MADILOG TAN MALAKA SALAH SATU
DARI 100 BUKU BERPENGARUH DIDUNIA
Telah banyak studi dan karya pustaka tentang Tan Malaka. Bahkan tak sedikit pakar
yang secara sengaja mendedikasikan diri untuk mengkaji tuntas sosok pejuang
pemikir paling mistrius ini.
Beberapa nama yang bisa disebut adalah: Harry A Poeze
dan Rudolf Mrazek. Bahkan Indonesianis yang namanya disebut terakhir itu,
menyebut Tan Malaka sebagai tokoh yang komplit. Sementara sejumlah penulis
nasional juga berhasil merekonstruksi sejumlah aspek menonjol dari Tan Malaka.
Seperti Zulhasril Nasir (buku Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau); Harry
Prabowo (Tan Malaka, Teori dan Praksis Menuju Republik); serta Matumona (Patjar
Merah Indonesia).
Dari semua itu, nyaris tak ada keberatan dari pihak manapun
jika kita meletakkan buku Madilog sebagai magnum opus (karya
besar) dan bahkan legenda pustaka nasional. Termasuk versi Majalah TEMPO edisi
khusus, yang menempatkan literatur penting tersebut sebagai salah satu dari 100
buku paling berpengarauh di Indonesia.
Di mana istimewanya?
Benar bahwa jika dilihat dari waktu terbit —yang
terlambat oleh aneka sebab— buku ini terbilang belakangan (ditulis selama
delapan bulan, dalam tahun 1942 sampai 1943). Tidak seperti karya-karyanya yang
lain, seperti Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik
Indonesia, terbit tahun 1924) atau Massa Actie (terbit
tahun 1926). Begitupun dari aspek pengaruh langsung, jelas Madilog bukan yang
paling utama. Buku ini tak menjadi panduan praktis serta tidak mengibarkan
perlawanan revolusioner secara konkret.
Lain hal jika tinjauan mengarah pada totalitas, daya
jelajah, kedalaman analisis, serta gaung yang masih menggema hingga kini. Jelas
Madilog melampau semua karya-karya itu.
Sebagai sebuah pergumulan gagasan, Madilog juga
berbasis pada fakta-fakta sosiologis dan fenomena sosial politik yang
berlangsung —sejak Indonesia Pra Hindu sampai era kolonialisme. Ditulis dengan
perspektif akademik yang kuat —meski pengakuan dari Tan Malaka, ia hanya
mengandalkan hapalan, dengan metode jembatan keledai (membuat singkatan untuk
istilah-istilah kunci), ketika menulis buku itu. Maklumlah, ia diterpa suasana
kemiskinan dan menanggung resiko berat sebagai pelarian. Satu hal lagi: Madilog
menjadi alat pembongkaran atas hukum berpikir dan sistem kepercayaan yang
mengungkung manusia di Indonesia. Tak hanya mendekonstruksi (membongkar),
melainkan memberi alternatif pemikiran.
Tan Malaka menulis: Kitab ini adalah bentuk
dari paham bertahun-tahun tersimpan di dalam pikiran saya, dalam kehidupan yang
bergelora (halaman 26). Gelora pemikiran yang tersayat karena melihat
cara pikir kaoem repoeblik yang menurutnya lahir di
dunia supranatural, supranaturan Hindu pula, supranatural yang tak gampang
dikikis, dicuci bersih, maka sebagai tongkat pertama dalam dunia berpikir,
perlulah sekedarnya memajukan logika
Madilog adalah sebuah solusi. Sebagai sebuah presentasi ilmiah melalui
serangkaianproses berpikir dan bertindak secara materialistis, dialektis, dan
logis —dalam mewujudkan sebuah cita-cita yang diinginkan, yaitu merdeka
100 persen!
Menurut Tan Malaka, berkaca dari pengalaman berbagai
kegagalan perjuangan merebut kemerdekaan (termasuk pemberontakan PKI tahun
1926-1927), cita-cita Indonesia merdeka tak akan berahasil dan jauh dari
sasaran yang diinginkan, jika masa kaum proletar tidak mengganti hukum
berpikir dan sistem kepercayaan yang dianut. Indonesia harus dibebaskan dari
kungkungan alam pikir yang irasional, mistik, takhayul, klenik, metafisik, dan
supranatural (Tan Malaka menyebutnya sebagai logika mistika). Agar terkikis
penyakit lemah semangat dan lemah mental (halaman 26).
Bagaimana?
Madilog ialah
cara berpikir berdasarkan materialisme, dialektika, dan logika, dalam mencari
sebab akibat, dengan mengandalkan bukti yang cukup, dan eksperimen yang sahih
(lihat halaman 295). Sementara kepercayaan model logika mistika (berbau
takhayul) adalah segala faham (pemikiran) yang tidak berdasarkan pada basis
kebendaan (materi), tidak berpatok pada kenyataan, atau dengan kata lain segala
paham yang tidak berdasarkan bukti dan tidak bisa
dieksperimentasi. Masalahnya, hukum berpikir seperti ini, menurut Tan
Malaka, telah mengakar, dan berproses sangat jauh. Melalui tahap kepercayaan
Indonesia asli (yaitu era Pra Hindu), kepercayaan Hindustan, kepercayaan Islam,
dan kepercayaan Tiongkok (lihat halaman 394).
Sementara logika, adalah disiplin berpikir runut,
sistematik, melalui silogisme, memiliki definisi yang jelas, dan paling penting
adalah bisa dieksperimentasi. Sedangkan materialisme adalah faham yang berpijak
pada bukti-bukti kebendaan. Dan terakhir, dialektika adalah gerak, perubahan,
dan dinamika. Satu hal pasti, keseluruhan prosedur berpikir seperti itu sajalah
yang sanggup menafsirkan berbagai fenomena dengan ilmiah, scientis (ilmu
bukti), dan menjadi solusi.
Menariknya, penjelajahan dan bantal argumentsi Madilog
begitu panjang dan detil. Setiap bagian, masing-masing materialisme,
dialektika, dan logika, mendapat eksplorasi tuntas.
Termasuk akar-akar kemunculan prosedurnya —yang secara
jujur diakui oleh Tan Malaka ia pinjam dari Barat. Telaah tuntas ini, termasuk
membuka pelbaga i kelemahan dan keterbatasan dalam menerapkan Madilog.
Contohnya, dalam hal logika dan ilmu bukti (sains), yang menurut Tan Malaka
terbatas secara internal dan eksternal. Keterbatasan internal adalah soal
konteks ruang dan waktu, serta peralatan untuk dipakai sebagai pengujian dan
pembuktian. Sementara keterbatasan eksternal adalah konteks sosial politik yang
tengah berlangsung. Olehnya, wajar jika kemudian Tan Malaka tak ingin
menjadikan karyanya ini sebagai dogma.
Catatan akhir, buku ini sangat layak untuk kembali
dikonsumsi dan disebarluaskan kepada publik —bahkan dan terutama untuk hari
ini. Betapa kita menyaksikan, di tengah kemajuan ilmu dan teknologi, ternyata
hukum berpikir bangsa ini belum bergerak jauh. Kita melihat dan menggunakan
kemajuan teknik hanya sebatas kulit. Sementara mindset tetap
berbauh takhayul. Entah dalam ranah budaya, ekonomi, dan bahkan politik.