Juli 1922, di Berlin, Jerman. Darsono, salah satu tokoh komunis Indonesia, mengirim surat ke Bung Hatta. Darsono berpesan, Tan Malaka ada di Berlin. “Kalau bung ada waktu, datanglah melancong ke Berlin.
Bung Hatta menyanggupi permintaan itu. Esoknya, ia berangkat ke Berlin. Mereka berkumpul di rumah Darsono. Jadi, ada tiga tokoh pergerakan yang bertemu: Bung Hatta, Bung Tan Malaka, dan Bung Darsono.
Tiga aktivis politik bertemu. Ya, anda sudah tahulah apa jadinya: diskusi. Bung Hatta menanyakan, apakah Tan Malaka berniat menetap di Moskow? Tan malaka menjawab, ia datang ke Moskow karena disanalah pusat gerakan komunisme di dunia. Meski begitu, Tan tak berniat menetap di Moskow.
Tan mengaku mau ke Timur Jauh, hendak berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Di Moskow, kata Tan Malaka, sedang berkuasa diktator Stalin. Ia punya sikap, punggungnya tak bisa membungkuk. Tak bisa ia menundukkan diri kepada orang-seorang. Bagi Tan, alam diktatorial tak cocok dengan jiwanya.
Tan Malaka yakin, berdasarkan teori yang dipelajarinya, gerakan komunis itu justru berlaku prinsip sama-rata sama-rasa dan demokrasi sepenuh-penuhnya. Sebaliknya, di bawah kekuasaan Stalin, yang berlaku adalah perbudakan. Seorang bertindak sebagai pemimpin, sedangkan lainnya bertindak sebagai budaknya.
Bung Hatta lantas menyela, “Bukankah diktator memang bagian dari sistem komunisme? Bung Hatta meminjam istilah Karl Marx, diktator proletariat. Tan Malaka menjawab, diktator proletariat dalam teori Karl Marx hanya berlaku pada masa peralihan, yaitu saat pengalihan kekuasaan borjuis atas alat produksi ke masyarakat.
Kaum buruh, kata Tan Malaka, akan menjadi perintis jalan menegakkan keadilan menuju sosialisme dan komunisme. Disitulah terselenggara produksi oleh banyak orang untuk banyak orang di bawah pimpinan badan-badan musyawarah. “Ini bertentangan dengan diktator orang-seorang,” tambah Tan Malaka.
Mendengar uraian Tan, Bung Hatta merenung, orang seperti Tan Malaka, yang lurus tulang punggung dan keyakinannya, pasti akan berlawanan dengan Stalin. Ujung-ujungnya Ia akan dikeluarkan dari organisasi komunis internasional.
Lima hari mereka berkumpul di Berlin. Setelah itu, Bung Hatta pula ke Hamburg, sedangkan Tan Malaka ke Moskow. Tiga tahun kemudian, pertengahan 1925, Bung Hatta mendapat kiriman buku dari Tan Malaka. Ya, sebuah buku kecil berjudul “Naar de ‘Republiek Indonesia” (Menuju Republik Indonesia).
Sejak itu keduanya lama tak bertemu. Pada tahun 1927, seusai pemberontakan PKI di Jawa dan Sumatera, Bung Hatta meminta kepada tokoh-tokoh komunis agar menyerahkan kepemimpinan revolusi kepada kaum nasional. Semaun, mantan ketua PKI, menyanggupi permintaan itu. Tetapi Tan Malaka, yang terkenal sangat radikal, menolak permintaan itu.
Pasca kemerdekaan, tepatnya 23 September 1945, Bung Hatta kembali bertemu Tan Malaka di rumah Ahmad Soebardjo, Menteri Luar negeri saat itu. Kali ini Soekarno dan beberapa pemimpin Republik juga ikut.
Tan Malaka, seperti ditulis Harry A Poeze di buku “Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia”, berbicara tentang pentingnya memberi penerangan kepada rakyat seluas-luasnya perihal perjuangan Republik.
Sebaliknya, Bung Hatta menawari Tan Malaka untuk duduk sebagai Menteri Penerangan. Namun, Tan Malaka menolak tawaran itu. Tan Malaka bilang, “di waktu sekarang saudara berdua, Soekarno-Hatta, sudah tepat. Biarlah saya menyokong dari belakang, dengan mengerahkan rakyat di belakang saudara.”
Menurut Harry A Poeze, Tan Malaka mungkin tak mau duduk di kabinet itu karena dianggap berbau Jepang. Ia juga kerap mengeritik politik Bung Karno yang kerapkali terlihat bimbang. “Apabila Soekarno diminta mengambil keputusan, hasilnya selalu negatif,” kata Tan Malaka.
Tan Malaka menganggap Bung Karno tak bisa tegas terhadap jepang. Apalagi, Bung Karno melarang perebutan senjata Jepang. Tan Malaka, yang mendukung aksi pengambilan, sangat kecewa dengan sikap Bung Karno.
Tanggal 29 September, sebelum pendaratan Inggris, Hatta dan Tan Malaka ketemu lagi. Dalam pertemuan itu Hatta menegaskan, semua perusahaan asing yang sudah disita harus dikembalikan tanpa syarat. Tan Malaka tidak setuju. Ia beranggapan, perusahaan-perusahaan penting harus menjadi milik negara dan di bawah kekusaan negara.
Februari 1946, muncul ketegangan dalam sidang KNIP di Solo, Jawa Tengah. Sidang itu dikuasai kelompok Persatuan Perjuangan, barisannya Tan Malaka. Orang-orang Persatuan Perjuangan, seperti Soekarno dan Chaerul Saleh, memaksakan program mereka. Mereka juga menentang kabinet Sjahrir. Alhasil, kabinet Sjahrir meletakkan jabatan.
Dengan demikian, kelompok Persatuan Perjuangan punya kesempatan untuk membentuk kabinet. Mereka berupaya merangkul Masyumi dan PNI. Sayang, diantara ketiga partai itu terdapat jurang pertentangan yang sangat lebar. Upaya Chaerul Saleh Cs menemui kegagalan.
Mereka mendatangi Soekarno-Hatta. Chaerul Saleh bilang, “kami semuanya adalah golongan terbesar dalam perwakilan rakyat.” Bung Hatta menjawab, KNIP bisa saja dikuasai oleh Persatuan Perjuangan, tetapi di rakyat Soekarno-Hatta jauh lebih berpengaruh.
Lalu, tersiar kabar Persatuan Perjuangan hendak merebut kekuasaan. Jenderal Soedirman menyampaikan kabar itu ke Bung Hatta. Tapi, kata Soedirman, “tentara sudah disiapkan untuk menghadapi perbuatan itu.”
Sukarni kemudian menemui Bung Hatta. Ia meminta Bung Hatta segera menemui Tan Malaka di luar kota. “Semua yang kusut sekarang ini bisa diatasi kalau Bung bertemu dengan Tan Malaka,” kata Sukarni. Bung Hatta menolak permintaan itu atas alasan keprotokoleran.
Tanggal 27 Juni 1946, Sjahrir dan beberapa menteri diculik. Kelompok Tan Malaka dituding sebagai dalangnya. Kemudian, pada 3 Juli 1946, pagi hari sekali, ada upaya penculikan terhadap Amir Sjarifuddin, menteri pertahanan saat itu.
Amir ditangkap dan dinaikkan ke mobil truk. Ia ditempatkan di samping sopir. Yang unik, Amir membujuk si sopir truk agar membawanya ke Kepresidenan. Sang sopir mengikuti bujukan Amir Sjarifuddin itu. Maka selamatlah Amir dari upaya penculikan.
Belakangan diketahui, Tan Malaka melancarkan kudeta. Mengetahui kabar itu, Bung Hatta mengaku setuju tindakan tegas. Kudeta itu digagalkan. Sejak itu, Bung Hatta dan Malaka berada dalam posisi berlawanan.
Mahesa Danu, kontributor Berdikari Online