabkan hidup terpencil, seolah-olah terbuang dari
pergaulan, maka hasil pemeriksaannya jauh terbelakang dari Hegel. Hegel
dianggap oleh kaum materialis sebagai ujung filsafat yang negatif, yakni ujung
yang membatalkan, ujung yang buntu. Feurbach dianggap sebagai ujung yang
positif, yakni pembuka jalan yang baru ke jalan Dialektis Materialistis. Kaum
Marxis sepenuh-penuhnya mengakui kemanjuran senjata Dialektika, tetapi membuang
Idealisme Hegel.
Marx, sesudah beberapa lama dikagumi dan dipengaruhi Hegel, (sebagai
pelajar ia bisa hapalkan pasal-pasal yang penting dari Hegelisme), akhirnya
memasang Hegelisme di atas kakinya. Hegelisme yang selama ini dianggap
berkepala di kaki dan berkaki di kepala, dibalikkan sebagai mana mestinya.
Bukan pikiran yang menentukan pergaulan, melainkan pergaulan yang menentukan
pikiran.
"Negara kata", kata Marx "ialah satu akuan dan hasil dari
perjuangan klas". Perjuangan klaslah yang menjadi
"Motive-Force", kodrat pergerakan sejarah masyarakat, kodrat mengubah
bentuk Negara, jadi bukanlah "Absolute Idee", seperti kata Hegel.
Zaman berbudak bertukar menjadi Zaman Feodal, Zaman Ningrat. Zaman Feodal itu
sesudah Revolusi Perancis pada tahun 1789 bertukar menjadi Zaman-Kuno dalam
pandangan sekarang. Dialektika, yakni pertentangan yang berlaku pada zaman
Berbudak, ialah pertentangan budak dan tuan. Pada zaman feodal, pertentangan
Ningrat dan Tani, pertentangan pemimpin gilde dengan anggota gilde. Pada zaman
Kapitalisme sekarang pertentangan buruh dan kaum modal. Pertentangan klas yang
berdasar atas pertentangan ekonomi itulah yang menjadi kodrat buat menumpu
masyarakat pada satu bentuk ke bentuk yang lain, dari satu tingkat ke tingkat
yang lain. Dari masyarakat berdasarkan perbudakan ke masyarakat berdasar
keningratan, ke masyarakat berdasar kemodalan. Jadi pertentangan itu bukan
pertentangan ide saja, seperti menurut paham Hegel – nanti akan diteruskan –
tetapi pertentangan barang yang nyata, pertentangan antara dua klas besar yang
berjuang, yang sekarang terus berjuang.
Pertentangan klas, ialah klas manusia, ialah barang yang nyata itu,
berdasar atas pertentangan ekonomi yang dipertajam oleh kemajuan tehnik. Tehnik
yakni perkakas yang dipakai dalam pergaulan, perkakas yang pada zaman ini
dimiliki oleh kaum berkuasa dan kaum berpunya, menjadi alat adanya perjuangan
klas itu. Semua perkakas dan klas manusia, yang menjalankan peranan dalam
sejarah kita manusia ini adalah barang yang nyata semuanya. Peranan sejarah
itu, tiadalah dibikin dan dikemudikan oleh Absolute Idee itu, sebagaimana juga
sejarah tumbuhan-hewan-manusia, bumi dan binatang tidak dikemudikan oleh
Dewa Rah, Rohani, Ahimsa dsb.
Sebagaimana bumi dan bintang berjalan, bersejarah, menurut undang tarik
menarik yang didapat oleh Newton, sebagaimana tumbuhan-hewan dan manusia
bersejarah menurut undang-evolusinya Darwin, beginilah sejarahnya masyarakat
manusia bersejarah menurut undangnya Historisch-Materialisme (Sejarah
Materialisme), yang juga dinamai Dialektika Materialisme.
Dengan lahirnya Marxisme, maka Hegelisme berbelah dua: Dialektika
Idealistis dan Dialektika Materialistis. Yang pertama dipegang oleh kaum yang
bermodal dan berkuasa dengan pengikutnya, yang kedua, oleh kaum proletar yang
revolusioner. Di antara dua filsafat bertentangan tadi, sudah tentu ada
bermacam-macam filsafat bukan buat bertarung. Hegelisme yang memang
revolusioner terhadap kaum Ningrat Jerman, tetapi kontra revolusioner terhadap
kaum Proletar, sudah tentu baik buat tempat berlindungnya kaum reaksioner
seperti kata Marx: "Dalam bentuknya yang reaksioner, Hegelisme menjadi
adat, sebab bentuk ini menerjemahkan keadaan yang ada".
Idealisme tak akan mati selama masih ada perjuangan klas ini, selama ada
kaum yang menghisap dan menindas. Kaum hartawan yang berkuasa pada satu pihak,
mengemukakan ide, intelek, pikiran, terhadap kaum terhisap dan tertindas, pada
lain pihak ia memakai kemegahan, majiat rohani buat meninabobokan kaum pekerja,
supaya nanti mendapat nikmat, bidadari, yang matanya seperti mata burung
merpati dan kesenangan kekal akhirat.
Demikianlah sesuai dengan perjuangan kelas, idealisme atau tak
berdialektika, membentuk dirinya supaya cocok dengan keadaan klas yang
memegangnya. Dimana Kapitalisme masih muda, kokoh karena sedang naik seperti
Amerika, maka lahirlah idealisme berupa "pragmatisme" yang
dikemukakan oleh John Dewey. Filsafat pemikir dari negara yang mempunyai
"the biggest of all", semuanya paling jempol, ini katanya berdasarkan
"objective truth", hakekat yang obyektif, yang tenang, tetapi kalau
diperiksa lebih dalam, maka nyatalah bahwa "objective truth", tadi
bergantung pada paham, cita-cita dan perasaan borjuasi Amerika "the
country of the free", negara merdeka ialah buat borjuasi amerika. John
Dewey mengambil masyarkat borjuis dan paham borjuis sebagai titik permulaan
berpikir, ketika Amerika dalam kaya raya. Sekarang, sampai sebelum perang ini
kemakmuran Amerika, yang disangka akan tinggal kekal tadi, sudah menyusuli
kawannya di Eropa Barat. Krisis sudah bersimaharajalela dan tetap.
Sekarang buat 11.000.000 buruh, jadi buat kira-kira 33.000.000 buruh dengan
anak bininya, "obyective truth" tadi, tidaklah begitu
"obyective", tidaklah begitu tenang. Semua barang yang memberi
ketenangan buat borjuis seperti harta benda, justisi, polisi dan hak milik
turun menurun, adalah benda yang mengacaukan paham, perasaan dan penghidupan
kaum proletar Amerika sekarang.
Dimana pergerakan buruh berpengaruh sekali seperti di Jerman sebelum perang
1914-1918, maka dalam kalangan proletar sendiri idealisme itu tiadalah berani
keluar terang-terangan. Dalam kalangan kaum proletar sendiri masuk
bermacam-macam isme, yang diluarnya berupa materialisme, tetapi pada dasarnya
terdapat idealisme. Lenin dalam bukunya: "Empiris-Critism" dengan terang
dan jitu mengemukakan, pemisahan kaum ahli filsafat atas dua partai, seperti
pertama kali dikemukakan oleh Engels, ialah partai ahli filsafat idealis dan
partai materialis. Dengan sempurnanya Lenin membuka kedok yang dipakai oleh
Empiris-Critism, Machinisme Neo Vitalisme, dll. Dan memperlihatkan idealisme
yang sebetulnya jadi dasar filsafat mereka.
Di Rusia usahanya Lenin dan Plechanoff, (yang dalam kalangan Marxisten di
Rusia sendiri sering saya dengar bahwa Plechanoff lebih besar dalam ilmu
filsafat dari pada Lenin), usahanya dua ahli filsafat Materialis ini akhirnya
menjatuhkan kekuasaan filsafat Idealisme di Rusia dan memaksa dia bekerja
diam-diam. Dialektis Materialisme ialah Ilmu Pemandangan Dunia,
“Weltanschauung" yang resmi, opisil di Sovyet Rusia.
Di sebelah Barat Eropa, idealisme masih sangat berkuasa dan pada masa ini
idealisme-lah yang resmi. Idealisme Barat mendapat bentuk baru, dan pakaian
baru, ialah anarchisme palsu, dari ahli filsafat Bergson dan syndikalisme dari
Serel. Anachisme Bergson bukanlah anarchisme beraksi, seperti ilmu yang dipeluk
oleh anarchis besar, ialah Bakunin. Bergson, Spengler dan Nietsche (yang
belakang ini ialah satu filosoof krachtpatser, siapa kuat, siapa raja,
Ubermensch) inilah yang dipeluk oleh Adolf Hitler dan Nazi. Filsafat Fasisme
dianjurkan oleh pemikir Geovani Gentile.
"Facisme", kata pemikir ini "bukanlah New System, tata
filsafat yang baru, melainkan aksi-baru dan paham-baru".
"Manusia" katanya pada hakekatnya beragama. Manusia dan Tuhan selalu
dalam "ewige Bewegung der Selbstverwirklichung", pergerakan kekal
buat berpaduan.
Sedikit kita selidiki, filsafat partai fasis, yang sebetulnya pertama
sekali menaikkan bendera reaksi di Eropa Barat, apabila partai Bojuis liberal
kacau, partai Sosialis maju-mundur dan partai Komunis sebagian tak
berpengalaman, tetapi terutama juga "sangsi" sebab negara Italia,
kalau dikomuniskan gampang dikepung dan dijauhkan oleh Kapitalisme Eropa Barat
dan Amerika.
Fasisme kata Geovani Gentile, bukan tata filsafat baru memang tidak, kalau
dipandang dari kaca-mata idealisme. "aksi-baru dan paham-baru"
katanya pula. Aksi kaum tengah dan paham kaum tengah terhadap proletar dengan
pertolongan kapitalis, memang baru dalam perjuangan proletar – kapitalis model
baru. Tetapi kalau kita baca Marx dalam buku "18th Brumaire of Louise
Bonaparte", tentang aksi dan paham Louise Bonaparte di Perancis, maka aksi
dan paham Facisme Italia tadi cuma bentuk baru dari aksi dan paham tua.
Mussolini, bapak fasisme juga amat tertarik oleh Napoleon Besar
"ommpya" dari Louse Bonaparte sampai ia mentonilkan Napoleon, yang
katanya orang Italia itu.
Bahwa manusia dalam batinnya beragama, ini dibatalkan oleh beberapa
penyelidikan yang tenang, yang membuktikan beberapa bangsa di dunia tak
mengetahui agama. Akhirnya kalau kita baca "pergerakan kekal buat
perpaduan manusia dan Tuhan" menurut filsafat fasis itu, kita ditarik lagi
ke negara Kapilawastu, ke kaki gunung Himalaya; mengagumkan percobaan Gautama
Budha, mempersatukan rohnya dengan roh Alam buat masuk ke Nirwana. Cuma Gautama
Budha tak seperti Mussolini memakai tongkat dan "kastor-olie" buat
mematahkan semangat dan paham musuhnya Mateotti, pemimpin sosialis Italia,
musuh besar Mussolini yang hilang lenyap selama-lamanya buat melakukan
"paduan dengan Tuhan itu" dengan lekas.
Perjuangan klas tertutup dan terbuka. Inilah arti filsafat yang sebenarnya
dari arti Dialektika yang sebetulnya. Ia boleh melayang tinggi seperti Hegelis
dan tinggal di tanah, di perut, seperti dialektis materialisme (orang mesti
makan dahulu sebelum berpikir, kata Engels), tetapi filsafat itu adalah
bayangan masyarakat yang bertentangan, bukan bayangan Absolute Idee seperti
kata Hegel.
Pada permulaan, filsafat itu timbul pokok, yang jadi persoalan, ialah
"semua ini". Ahli filsafat bertanya: "semuanya ini, bumi, langit
dan pikiran itu sendiri, apakah artinya?" Lama-lama persoalan "semua
ini" cerai-berai. Bumi dan langit sudah jatuh menjadi ilmu Bintang, yang
sesudah Galilei, Copernicus, Newton, Einsten dll. Mendapat undang yang sementara
boleh dikatakan sempurna.
Bumi kita ini jatuh kepada Ilmu Bumi, Geography dan Ilmu Tanah, Geology,
yang sendirinya mempunyai daerah dan mempunyai undang pula. Perkara yang
berhubungan dengan Zat dan Kodrat, jatuh pada Ilmu Alam. Perkara yang
berhubungan dengan berpaduan beberapa zat, sehingga mendapatkan sifat baru,
termasuk pada Ilmu Kimia. Ilmu Alam yang mulanya memeluk Ilmu Kimia, sekarang
menceraikan dirinya dari Ilmu Listrik, yang sekarang karena besar daerahnya dan
dalam artinya mesti dipelajari sendirinya.
Pemeriksaan atas tumbuhan jatuh pada Ilmu Tumbuhan, dan pemeriksaan atas
hewan dan manusia jatuh pada Ilmu Hewan dan Ilmu Manusia. Ilmu Hidupnya asal
dan penjelmaannya Tumbuhan, Hewan dan Manusia, jatuh pula pada Biology, satu
Ilmu yang boleh dikatakan muda, dan banyak sekali mengandung arti buat kita.
Umpamanya perkara evolusi atau pertumbuhan otak dan Pikiran dari otak binatang
sampai ke otak manusia.
Sudahlah tentu satu Ilmu dengan yang lain, ada seluk beluk dan
perhubungannya, Ilmu Alam dan Ilmu Kimia, mesti diketahui ahli yang mempelajari
Ilmu Kedokteran. Begitu pula agriculture, Ilmu Pertanian tak bisa berpisah dari
Ilmu Alam dan Ilmu Kimia tadi. Demikianlah pula seorang Insinyur, jatuh dan
berdiri dengan Ilmu Alam dan Matematika.
Syahdan, maka masing-masing Ilmu di atas tadi, disebabkan kemajuan
pergaulan kita, kemajuan industri, perniagaan dan pesawat terpaksa
dipecah-pecah lagi, terpaksa di-"specialiceer" lagi, terpaksa
dipencilkan dan diistimewakan lagi. Dengan begitu perkara yang tiada berkenaan
bisa disingkirkan dan waktu itu boleh dipakai buat memeriksa dan memperdalam
perkara yang diistimewakan itu. Ilmu Kedokteran sudah pecah menjadi kedokteran
umum, perkara gigi, telinga, mata, kanak-kanak dsb. Adalah bahaya buat Science,
kalau pecah-pecahan itu (pada Ilmu yang sudah banyak itu) akan pecah terus,
dengan tidak lagi mengetahui perhubungan satu Ilmu dengan Ilmu yang lain.
Bahaya itu kebetulan sudah diketahui dan amat dipelajari muslihat buat
menjauhkannya. Kalau saya tak salah, maka perkataan filsafat sekarang
diterjemahkan juga buat menggambarkan daya upaya mempersatukan Ilmu
bermacam-macam itu, jadi buat memeriksa seluk beluk dan perhubungannya. Dengan
begitu, maka si Scientist, si Ahli mungkin kehilangan hutan, karena sangat
memperhatikan pohon-pohon saja.
Lupa garis besar, karena senantiasa memperhatikan garis yang kecil-kecil
saja. Daya upaya semacam inilah sekarang yang sering diartikan oleh perkataan
filsafat. Bukan lagi sikap yang diambil oleh ahli filsafat purbakala, yang
dengan memangku tangan dan tafakur, bertanyakan: "Apakah artinya Alam dan
apakah artinya pikiran itu?" Demikianlah kalau kita peramati kemajuan Ilmu
Filsafat tadi, maka kita lihat pada Zaman Tengah tahun 478-1492 si pencari
Hakekat dilekati oleh Ketuhanan. Kaum Scolastic, namanya di Eropa Barat tak
bisa mencari hakekat itu, kalau persoalan itu tiada digarami, dilimaui
(dijeruki) dan dimasak dengan God dan agama ialah agama Nasrani. Sesudah itu,
pada zaman borjuis filsafat tadi sudah susut pada persoalan "Jasmani dan
Rohani", badan dan pikiran. Sudah lama pula filsafat ini jatuh ke tangan
psychology, Ilmu jiwa, Ilmu yang memeriksa "the working of the mind"
kerjanya otak.
Ilmu ini tidak lagi direnungkan oleh
si pemikir di atas kursi malas dalam otaknya saja, melainkan sudah dimasukkan
ke laboratorium. Disinilah otak binatang dan manusia dipisah, diperiksa,
diexperimentkan, diperalamkan. Disinilah instinct, yakni pikiran hewan,
perasaan, kemauan hewan dan kecakapan hewan dalam belajar, diperiksa,
diperalamkan, diuji dan dibandingkan dengan akal, perasaan dan kemauan manusia.
Experimentalis William James dan Thorndyke di Amerika, Pavlov di Rusia dan
experimentalis yang lain, banyak mengumpulkan pengalaman yang berharga dan
masih banyak persoalan yang mesti diperalamkan dan diuji oleh Ilmu yang muda
tetapi sangat menarik hati. "Ketahuilah dirimu sendiri “. Inilah sari
persoalan dari seorang ahli filsafat Yunani yang terkenal ialah Socrates.
Sekarang persoalan ini sudah menjelma menjadi pemeriksaan atas "the
working of the mind", kerjanya otak, yang sudah dimasukkan ke laboratorium
bersama dengan Ilmu lain-lain yang berdasarkan experiment, pengalaman.
Filsafat bertukar, artinya bertukar rupanya dan pecah belah menjadi
beberapa ilmu yang berdasarkan experiment.
Engels sudah mendapat kesimpulan, bahwa sisanya filsafat ialah Dialektika
dan Logika. Semua cabangnya yang lain jatuh pada bermacam-macam Ilmu Alam dan
sejarah, ialah sejarah masyarakat Indonesia.