PERGULATAN PEMIKIRAN
FILSAFAT
MATREALISME VS IDEALISME
Marxisme adalah sebuah hasil dari pemikiran mark, dimana didalamnya termuat
sebuah filsafat yang berintikan materialisme dan dialektika. Apa itu matrealisme “Materialisme adalah konsepsi
filsafat marxis, sedang dialektika adalah metodenya” –demikian tutur Njoto pada
tahun 1961 Dalam tulisan ini saya akan memaparkan materialisme dan dialektika (dialectical
materialism –diamat) tersebut.
Materialisme
Dalam sejarah panjang filsafat terdapat dua aliran filsafat yang saling
bertentangan: idealisme dan materialisme. Namun, tidak seperti pengertian yang
kita pahami sehari-hari dimana materialisme diidentikkan dengan kesenangan
terhadap hal-hal duniawi (seperti kekayaan) dan idealisme selalu diidentikkan
dengan sesuatu yang mulia, seperti cita-cita mulia atau konsistensi pada sebuah
jalan yang dianggap baik, misal orang itu masih idealis karena masih kritis.
Dalam filsafat definisi ini sangat berbeda. Oleh karena itu, dalam hal ini kita
menempatkan pemahaman antara materialisme dan idealisme dalam ranah filsafat.
Materialisme adalah paham yang mempercayai bahwa asal mula adalah materi
yang merupakan hakikat. Berkebalikan dengan itu, idealisme adalah gugus pengertian
yang meyakini bahwa hakikat adalah ‘ide’ dan materi yang ada merupakan refleksi
dari ‘ide’ tersebut. Sebagai contoh, hubungan antara kesadaran dan otak
manusia. Materialisme meyakini bahwa kesadaran manusia ada karena adanya objek
indrawi yang mendahuluinya, yaitu otak. Otak inilah yang melakukan kerja
sehingga menghasilkan kesadaran. Sebaliknya, kalangan idealis meyakini bahwa
kesadaran ada bahkan tanpa didahului oleh otak sebagai objek indrawi. Salah
satu filsuf yang beraliran idealis ini adalah Hegel.
Kemudian Adalah Feuerbach, yang pada masa mudanya merupakan Hegelian Sayap
Kiri –salah satu bagian dari Hegelian Muda, murid-murid Hegel- yang menggugat
filsafat idealisme ini. Bagi Feuerbach, sistem hegelian itu tidak cocok denga
kenyataan indrawi yang konkret. Kenyataan indrawi yang konkret itu adalah alam
material. Namun, meskipun Feuerbach meyakini bahwa hakikat adalah objek
indrawi, tetapi materialisme Feuerbach belum benar-benar lepas dari idealisme
Hegel. Marx lah yang kemudian mengambil materialisme Feuerbach ini dan
memberikan definisi baru terhadapnya.
Dalam Tesis Pertama Tentang Feurbach, Marx berpendapat bahwa:
“Kekeliruan mendasar dari materialisme yang ada sampai saat ini—termasuk
juga Feuerbach—adalah bahwa benda [Gegenstand], realitas, keindrawian,
dimengerti hanya dalam bentuk obyek [Objekt] atau kontemplasi [Anschauung],
tetapi tidak sebagai aktivitas indrawi manusia, praktik, [atau dengan kata
lain] tidak secara subyektif”[2]
Materialisme Feuerbach dan semua materialisme pra-Marx (atau disebut juga
materialisme klasik) tidak bisa memahami bahwa objek indrawi itu adalah juga
hasil dari aktivitas, kerja, praxis, dari subjek manusia. Materialisme klasik
yang memusatkan pada sentralitas objek inilah yang dibalikkan
oleh Marx dengan menjadikan subjek sebagai pusat yang
mengkonstitusikan objek indrawi. Pendekatan ini yang disebut dengan
“materialisme subjektif”.
Dengan materialisme subjektif ini, Etienne Balibar dalam bukunya The
Philosophy of Marx yang dikutip oleh Martin Suryajay mengatakan bahwa
Marx berhasil melepaskan materialisme dari idealisme. Selama materialisme
berhenti pada objek indrawi saja, maka selama itu pula materialisme tak lebih
dari “idealisme terselubung” (disguised idealism). Masih menurut
Balibar, materialisme yang dikonsepsikan Marx menghasilkan pemahaman yang baru
tentang subjek, bahwa subjek sama dengan praktik dan objek indrawi yang ada di
alam ini tidak bisa lepas dari pengaruh aktivitas-aktivitas manusia. Turunnya
nilai tukar rupiah terhadap dolar, kenaikan harga, tingginya inflasi, rusaknya
alam, hingga jerat kemiskinan seorang buruh pabrik yang padahal sudah bekerja
membanting tulang bukanlah merupakan sesuatu yang natural dalam alam ini.
Segala realitas yang terjadi merupakan hasil dari kesalingterhubungan berbagai
aktivitas manusia.
Feuerbach ( 1804 – 1872 ) adalah jembatan penting yang
menghubungkan antara hegel dan Marx. Sebagai Hegelian Muda, Feuerbach banyak
mengkritik Hegel, diantaranya terhadap penekanan berlebihan hegel pada
kesadaran dan semangat masyarakat. Feuerbach menerima filsafat matrealis dan
karenanya ia menegaskan bahwa yang diperlukan adalah meninggalkan idealism
subjek Hegel untuk kemudian memusatkan perhatian bukan pada gagasan, tetapi pada
realitas material kehidupan manusia. Dalam mengkritik Hegel ia menekankan pada
agama. Menurut Feuerbach, tuhan adalah esensi kehidupan manusia yang mereka
proyeksikan menjadi sebuah kekuatan impersonal.
Menurut Feuerbach masalah keyakinan agama seperti itu
harus diatasi dan kelemahannya itu harus dibantu dengan filsafat matrealis yang
menempatkan manusia ( buka agama ) menjadi objek tertinggi diri mereka sendiri,
menjadi tujuan didalam diri mereka sendiri. Filsuf matrealis mendewakan manusia
nyata, bukan gagasan yang abstrak seperti agama. Marx, Hegel dan Feuerbach, Marx dipengaruhi
oleh dan sekaligus mengkritik Hegel dan Feuerbach. Mengikuti Feurbach,
Marx mengkritik kesetiaan Hegel tehadap filasafat idealis. Marx berpendirian
demikian bukan hanya karena ia mengant orientasi matrealis tetapi juga karena
minatnya dalam aktivitas praktis. Fakta sosial, seperti kekayaan dan Negara,
oleh hegel dikatakan lebih sebagagi gagasan ketimbang sebagai sesuatu yang
nyata sebagai kesatuan material. Pendirian Marx sangat berbeda. Ia menyatakan
bahwa masalah kehidupan modern dapat dirujuk ke sumber materialnya yang riil
(misalnya, struktur kapitalisme). Karena itu penyelesaiannya hanya dapat
ditemukan dengan menjungkirbalikan struktur kapitralisme itu melalui tindakan kolektif
sejumlah besar orang (Marx dan Engels, 1845 / 1956 : 254). Sementara hegel
meletakkan “ dunia diatas kepalanya “ (ia memusatkan perhatian pada kesadaran
bukan pada kehidupan material yang nyata), Marx benar – benar meletakkan
dialektikanya dalam landasan material.
Marx mendukung kritik Feuerbach terhadap sejumlah
pemikiran Hegel ( misalnya, materialisme dan penolakannya terhadap ke abstrakan
teori hegel), tetapi ia jauh dari puas terhadap pendapat Feuerbach sendiri.
Feuerbach memusatkan perhatian pada kehidupan keagamaan, sedangkan Marx yakin
bahwa seluruh dunia sosial, dan khususnya kehidupan ekonomilah yang harus
dianalisis. Meski Marx menerima materialisme Feuerbach, ia merasa bahwa
Feuerbach terlalu jauh memusatkan perhatian pada sisi non dialektis kehidupan
materi. Feuerbach telah gagal memasukkan dialektika selaku sumbangan pemikiran
Hegel terpenting kedalam orientasi materialisme. Terakhir, Marx menyatakan
bahwa Feuerbach, seperti kebanyakan filsuf lalinnya, gagal menekankan praksis (
praxis ).
Marx memungut apa yang dianggapnya unsure terpenting
dari dua pemikir itu, dialektika Hegel dan materialisme Feuerbach dan
meleburnya menjadi orientasi filsafat sendiri, yakni materialisme
dialektika yang menekankan pada hubungan dialektika dalam kehidupan
material. Materialisme marx dan penekanannya pada sector ekonomi
menyebabkan pemikiran sejalan dengan pemikiran kelompok ekonom politik (
seperti Adam Smith dan David Ricardo ). Marx sangat tertarik terhadap pendirian
para ekonom politik itu. Ia memuji premis dasar mereka yang menyatakan bahwa
tenaga kerja merupakan sumber seluruh kekayaan. Pada dasarnya premis inilah
yang menyebabkan Marx merumuskan teori niali tenaga kerja.Kapitalis
melakukan muslihat sederhana dengan membayar upah tenaga kerja kurang dari yang
selayaknya mereka terima, karena mereka menerima upah kurang dari nilai barang
yang sebenarnya mereka hasilkan dalam suatu periode bekerja. Nilai surplus ini,
yang disimpan dan di investasikan kembali oleh kapitalis, merupakan basis dari
seluruh sistem kapitalis. Sistem kapitalis tumbuh melalui tingkatan eksploitasi
terhadap tenaga kerja yang terus menerus meningkat ( dan karena itu jumlah
nilai surplus pun terus meningkat ) dan dengan menginvestasikan keuntungan
untuk mengembangkan sistem.
Marx juga dipengaruhi oleh para ekonom politik yang
melukiskan kehidupan sistem kapitalis dan eksploitasi kapitalis terhadap kaum
buruh. Tetapi, ketika mereka melukiskan kejahatan kapitalisme, Marx mengecamnya
karena dia menganggap mereka hanya melihat kejahatan ini sebagai unsure
kapitalisme yang tak terelakan. Marx meneliti semua dukungan umum mereka
terhadap kapitalisme dan cara mereka mendesak buruh bekerja untuk mencapai
kesuksesan ekonomi di dalam perusahaan kapitalis. Teori Marx, secara garis
besarnya saja, dapat dikatakan bahwa Marx menawarkan sebuah teori tentang
masyarakat kapitalis berdasarkan citranya mengenai sifat mendasar manusia. Marx
yakin bahwa manusia pada dasarnya produktif, artinya untuk bertahan hidup
manusia perlu bekerja di dalam dan dengan alam. Dengan kata lain manusia pada
hakikatnya adalah makhluk sosial. Mereka perlu bekerja bersama untuk
menghasilkan segala sesuatu yang mereka perlukan untuk hidup. Kapitalisme pada
dasarnya adalah sebuah struktur atau lebih tepatnya serangkaian struktur yang
membuat batas pemisah antara seorang individu dan proses produksi, produk yang
diproses dan orang lain, dan akhirnya juga memisahkan dari individu itu
sendiri.
Marx sebenarnya sedikit sekali memimpikan keadaan
masyarakat yang di impikkan pemikir sosialis utopian ( Lovell, 1992 ). Ia lebih
memikirkan upaya untuk membantu mematikan kapitalisme. Ia yakin bahwa
kontradiksi dan konflik di dalam kapitalisme menurut dialektika akan
menyebabkan kehancurannya, tapi ia tak berpikir bahwa prosesnya tak terelakan.
Untuk menciptakan sosialisme, orang harus bertindak pada waktu dan dengan cara
yang tepat. Kapitalis mempunyai sumberdaya yang sangat besar yang dapat
digunakan untuk mencegah munculnya sosialisme tetapi mereka dapat dikuasai
melalui tindakan bersama dari kaum ploletariat yang mempunyai kesadaran kelas.
Sosialisme menurut pengertian paling mendasar adalah
suatu masyarakat dimana mula–mula orang akan mendekati citra ideal Marx tentang
produktivitas. Dengan bantuan teknologi modern orang dapat berinteraksi dengan
alam dan dengan orang lain secara selaras untuk menciptakan segala sesuatu yang
mereka butuhkan untuk hidup.
Tindakan Sosial
Tindakan atau aksi berarti perbuatan atau sesuatu yang
dilakukan. Secara sosiologis, tindakan artinya seluruh perbuatan manusia yang
dilakukan secara sadar atau tidak disadari, sengaja atau tidak disengaja yang
mempunyai makna subjektif bagi pelakunya. Didalam sosiologi, tindakan sosial
banyak dikemukakan oleh Max Weber (1864-1920) seorang ahli sosiologi Jerman,
dimana tindakan sosial dimulai dari tindakan individu atau perilaku individu
dengan perilaku oang lain, yang diorientasikan pada hasil tindakan tersebut,
sehingga dapat dipahami secara subjektif, maksudnya setiap tindakan sosial yang
dilakukan seseorang akan memiliki maksud atau makna tertentu.
Jadi tindakan sosial pada diri seseorang baru terjadi
apabila tindakan tersebut dihubungkan dengan orang lain. Tindakan sosial yang
dimulai dari tindakan indidu-individu memiliki keunikan atau ciri tersendiri.
Ciri–ciri Tindakan Sosial
Bentuk tolak dari konsep dasar tentang tindakan
sosial dan antar hubungan sosial, maka terdapat lima ciri pokok yang menjadi
sasaran sosiologi, yaitu:
1)
Tindakan manusia yang menurut si aktor mengandung makna subjektif, hal ini
meliputi tindakan nyata.
2)
Tindakan nyata yang bersifat membatin sepenuhnya dan bersifat subjektif.
3)
Tindakan yang berpengaruh positif dari suatu situasi, maka tindakan
tersebut akan diulang.
4)
Tindakan itu diarahkan pada seseorang atau pada individu.
5)
Tindakan itu memperhatikan tindakan individu lain dan terarah pada orang
atau individu yang dituju.
Faktor Pendorong Melakukan Tindakan Sosial
Manusia merupakan makhluk yang tidak akan bisa hidup
tanpa manusia lain, sebab secara biologis manusia adalah makhluk yang paling
lemah. Sejak dilahirkan ke dunia, manusia mempunyai dua hasyat atau keinginan
pokok yaitu keinginan untuk menjadi satu dengan manusia lain di sekitarnya
(masyarakat) dan keinginan untuk menjadi satu dengan lingkungan alam di
sekitarnya. Untuk memperoleh kedua hasrat tersebut, manusia menggunakan
akalnya ( pikiran, perasaan, dan kehendak). Menyadari kelemahan dan
kekurangannya dalam menyesuaikan diri serta menghadapi tantangan alam yang
tidak mungkin dilakukan secara sendiri-sendiri atau perorangan, manusia
menghimpun diri dan mengelompokan dirinya dengan manusia lain yang kemudian
disebut masyarakat.
Bentuk–bentuk Tindakan Sosial
Pada dasarnya tindakan manusia, baik sebagai individu
maupun makhluk sosial terdiri dari dua tindakan pokok yaitu tindakan lahiriah
dan tindakan batiniah, sebagai berikut:
1)
Tindakan lahiriah Tindakan
lahiriah adalah tata cara bertindak yang tampak atau dapat dilihat dan cendeung
ditiru secara berulang – ulang oleh banyak orang.
2)
Tindakan batiniah Tindakan
Batiniah adalah cara berfikir, berperasaan, dan berkehendak yang diungkapkan
dalam sikap dan bertindak, dilakukan berulang kali dan di ikuti oleh banyak
orang. Di dalam kehidupan masyarakat, kita dapat mengenali beberapa pola
tindakan bathiniah yang terdiri dari bantuk – bentuk sebagai berikut:
a)
Prasangka (prejudice) Prasangka adalah anggapan atau penilaian terhadap
suatu fenomena tanpa di tunjang dengan bukti-bukti yang dapat
dipertanggungjawabkan.
b)
Sikap sosial (sosial attitude) Sikap sosial adalah suatu bentuk pola perilaku
lahiriah dan bathiniah terhadap fenomena atua gejala yang mempunyai arti
sosial.
c)
Pendapat umum (publik opinion) Pendapat umum adalah suatu komposisi pikiran
masyarakat yang berpola dan dibentuk dari beberapa golongan atau kelompok.
d)
Propagan Propagan adalah suatu mekanisme kegiatan yang
dilakukan dengan cara mempengaruhi massa atau publik agar mau untuk menerima
pola fikiran tertentu. Pada dasarnya tindakan sosial dapat dibedakan menjadi
empat tipe tindakan berdasarkan tingkat kemudahan untuk dipahami sebagai
berikut:
e)
Rasionalitas instrumental. Merupakan tindakan sosial murni, dimana tindakan
tersebut dilakukan dengan memperhitungkan kesesuaian antara cara yang digunakan
dan tujuan yang akan dicapai ( bersifat rasional).
f)
Rasionalitas berorientasi nilai. Tindakan itu dilakukan dengan memperhitungkan
manfaatnya, tetapi tujuan yang dicapai tidak terlalu dipetimbangkan yang
penting tindakan terbut baik dan benar menuut penilaian masyarakat.
g)
Tindakan afektif. Tindakan ini dilakukan dengan dibuat – buat yang
didasari oleh perasaan atau emosi dan kepura–puraan seseorang.
h)
Tindakan tradisional Tindakan ini didasarkan atas kebiasaan-kebiasaan dalam
mengerjakan sesuatu di masa lalunya atau yang dilakukan oleh orang-orang
terdahulu, tanpa pehitungan secara matang, dan sama sekali tidak rasional.
Struktur Sosial
Koentjoroningrat menjelaskan bahwa struktur sosial
adalah ke rangka yang dampak menggambarkan kaitan berbagai unsur dalam
masyarakat. Sementara itu,Soelaeman B. Taneko menjelaskan bahwa struktur sosial
adalah keseluruhan jalinan antara unsur unsur sosial yang pokok yakni kaidah –
kaidah sosial, lembaga sosial, kelompok– kelompok sosial serta lapisan–lapisan
sosial. Dimensi struktural ada dua macam, yaitu dimensi vertikal dan
dimensi horizontal. Dimensi vertikal akan melihat masyarakat secara bertingkat.
Sebagai kenyataan sosial, dimensi vertikal akan tampak pada stratifikasi
sosial, kelas sosial, dan status sosial dalam masyarakat. Dimensi horizontal
biasa disebut sebagai diferensiasi atau pengelompokkan sosial, yaitu pembedaan
sosial secara horizontal dalam arti pembedaan – pembedaan tersebut tidak
mengandung perbedaan secara bertingkat, melainkan berbeda saja satu dengan yang
lainnya.
Manusia memiliki dua keinginan yang selalu melekat di
dalam dirinya, yaitu keinginan untuk menyatu dengan alam lingkungannya dan
keinginan untuk menyatu dengan manusia lain dalam rangka memudahkan proses
hidupnya. Dengan demikian, manusia memiliki kecenderungan untuk bersatu agar
bisa saling berhubungan, hubungan antar manusia satu dan lainnya tersebut
disebut interaksi.
Dari interaksi akan menghasilkan produk – produk
interaksi, yaitu tata pergaulan yang berupa nilai dan norma yang berupa
kebaikan dan keburukan dalam ukuran kelompok tersebut, selain nilai juga
terdapat norma sebagai petunjuk arah untuk menentukan antara perilaku yang
boleh dilakukan dan yang dilarang. Nilai merupakan cita–cita kehidupan kelompok
itu sendiri, sebab nilai merupakan konsep tentang sesuatu yang baik, layak,
patut, pantas, yang menjadi cita – cita bersama.
Struktur sosial mencakup susunan antar komponen yang
meliputi status dan peranan yang ada didalam satuan sosial yang didalamnya
terdapat nilai–nilai dan norma–norma yang mengatur perilaku antara status dan
peranan di dalam masyarakat. Kaidah – kaidah sosial, lembaga – lembaga sosial,
kelompok – kelompok sosial, lapisan–lapisan sosial, dinamika sosial, dan
termasuk masalah sosial. Struktur
sosial dan Sistem sosial adalah dua hal di dalam ilmu sosial yang tidak dapat
dipisahkan keberadaannya, sebab struktur sosial lebih ditekankan pada wujud
fisik suatu unsur–unsure sosial, sedangkan Sistem sosial lebih mengarah pada
mekanisme atau kinerja Sistem tersebut yang berupa aturan main dari struktur
itu sendiri.
Komponen dalam struktur sosial
Status dan Peranan
Status atau kependudukan diartikan sebagai tempat atau
posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial, sehubungan dengan orang–orang
lainnya dalam kelompok ini atau tempat suatu kelompok sehubungan dengan
kelompok–kelompok lainnya di dalam kelompok yang lebih besar. Adapun kedudukan
sosial artinya tempat seseorang secara umum dalam masyarakatnya sehubungan
orang–orang lian di dalam lingkungan pergaulannya, prestise ( harga diri ) dan
hak–hak serta kewajibannya. Ada dua pengertian kedudukan sosial di dalam
struuktur sosial, yaitu : kedudukan berarti tempat seseorang dalam pola
tertentu dan kedudukan diartikan sebagai kumpulan hak dan kewajiban yang jika
secara nyata dapat dilihat dalam gejala seperti : perbedaan hak dan kewajiban
antara manajer perusahaan dan para pekerja.
Peranan merupakan pola tindakan atau perilaku yang
diharapkan dari orang yang memiliki status tertentu, artinya jika seseorang
melakukan hak–hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka ia telah
menjalankan peranan. Peranan mengatur pola–pola perilaku seseorang dan batasan–batasan
tertentu pada perilaku di dalam pola–pola kehidupan sosial.
Institusi ( Lembaga ) Sosial
Proses pembentukan lembaga sosial juga tidak lepas
dari sifat struktur sosial itu sendiri dimana struktur sosial merupakan susunan
komponen sosial yang saling mendukung kelangsungan hidup masyarakat tersebut.
Masyarakat membentuk lembaga sosial baik secara formal maupun secara
informal dengan tujuan mengikat perilaku anggota–anggotanya agar
berprilaku sesuai dengan harapan kelompok tersebut.
Pelapisan Sosial
Perbedaan besar kecilnya kemampuan akses atas dasar
tatanan sosial tersebut tanpa disengaja menimbulkan pengelompokkan atas dasar
perbedaan kepemilikan benda – benda berharga. Gejala inilah akhirnya
menimbulkan sistem pelapisan masyarakat secara hierarkis berbentuk piramida
mengerucut ke atas.
Kelompok social
Kelompok sosial merupakan akibat dari konsekuensi dari
kedudukan manusia sebagai makhluk sosial yang selalu berkecenderungan
berkelompok dengan manusia lainnya. Perasaan kelompok orang dalam dan orang
luar menimbulkan pembedaan yang cukup tajam sehingga membedakan si A adalah
kelompok kami, sedangkan si B bukan kelompok kami. Konsekuensi perbedaan
kelompok sosial tersebut melahirkan gejala sosial yang memunculkn kemungkinan
pertentangan dan juga kerjasama antar suku kelompok dan yang lainnya.
Dinamika Sosial
Dinamika sosial merupakan salah satu penelaahan
sosiologi yang membahas tentang perubahan–perubahan yang terjadi di dalam
kehidupan sosial. Objek pembahasan ini meliputi :
1)
Pengendalian Sosial Pengendalian sosial merupakan cara atau proses
pengawasan baik yang direncanakan maupun yang tidak direncanakan untuk
mengajak, mendidik, bahkan memaksa warga masyarakat agar para anggota
masyarakat mematuhi norma dan nilai yang berlaku.
2)
Penyimpangan Sosial Perilaku menyimpang adalah perilaku sejumlah besar
orang yang dianggap tidak sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku sehingga
penyimpangan tersebut menimbulkan reaksi–reaksi tertentu seperti celaan,
cemoohan, gunjingan masyarakat hingga menimbulkan hubungan.
3)
Mobilitas Sosial Mobilitas sosial merupakan peristiwa sosial dimana
individu atau kelompok bergerak atau berpindah kelas sosial satu ke lapisan
sosial lainnya baik pergerakan itu mengarah pada gerak sosial dari lapisan
sosial bawah bergerak ke atas atau sebaliknya, yaitu bergerak ke bawah.
4)
Perubahan Sosial Perubahan sosial adalah pergeseran nilai–nilai,
norma–norma sosial, pola–pola perilaku organ isasi, susunan lembaga
kemasyarakatan, pelapisan sosial, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan
sebagainya.perubahan sosial disebut juga transformasi sosial.
Dialektika
Kita juga tahu bukan Marx yang pertama kali berbicara mengenai dialektika.
Sejak Platon, pemikiran filosofis senantiasa dicirikan dengan sifat dialektis.
Sokrates, junjungan Platon, sendiri berfilsafat dengan dialektika, dengan
dialog (ingat: asal kata Yunani dari dialektika adalah dialegesthai yang
artinya “dialog”). Namun dari Hegel lah Marx menimba pelajaran mengenai
dialektika. Pengandaian dasar dialektika Hegel adalah relasionalisme
internal, yakni pengertian bahwa keseluruhan kenyataan, dipahami sebagai
manifestasi-diri Roh, senantiasi terhubung satu sama lain dalam jejalin yang
tak putus.
Secara
logis, term A hanya bisa dimengerti sejauh ada juga term non-A yang darinya A
ditentukan sifatnya. Secara ontologis, Ada dapat dimengerti sejauh ia koeksis
dengan Ketiadaan: Ketiadaan internal dalam definisi Ada dan Ada internal dalam
definisi Ketiadaan. Relasionalisme internal segala hal-ikhwal inilah yang
memungkinkan terwujudnya determinasi resiprokal antar elemen dari realitas.
Dengan berlandaskan pengertian Spinoza bahwa “omnis determinatio est negatio”
(semua determinasi adalah negasi), bagi Hegel, relasi determinasi resiprokal
ini adalah pula relasi negasi resiprokal: afirmasi (A), negasi (non-A) dan
afirmasi pada tataran yang lebih tinggi atau “negasi atas negasi” (non-non-A
yang mencakup intisari A dan non-A).
Inilah yang biasanya
kita kenal sebagai dialektika antara tesis-antitesis-sintesis. Dialektika
inilah yang dimengerti Hegel sebagai dinamika internal dari realitas dan
pikiran.
Lantas bagaimana
posisi Marx pada fase penggarapan Kapital terhadap dialektika
Hegel itu? Pertanyaan ini sulit dijawab. Marx sendiri hanya mengomentari hal
ini secara eksplisit satu kali, yakni dalam Kata Pengantar untuk Edisi Kedua
dari Das Kapital jilid satu. Konteksnya adalah tuduhan yang
dilayangkan peresensi Jerman dan Russia atas buku Kapital. Dalam
resensinya mereka menyebut bahwa traktat tersebut dipenuhi oleh “sofisme
Hegelian”.5 Terhadap
tuduhan ini, Marx menjawab:
Metode dialektis saya,
pada fondasinya, tidak hanya berbeda dari kaum Hegelian melainkan tepatnya
beroposisi dengannya. Bagi Hegel, proses pemikiran, yang ia transformasikan
menjadi subyek independen di bawah nama ‘Idea’, merupakan pencipta dunia riil,
dan dunia riil hanyalah penampakan eksternal dari idea. Dengan saya,
kebalikannya menjadi benar: yang-ideal tidak lain dari dunia material yang
direfleksikan dalam pikiran manusia dan diterjemahkan ke dalam bentuk
pemikiran.6
Dari pernyataan ini,
seolah Marx sepenuhnya memisahkan pengertian dialektikanya dari pengertian
Hegel atasnya. Namun ini tidak sejelas yang kita kira. Dalam paragraf
selanjutnya, Marx mendeklarasikan bahwa—berhadapan dengan fakta bahwa banyak
intelektual Jerman pada masanya yang memperlakukan Hegel ibarat Moses
Mendelssohn memperlakukan Spinoza sebagai “anjing mati”—ia sendiri merupakan
murid dari “pemikir besar itu”. Namun deklarasi kesetiaan ini kembali
dilanjutkan dengan distansiasi kritis.
Mistifikasi yang diderita dialektika di tangan Hegel tidak membatalkan
Hegel sebagai yang pertama yang mempresentasikan bentuk gerakan umumnya dalam
cara yang komprehensif dan sadar. Dengannya dialektika berjalan pada kepalanya.
Ia mesti dibalik, untuk menyingkapkan inti rasional dalam cangkang mistis.
Dalam bentuk
mistisnya, dialektika digemari di Jerman sebab ia seolah mentransfigurasi dan
mengagung-agungkan apa yang eksis. Dalam bentuknya yang rasional, ia merupakan
skandal dan ancaman bagi borjuasi dan para jurubicaranya sebab ia
mengikutsertakan dalam pemahaman positifnya tentang apa yang eksis sebuah
pengakuan secara bersamaan akan negasinya, akan kehancurannya yang tak
terelakkan, sebab ia memandang segala bentuk perkembangan historis sebagai apa
yang ada dalam kondisi cair, dalam gerakan, dan karenanya memandang aspek
kesementaraannya pula, dan sebab ia tak membiarkan dirinya dikesankan oleh
apapun, [sehingga] pada esensinya bersifat kritis dan revolusioner.7
Dalam pernyataan
tersebut dikatakan bahwa dialektika Marx adalah saripati rasional dari cangkang
mistis dialektika Hegel. Bagaimana deskripsi metaforis ini diterangkan? Dari
pernyataan itu pula dijelaskan bahwa ia menolak dialektika Hegel sejauh itu
dipahami sebagai glorifikasi atas apa yang eksis, alias suatu justifikasi atas status
quo.
Dengan demikian,
selama dialektika Hegel masih dipahami dalam pengertian bahwa segala yang riil
(situasi penghisapan, sistem yang merepresentasi rakyat dalam parlemen borjuis)
niscaya rasional dan dengannya menjadi sah untuk eksis dan terus eksis, maka
dialektika Marx bukanlah dialektika Hegel. Namun, dari penjelasan
Marx ini saja, tidak ada pengertian yang lengkap tentang relasi dialektika Marx
dan Hegel. Para komentator Marx sendiri tak pernah memberikan jawaban yang
seragam atas problem ini. Komentator seperti Magnis-Suseno, mengikuti tafsiran
Jean-Yves Calvez SJ., cenderung menekankan kontinyuitas pemikiran Marx.8
Implikasinya, tak ada
distingsi yang ketat atau patahan dalam pemikiran Marx “muda” yang masih
Hegelian dan Marx pada fase lanjut (termasuk fase penggarapan Kapital).
Sebaliknya, komentator seperti Louis Althusser justru menekankan adanya patahan
(coupure) radikal yang mengantarai pemikiran Marx muda yang
masih Hegelian dan pemikiran Marx lanjut yang samasekali non-Hegelian.9
Oleh karena kerumitan
ini, maka dalam kurikulum ini kita tidak akan memastikan makna yang tepat dari
relasi Marx-Hegel. Biarlah problematika ini kita kupas bersama lewat
diskusi-diskusi yang intens. Di sini cukup dimengerti bahwa Marx berhutang budi
pada pemikiran Hegel tentang dialektika sebab dengannya realitas dapat dilihat
sebagai sesuatu yang senantiasa berubah, cair dan bergerak terus menerus.
Realitas, dengan demikian, adalah efek dari aktivitas subyektif yang, pada
gilirannya, mendeterminasi aktivitas subyektif itu sendiri. Gerak determinasi
resiprokal atau gerak dialektis inilah yang juga ditekankan oleh Marx.
Dialektika, sesuai dengan pendapat Njoto, merupakan metode dari materialisme
Marxis.
Artinya, filsafat Marx
yang bertumpu pada konsepsi materialis—bahwa yang terselubung pada jantung
realitas sesungguhnya tak lain adalah praxis subyektif yang
jadi material—hanya dapat diekspresikan oleh satu-satunya metode yang cocok
dengan karakter materialis ini, yakni metode dialektika—sebuah modus di mana
bendanya itu sendiri tidak hadir dalam stabilitas yang diam, melainkan telah
selalu dalam gerak determinasi bolak-balik yang tak berkesudahan.
Historisitas
Kesejarahan merupakan
tema sentral dalam diskursus Marx. Kita sering mendengar tentang ramalanMarx
mengenai tatanan komunis dunia sebagai hasil evolusi dialektika sejarah.
Seolah-olah Malaikat Sejarah yang bekerja dari balik layar realitas tengah
merancang suatu Penyelenggaraan Ilahi bagi kaum proletar sedunia. Seolah-oleh
sejarah akan berpuncak pada suatu konflagrasi final antara yang-Baik dan
yang-Jahat, antara proletar dan borjuasi, dan akan berakhir dalam suatu surga
dunia komunis. Pandangan inilah yang dikenal sebagai historisisme, atau
pengertian bahwa sejarah dipimpin oleh suatu teleologi internal.
Ada komentator yang
menyatakan bahwa historisisme Marx ini merupakan ekses dari ketergantungannya
pada filsafat Hegel.10 Memang
kita dapat menafsirkan filsafat sejarah Hegel sebagai konsepsi sejarah yang
dipimpin oleh suatu teleologi internal sebab sejarah, bagi Hegel, pada dasarnya
merupakan evolusi-diri Roh menuju pada kesadarannya yang paripurna. Inilah
salah satu alasan mengapa Althusser bersusah payah membersihkan pemikiran Marx
lanjut dari pengaruh Hegel.
Althusser adalah alah
seorang dari komentator kontemporer yang menekankan segi anti-historisis dari
pemikiran Marx. Baginya tafsiran historisis atas Marx merupakan pembacaan yang
bersifat voluntaristik, yakni pemahaman humanis tentang proletar sebagai
“misionaris esensi manusia” (missionary of the human essence).11 Padahal,
bagi Althusser, jika kita baca sungguh-sungguh Kapitaldan bahkan
karya-karya awal Marx, kita akan mengerti bahwa historisisme adalah problem
yang asing terhadap filsafat Marx.12
Memang benar bahwa konsepsi
materialis Marx yang bersifat subyektif, atau menekankan pada praxis,
dapat mengarah pada pengertian bahwa sejarah pun merupakan hasil bentukan
manusia dan, oleh karenanya, Marx terjatuh dalam historisisme. Apalagi skema
Marx yang terkenal tentang infrastruktur (Unterbau) dan suprastruktur (Überbau)
dapat menjurus pada historisisme: karena infrastruktur ekonomis mendeterminasi
suprastruktur ideologis, maka perkembangan realitas ekonomi lah yang menentukan
pembebasan politik dari kelas proletar yang terhisap.
Pada akhirnya,
tafsiran semacam ini akan berujung pada suatu iman pada “keniscayaan historis”
bahwa kapitalisme akan tumbang dengan sendirinya karena kontradiksi internalnya
seperti dianalisis Marx dan kelas proletar akan menjadi satu-satunya kelas
sosial dunia. Namun pembacaan seperti ini abai terhadap relasi determinasi resiprokalyang
menstruktur relasi antara subyek dan sejarah dunia yang melingkupinya.
Pembacaan historisis itu berpegang pada sebaris frase kunci yang tidak berasal
dari Marx melainkan dari Engels, yakni “determinasi pada pokok terakhir”.13 Artinya,
determinasi pada pokok terakhir ada pada infrastruktur ekonomi. Terhadap
tafsiran historisis ini, Althusser juga mengajukan sanggahan. Ini
dilancarkannya melalui elaborasi konsep overdeterminasi (surdétermination),
yakni relasi determinasi resiprokal di mana pokok yang mendeterminasi ikut terdeterminasi
oleh apa yang ia determinasikan sendiri.14 Relasi
overdeterminasi inilah yang bagi Althusser dimengerti Marx dalam konteks relasi
antara infrastruktur dan suprastruktur. Itulah sebabnya Althusser dapat
menulis: “Dari momen pertama hingga terakhir, jam sepi ‘pokok terakhir’ tak
pernah datang [the lonely hour of the ‘last instance’ never comes].”15 Dengan
demikian, tak ada historisisme yang esensial dalam pemikiran Marx.
Materialisme
Dialektis dan Materialisme Historis
Setelah kita mencapai pengertian tentang materialisme, dialektika dan
historisitas dalam pemikiran Marx, kini kita dapat beranjak menuju pemahaman
akan materialisme dialektis dan historis—atau apa yang kerap disebut sebagai
MDH. Kita akan mulai dengan uraian tentang asal-usul term.16 Tentang
materialisme dialektis, term ini sendiri tidak ada dalam corpus Marx-Engels:
Marx hanya bicara tentang “metode dialektis” sementara Engels tentang
“dialektika materialis”. Ekspresi “materialisme dialektis” pertama kali dipakai
oleh Joseph Dietzgen di tahun 1887, salah seorang kawan koresponden Marx
Lenin lah yang mempergunakan term ini secara sistematis—sesuatu yang, dalam Materialism
and Empirio-Criticism (1908), ia elaborasi dari karya-karya Engels.
Sesudah Lenin, wacana Marxisme Soviet terbagi oleh dua orientasi pemikiran:
“dialektis” (Deborin) dan “mekanis” (Bukharin). Untuk mengatasi perdebatan yang
tak kunjung selesai di antara kedua kubu ini, Sekretaris Jendral Partai Stalin
mengeluarkan dekrit di tahun 1931 yang memutuskan bahwa materialisme dialektis
adalah sama dengan Marxisme-Leninisme. Lantas, pada tahun 1938, Stalin
menjalankan kodifikasi atas ajaran tersebut secara lebih lanjut di dalam
pamfletnya, Dialectical and
Sebagaimana dituturkan oleh Njoto, bahwa konsepsi filsafat marxis adalah
materialisme, maka dialektika lah metode untuk sampai pada konsepsi tersebut.
Dialektika sendiri bukanlah pemikiran orisinil dari Marx dan bahkan telah ada sejak
zaman Yunani Kuno. Socrates telah sejak awal berfilsafat dengan dialektika.
Namun, Marx memperoleh dialektika terutama dari Hegel. Pengandaian dari
dialektika Hegel adalah relasionalisme internal, yaitu keseluruhan kenyataan
merupakan manifestasi-diri Roh (ingat bahwa Hegel merupakan idealis), yang
memiliki kesalingterhubungan satu sama lain dalam jalinan yang tidak putus.
Dialektika secara sederhana dikenal sebagai jejalin tesis-antitesis-sintesis,
yaitu afirmasi (A), negasi (non-A) dan afirmasi pada tataran yang lebih tinggi
atau negasi atas negasi (non-non-A).
Perlu diingat bahwa karena Hegel merupakan filsuf idealis dan Marx adalah
seorang materialis, maka tentu dialektika mereka pun memiliki perbedaan yang
mendasar. Perbedaan mendasar antara dialektika Hegel dan Marx, yang ditulis
sendiri oleh Marx dalam Kapital Jilid I, adalah,
“Metode dialektis saya, pada fondasinya, tidak hanya berbeda dari kaum
Hegelian melainkan tepatnya beroposisi terhadapnya. Bagi Hegel, proses
pemikiran, yang Ia transformasikan menjadi subjek independen di bawah
nama‘idea’ merupakan pencipta dunia riil, dan dunia ril hanyalah merupakan
penampakan eksternal dari ‘idea’. Dengan saya, kebalikannya menjadi benar:
yang-ideal tidak lain dari dunia material yang direfleksikan dalam pikiran
manusia dan diterjemahkan ke dalam bentuk pemikiran”
Sedangkan menurut Tan Malaka, selain perbedaan yang nampak pada dialektika
Marx dan Hegel, juga terdapat persamaan diantara keduanya, yang ada tidak hadir
dalam keadaan statis namun terus dalam gerak.
“Jadi perbedaan terutama diantara Dialektika Marx-Engels & Co dan
gurunya Hegel, ialah: Hegel menganggap gerakan pikiran itu sebagai gerakan idee
semata-mata (janganlah dilupakan absolut Ide, Maha Rohani dari Hegel),
sedangkan Marx dan Engels menganggap otak itu seolah-olah cermin yang
membayangkan gerakan benda sebenarnya yang ada diluar otak kita. Dalam
perbedaan diantara kedua jenis dialektika, adalah pula persamaan. Kedua pihak
berdiri atas gerakan, bukan pada ketetapan. Kedua yang seolah-olah tercerai
itu, menurut Hegel oleh sifatnya sendiri, yang satu memasuki yang lain, dan
getrennt scheinende, durch sich selbst, durch das, was sich sind in
einander ubergehen.”[4]
Konsekuensi dari pembalikkan dialektika Hegel oleh Marx ini mau tidak mau
berubah menjadi filsafat yang praksis dan radikal. Dalam dialektika Hegel,
segala yang riil, seperti kerajaan Prusia yang berdiri antara abad ke-18 sampai
dengan awal abad ke-20 dimana penindasan menjadi lazim, hanyalah cerminan dari
apa yang ada di dunia ide sehingga absah untuk terus eksis. Bahkan, negara
Prusia ini bagi Hegel merupakan perwujudan-diri Roh Absolut. Sedangkan
dialektika Marx, karena dalam yang riil tersebut juga terdapat pengakuan
terhadap negasinya, maka sejarah masyarakat menjadi sejarah yang cair dan terus
berubah. Jika mengambil contoh yang sama, kerajaan Prusia, maka ketika
mempercayai eksistensi Kerajaan Prusia, dalam waktu yang sama juga mempercayai
negasi darinya atau dengan kata lain meniscayakan kehancuran terhadapnya.
Penutup
Materialisme Marx adalah pengertian bahwa keseluruhan
Objek yang menyusun realitas ini tak lain adalah efek dari aktivitas Subjek.
Dialektika adalah cara berpikir dan citra tentang dunia. Sebagai cara berpikir,
dialektika menekankan arti penting dari proses, hubungan, dinamika, konflik dan
kontradiksi cara yang berpikir secara dinamis.
Didalam sosiologi, tindakan sosoial banyak dikemukakan
oleh Max Weber (1864-1920) seorang ahli sosiologi Jerman, dimana tindakan
sosial dimulai dari tindakan individu atau perilaku individu dengan perilaku
oang lain, yang diorientasikan pada hasil tindakan tersebut, sehingga dapat
dipahami secara subjektif, maksudnya setiap tindakan sosial yang dilakukan
seseorang akan memiliki maksud atau makna tertentu.
Struktur sosial Koentjoroningrat menjelaskan bahwa
struktur sosial adalah ke rangka yang dampak menggambarkan kaitan berbagai
unsur dalam masyarakat. Birokrasi berasal dari gabungan kata Perancis, ‘bureau’,
yang berarti “kantor”, dan kata Yunani ‘kratein’ yang berarti aturan.
Materialisme dialektika, jika disimpulkan, adalah metode pembacaan terhadap
realitas dalam filsafat marxis yang bertumpu pada materialisme dan dialektika.
Materialisme dialektika, dalam filsafat, menempati posisi epistemologis, yaitu
sebuah teori tentang pengetahuan atau cara mendekati sebuah realitas.
Tidak bisa dipungkiri bahwa marxisme telah menjadi filsafat perjuangan
pembebasan bagi umat manusia. Dalam praktik, materialisme yang mendasari pada
subjek –manusia, memiliki arti penting dalam perjuangan. Dengan pandangan
materialisme maka diyakini bahwa ketertindasan adalah juga hasil dari aktivitas
subjek, yaitu kepemilikan pribadi pada segelintir orang. Maka, untuk keluar
dari ketertindasan itu pula dibutuhkan aktivitas subjek yang lain, karena
sejarah manusia adalah sejarah pertentangan kelas–begitu kata Marx. Selama
kontradiksi antar kelas masih tetap terus ada, tidak akan pernah ada emansipasi
sejati manusia.
Tulisan ini sendiri merupakan tulisan pembuka untuk memahami berbagai
pemikiran Marx selanjutnya. Meskipun sebenarnya materialisme dialektis tidaklah
dibahas secara menyendiri oleh Marx, tetapi dari tulisan-tulisannya kita dapat
menjumpai cara berpikir ini digunakan Marx secara konsisten. Dengan berpijak
pada titik tolak inilah akan dibahas pemikiran-pemikiran Marx selanjutnya
seperti analisanya tentang masyarakat yang dikenal dengan materialisme historis
atau kritiknya terhadap kapitalisme yang termanifestasi dalam magnum
opus-nya, Das Kapital.
REFERENSI
Referensi Buku
Engels, Frederick. 1964. Dialectic
of Nature, diterjemahkan oleh Clemens Dutt. Moscow: Progress Publishers.
Njoto, Marxisme: Ilmu dan Amalnya. Jakarta:
Penerbit Harian Rajat. 1962
Tan Malaka, Madilog Bab V: Dialektika.
Buku harian
indoprogres ( merayakan perdebatan) martin surya jaya kritik dan emansipasi kontibusi
pendasaran epistemologi politik kiri.
Matrealisme dialektika ( martin surya jaya)
Referensi Internet