riview buku
Judul
buku : Bangkitlah Gerakan Mahasiswa
Penulis :
Eko Prasetyo
Penerbit : Social Movement
Institute dan Resist Book
Halaman : iv + 122 halaman
Tahun terbit : 2014
Cetakan : Cetakan kedua, Agustus
2014
Ukuran buku : 15 x 21 cm
Di awal buku ini, penulis mengawalinya
dengan pertanyaan mendasar kepada para mahasiswa, “Siapa Dirimu?”. Ada
kebangaan tersendiri ketika mulai OSPEK dengan menyandang label “Mahasiswa”. Di
dalam buku ini, penulis menjabarkan bahwa ketika memulai awal perkuliahan,
kebanyakan mahasiswa memiliki mimpi – mimpi heroik perubahan dan mereka
berbondong – bondong mengikuti organisasi tertentu.
Kemudian, penulis
menuliskan bahwa heroisme para mahasiswa telah luntur dengan berjalannya waktu,
semangat heroisme hanya muncul ketika di OSPEK dan di kaderisasi dengan euforia
masa lalu dari senior para mahasiswa. Seiring berjalannya waktu, semangat
euforia itu mulai hilang ketika berada di ruang kuliah, mahasiswa mulai
dibelenggu oleh peraturan yang kadang – kadang tidak masuk akal. Selanjutnya,
penulis melanjutkan dengan kalimat, “Lihatlah sekelilingmu”. Kampus menyulap
dan meninabobokan kesadaran para mahasiswa. Kemudian, penulis melanjutkan
kalimatnya “Kepatuhan menjadi norma, taat menjadi agama, dan indeks prestasi
menjadi keimanan”.
Membaca buku ini dari awal dapat menjadi
cambukan bagi setiap mahasiswa yang membacanya. Ditilik dari awal, buku ini
tidak ingin hanya menjadi sebuah ajakan, akan tetapi buku ini ingin
mengungkapkan makna lainnya yaitu menggugah dan membangunkan kembali dunia
pergerakan mahasiswa yang mulai lesu dewasa ini. Sebagaimana yang dapat
disaksikan secara langsung, saat ini pergerakan mahasiswa yang merupakan
pergerakan kritis bagi bangsa Indonesia mulai mengalami kemunduran dan semangat
heroismenya yang sulit dirasakan. Sekarang ini, pergerakan
mahasiswa justru hanya terjebak dalam kerangka yang pragmatis dan reaksioner
semata. Dapat diartikan, pergerakan mahasiswa saat ini hanya disorot dari aksi
– aksinya saja. Sebagai contoh, aksi – aksi mahasiswa saat ini hanya berkembang
dari isu – isu praktis seperti kenaikan harga BBM, harga pendidikan yang mahal,
harga kebutuhan pokok yang makin hari tidak terjangkau, dan isu – isu
semacamnya. Dari contoh – contoh isu yang telah disebutkan, dapat diketahui
bahwa isu – isu itu melemah pada tataran studi kasus yang nyata. Biasanya
ketika beberapa hari sebelum dan sesudah BBM naik harganya, ada aksi gerakan
mahasiswa turun ke jalan, setelah itu selesai, dan cerita tinggal kenangan
dalam foto – foto yang dipajang di halaman media cetak dan media social.
Menurut penulis buku ini, kegagahan mahasiswa hari ini hanya berkisar sebatas
itu. Inilah faktor yang menyebabkan melemahnya pergerakan mahasiswa pada titik
gerakannya. Karena tidak ada isu yang digarap lebih serius dan matang.
Yang menarik, cover buku ini yang
menggambarkan kepalan tangan menjadi ciri khas bahwa buku ini bukan sebagai
diktat atau pegangan resmi para mahasiswa di perkuliahan. Tetapi, buku ini
dapat dijadikan pegangan resmi bagi mahasiswa yang masih menempatkan pergerakan
sebagai arus kritis penting bagi bangsa ini. Buku ini layak menjadi referensi
kembali untuk mengenal apa itu sebuah pergerakan yang dilakukan mahasiswa, yang
sejatinya sejak dahulu kala sudah bergelora hampir di seluruh dunia, termasuk
di indonesia.
Kelebihan buku ini sangatlah banyak,
bahasa penulis yang tajam dan lugas dalam menggambarkan pergerakan mahasiswa
saat ini dapat dijadikan pedoman untuk menggugah semangat pergerakan mahasiswa
saat ini yang mulai lesu. Selain itu, di buku ini juga banyak dituliskan kata –
kata mutiara para tokoh Indonesia maupun tokoh dunia yang menginspirasi setiap
pembacanya. Kekurangan buku ini hanyalah kurangnya illustrasi gambar, jika saja
ditambah illustrasi gambar lebih banyak di buku ini, tentunya buku ini akan
semakin menarik untuk dibaca.
Membaca sepak terjang mahasiswa, tentu tak
bisa dilepaskan dengan karakterasasi yang mereka miliki. Jiwa dan jejak
militansi yang mereka punya, membuat dibelahan daerah Indonesia manapun,
mahasiswa tampil memukau sebagai ruh pembaharu dan pemain narasi istimewa
bangsa dari waktu ke waktu. Ya, mahasiswa Indonesia sejak kemunculannya
senantiasa memberi respon terhadap problematika yang hadir ditengah masyarakat.
Pristiwa Tritura ’66, Malari ’74 dan Reformasi ’98 hanyalah utas kecil entitas
ini paripurna. Itulah mengapa, saat nama “mahasiswa” disebut, selalu ada
perasaan yang berbeda bahkan mereka ditempatkan pada sisi yang terhormat.
Cerita epik bertutur, bahwa aspal jalan
adalah saksi mahasiswa pernah ditumpas dan ditindas. Sebetapapun hebat
mencengkram, tirani tak pernah bisa membungkam jejak dusta penumpasan dan
penindasan itu. Maka, satu hal yang kemudian penting dicatat: Tak hanya
kekejaman yang mesti dilawan. Tapi upaya melupakan memori itu, juga mesti
ditumpas. Jangan sampai ingatan publik dilumpuhkan dan menjadi kerdil bahwa
sejarah gerakan mahasiswa hanya sebatas dan berputar pada indahnya Reformasi
yang pada kemudian tak punya kewajiban menerus langkah militan itu.
Disisi lain, pada rentang sejarah,
imperium kolonialisme memang tak mau melepaskan kemerdekaan penuh kepada
Indonesia. Kapitalisme yang ditanam, berusaha dilekatkan permanen. Tapi blunder
pendidikan sebagai pemenuhan pegawai sekolah kala itu, menghancurkan mimpi
besar agar bangsa ini terus mengecil. Ya, pendidikan justru menyulap nyali bangsa
semakin besar dan pada akhirnya lantang berteriak: kezhaliman nyata terjadi dan
yang karenanya mesti hancur dan dihancurkan. Tak ayal, para pelajar (baca:
Mahasiswa, Red.) tahu posisi apa yang harus ia mainkan untuk menjemput
mimpinya.
Kini, jiwa kerdil itu justru menggelayuti
dominan elit yang secara prinsipil diberi mandat berpihak pada kaum alit;
orang-orang yang bahkan tak tahu apakah esok hari ia masih hidup atau tidak;
orang-orang yang ditipu dengan serangan puluhan ribu hanya untuk tahta kekuasaan;
orang-orang yang jangankan berusaha merebut pekerjaan penting, sekadar untuk
bermimpi saja mereka takut. Sekali lagi, bahkan untuk bermimpi saja mereka
takut. Dalam kondisi perih mutakhir, media yang bisa menjadi jembatan elit dan
alit ini, media justru berpusar pada membuat kisah palsu dan pencipta tepuk
tangan yang handal; yang dominan menganggap tak esensial memotret wajah buram
berita kaum buruh digaji tak pantas.
Sudahi untuk terus mengenang tiga pristiwa
indah diatas. Sebab tak sedikit catur dari semua pristiwa itu, kini bercokol di
parlemen dan duduk dalam bangku empuk yang hanya menganga tanpa
proposal perubahan berarti. Bahkan, ada diantara mereka yang membunuh bangsa
ini pelan-pelan dengan beraliansi kepada asing atau elit, yang jelas dan nyata
menjarah kekayaan bangsa sendiri. Bukankah bergabung dengan massa tertindas
sebagaimana Mesir, Brazil, Portugal dan Tunisia patut dicontoh. Negara-negara
itu telah memberi teladan bahwa kekuatan massa adalah starting dan center
point perubahan bangsa
Dengan isu fokus apapun, gerakan mahasiswa
mesti tumbuh dan berkembang; hal yang kini mati. Ia mesti gerak dan
mengerakkan. Ia mesti menghadirkan kembali api intelektual progresif dimana
jiwa jalanan direbut kembali. Sebagaimana esensi posisi mahasiswa, konsisten
menyatakan perlawanan dari berbagai sektor. Agar perusahaan dan semua dimensi
tak lagi diperas dan dijarah asing; agar “pribumi” tak menjadi budak dinegeri
sendiri; agar ruang kuliah tak hanya menjadi panggung dogma pembunuh
kemerdekaan berpikir yang seringkali “diancam” dengan DO, nilai kecil, tak bisa
ikut UAS-UTS, dan umumnya cacian, “Apa pentingnya demo?”.
Iktikad komitmen untuk tetap digaris
militan inilah yang hilang dari mahasiswa. Mahasiswa kini lebih menganggap IPK
lebih berarti dibanding demonstrasi. Kuliah yang dominan deretan absensi dan
dogma teori, lebih nyaman bagi mahasiswa dibanding bergabung dengan kaum
miskin; amanah terbesar konstitusi negeri ini. Ya, kelas kampus bak pameran
budaya bisu. Dialeketika gerakan progresif dimatikan sistematik; adegan yang
dominan menyerupai khutbah jumat dibanding dialog keberanian. Hal yang bisa
diistilahkan: disiplin baku. Itu belum ditambah dengan hal-hal macam keelokan
berbelanja, pamer gadget, ada pula kampus yang memaksa mahasiswanya
mesti berdasi. Tidakkah pula dosen berefleksi, seberapa sering ia bolos? Atau mengapa
ia sulit sekali ditemui?
Ini belum ditambah jika kita juga mau
berefleksi, “Bagaimana hutang luar negeri kita?”. Bukan dengan “Berapa banyak
hutang kita?”. Tapi “Dengan apa kita membayarnya?”. Dengan semua kondisi itu,
masihkah kita diam? Masihkah kita menganggap kaum miskin bukan bagian dari
“kita”? Atau jika kita elaboratif-kan, yakinkah bahwa elit yang bercokol di
Senayan adalah putra-putri terbaik bangsa? Beranikah Menteri Perhubungan turun
kala kecelakaan banyak terjadi? Atau Menteri Pertanian meminta maaf didepan
publik saat pertanian Indonesia gagal panen? Atau bahkan anggota parlemen
memohon ampun kala publik tahu bahwa mereka hanya padat memboroskan anggaran?
Soekarno memang pernah berteriak
kapitalisme mesti hancur, tapi kekuatan aliansi asing memukul ide itu
mundur. Bukan hanya karena tokoh yang dijuluki “penyambung lidah rakyat” itu
sudah melakukannya. Tapi itulah esensi yang mesti dibangun oleh mahasiswa,
aktif-intensif. Sebab, potret kampus kini masih belum bergeser dari kapitalisme
itu. Uang kuliah yang tak pernah turun, hingga ada kewajiban membayar hanya
untuk masuk gerbang kampus. Maka adalah benar istilah: kampus dahulu di kontrol
aparat. Kini, kekuatan modal-lah sang pengedali kegiatan hingga hal akademis.
Lalu dimana ruh kampus sebagai gudang gagasan dan perlawanan?
Berefleksilah secara dalam dan menggema:
Untuk apa kita kuliah? Masihkah kita punya nyali? Seberapa sering kita
bergabung dengan aliansi buruh? Mengapa kita tidak sadar gerakan mahasiswa
dipadamkan secara perlahan? Adakah dosen yang sering melaporkan di kelas bahwa
ia sering ditangkap karena sering mengungkap perlawanan? Atau dosen yang
bertanya, “Sudahkah kalian aksi hari ini?”. Adakah yang lebih penting selain
cita-cita bangsa soal kesejahteraan kaum miskin? Buat apa kita kuliah jika kaum
miskin itu semakin terlunta? Banggakah kita foto elit dipampang disemua ruangan
di Indonesia? Adakah kemakmuran tempat dimana tambang dikeruk? Adakah
kesejahteraan tempat dimana hutan kita dijarah?
Kampus dan dosen dengan dogma
“datang-patuh-pulang” seakan mengkhianati berdirinya kampus itu sendiri.
Padahal tak semua manusia sukses, lahir dari IPK yang tinggi dan tanpa DO.
Steve Joobs berhenti kuliah, Bill Gates lebih suka mendirikan bisnis, bahkan
Mark Zuckerberg keluar dari kampus. Mereka buktikan bahwa penemuan penting dan
mempengaruhi perubahan sosial, tak hanya datang dari IPK tinggi dan lulus
cepat. Dalam konteks Indonesia, tokoh bangsa melakukan perubahan sosial tanpa
pusing berpikir soal IPK dan DO; Tjokroaminoto, Hatta, Syahrir, Agus Salim, Tan
Malaka, Pramoedya Ananta Toer, Wiji Thukul hingga Soe Hok Gie.
Kini, saatnya kita bergerak keluar dari
petuah sempit bahwa kuliah mesti segera lulus dan aksi demonstrasi tak berarti;
mencipta generasi pelawan tirani, mengalirkan persoalan sosial dengan langkah
progresif, membuat risalah pergerakan sebagai “kitab suci” mahasiswa, bergabung
dengan massa tertindas, berteriak lantang bahwa penjarahan dan perampasan asing
mesti berhenti, dan berani mengungkap “Gelombang kemiskinan tak bisa diubah
hanya dengan teori ruang kelas”. Saatnya munculkan dan gerakkan ide memukau itu
semua, soal apa dan bagaiamana seharusnya mahasiswa; kehidupan yang kini remuk
dan berhasil ditimbun.