BAB IIIILMU PENGETAHUAN - SAINS
SUDAH kita bicarakan, bahwa timbul, tumbuh, dan tumbangnya Indonesia Merdeka
di dunia (“besar hendak melindih, lemah makanan yang kuat, bodoh makanan yang
cerdik”) terutama tergantung pada industri. Pada industri kita jumpai
perkawinan sains dan teknik, ilmu pengetahuan dan teknologi. Sains dan teknik
tak bisa dipisahkan, seperti juga energi dan materi. Sains dilaksanakan di
teknik dan kemajuan atau kemunduran teknologi memajukan atau memundurkan ilmu
pengetahuan pula.
Kalau Indonesia tidak merdeka, maka ilmu pengetahuan akan terbelenggu.
Semua negara merdeka sekarang menasionalkan, merahasiakan penemuan, guna
dipakainya sendiri untuk persaingan dalam perniagaan atau peperangan! Saintis
(ilmuwan) Indonesia, janganlah bermimpi akan bisa leluasa berkembang selama
pemerintah Indonesia dikemudikan, dipengaruhi, atau diawasi oleh negara lain
berdasarkan kapitalisme, negara apapun juga di bawah kolong langit ini.
Kemerdekaan sains itu sehidup dan semati dengan kemerdekaan negara. Begitu juga
kemerdekaan sains bagi satu kelas, sehidup dan semati dengan kemerdekaan kelas
itu.
Walaupun Indonesia terkaya di dunia, tetapi selama sains tiada merdeka,
seperti politik negaranya, maka kekayaan Indonesia tidak akan menjadikan
penduduk Indonesia senang, melainkan semata-mata akan menyusahkannya, seperti
350 tahun belakangan ini. Politik dan kecerdasan bangsa asing akan memakai
kekuatan Indonesia untuk memastikan belenggu Indonesia seperti ular kobra
memeluk mangsanya.
Begitulah ekonomi politik dan sains itu satu paduan yang tidak boleh
dipecah-pecahkan. Bibit sains yang diakui kebenarannya di seluruh dunia,
sekarang kita dapati pada bangsa Yunani. Sepanjang pikiran saya bangsa inilah
bangsa purbakala terbesar jika dipandang dari penjuru ilmu pengetahuan. Ilmu
apa saja, kalau kita gali asalnya, kita berjumpa dengan Aristoteles yang
menjadi guru besar pemikir Arab. Marx, tak jemu memberi pujian kepada
“singa-pikiran” Yunani itu. Galen menanam biji kedokteran. Euclides
mengumpulkan matematika. Phytagoras pasti kita pelajari dalam sekolah, kalau
kita belajar matematika. Archimedes tak bisa dilupakan dalam ilmu alam.
Demokritus dan Heraklitos, bapak teori molekul dan atom, bapak dialektika,
menjadi makin berarti seiring dunia yang bertambah tua.
Pada bangsa Arab orang Barat berterima kasih, karena bangsa ini menyimpan
dan memajukan kecerdasan Yunani. Al Kimia adalah pusaka dari Arab, yang
dimajukan jauh oleh bangsa Barat. Tetapi selain ini, bibit sains tak berapa
tumbuh bermula (orisinal) di dunia Arab. Aljabar yang besar sekali artinya
dalam sains sekarang, bukan terbit di dunia Arab, melainkan di India. Seperti
halnya kompas, ilmu mencetak buku, dan obat bedil, dipindahkan oleh saudagar
Arab dari Tiongkok ke Eropa, begitu juga aljabar diambil dari India dan
dipindahkan ke Barat. Di sana dia tumbuh dari bibit sampai ke pokok yang
bercabang-cabang di masa sekarang.
Sudah tentu mustahil menguraikan sains yang bercabang dan ber-ranting
begitu banyak satu per satunya pada buku ini. Satu cabang seperti biologi saja
bisa menawan seumur seseorang manusia dengan belum bisa menghabiskan persoalan
yang ditimbulkan oleh Biologi itu saja. Tetapi barang siapa di antara pembaca
ini berniat mendalami pengetahuan tentang suatu cabang ilmu pengetahuan, maka
di masa sekarang cukup jalan untuk memenuhi maksudnya. Dan lagi, maksud buku
ini terutama ialah mengemukakan “cara” berpikir tangkas yang dipakai oleh
sains. Walaupun cara yang dipakai dalam sains memasukkan juga dialektika dan
logika, tetapi sains tentulah mengistimewakan “metode”, cara yang dipakainya
sendiri. Dalam sains sendiripun ada berlainan metode yang diutamakan oleh
masing-masing cabang.
Matematika (ilmu dan bilangan) memakai cara dan nama lain dari ilmu alam
dan biologi, walaupun semangat dan pokok besar kedua cara yang dipakai
sebetulnya sama juga. Sebagaimana ilmu alam dan kimia dan lain-lain, sekarang
dipengaruhi oleh dan didasarkan atas elektronika, begitulah pula semua cabang
ilmu sekarang, dipengaruhi dan disandarkan pada matematika.
Sudah diketahui, bahwa ilmu teknik sipil, kimia atau listrik, sehidup
semati dengan matematika. Setelah Mendelisme diakui kebenarannya, maka biologi
Darwinisme yang bersandar pada logika dan dialektika saja, sudah tak berpisah
lagi dengan matematika. Begitulah pula ilmu sosial, seperti ekonomi, tidak
merasa sempurna kalau tidak disandarkan pada statistika, yang merupakan bagian
matematika pula. Kita sudah ketahui, bahwa ahli bintang yang terbesar seperti
Newton, Laplace, dan Einstein juga ahli matematika terbesar.
Buat pemikir sosial, walaupun dialektika dan logika yang diutamakannya,
tetapi cara berpikir yang dipakai oleh ahli matematika juga tiada percuma kalau
diketahuinya. Seperti pemain sepak bola yang tiada rugi kalau dia mempelajari
tenis atau berenang, begitulah juga pemikir sosial pada siapa Madilog dipusatkan,
akan bertambah kecerdasannya, kalau ia mempelajari dan memahami cara yang
dipakai matematika.
Seorang bertubuh baik dan kuat, kalau sudah dilatih dengan silat yang baik,
akan berbeda pandang langkah sikap dan tangkisannya terhadap serangan lawannya
dari pada ketika ia masih hijau, belum dilatih. Begitulah juga otak yang sudah
dilatih oleh matematika, lain sikapnya terhadap suatu persoalan daripada otak
mentah. Tiada percuma orang barat mendasarkan sekolah rendah dan menengah pada
matematika. Tiada percuma Euclides, ahli matematika Yunani, dijadikan guru
pemuda di seluruh dunia beradab masa sekarang. Pendidikan Indonesia, saya pikir
baru sempurna kalau pemuda putra dan putri, atas belanja negara mesti tamatkan
SMP, kecuali satu dua yang betul tak kuat otaknya untuk menjalankan.
Entah dari mana, buku, majalah, atau surat kabar apa, saya sudah lupa,
tetapi dalam pelarian saya yang lebih dari 20 tahu itu, tiga definisi
yang pendek dan jitu yang saya ingat tentang sains adalah:
1)
Sains ialah accurate thought,
ilmu empiris, ialah cara berpikir yang jitu, tepat, atau paham yang nyata.
2)
Sains, ialah organizations of fact,
penyusunan bukti.
3)
Sains, ialah simplification by
generalisation, penyerderhanaan generalisasi.
Ketiga definisi ini satu sama lainnya berhubungan dan isi mengisi, tambah
menambah. Dipandang dari satu penjuru, yang pertamalah definisi yang jitu. Dari
penjuru yang lain yang kedualah dan seterusnya.
Bermula sekali diatas saya memakai kata definsi, artinya ketentuan,
kepastian. Definisi penting sekali untuk segala macam sains, buat accurate
thought. Penting buat matematika, ilmu alam dan logika.
SAYA terjemahkan dengan penetapan, pembatasan, pemastian. Artinya ialah
untuk menentukan batas-batas yang tepat suatu perkataan atau hukum atau paham.
Lebih dahulu mesti kita definisikan definisi itu sendiri. Lebih dahulu kita
pastikan kepastian itu “Apakah definisi itu?” adalah pertanyaan yang kita lebih
dahulu mesti jawab. Tanpa definisi, tak bisa ada sains, seperti sebetulnya
keadaan di seluruh dunia Asia sebelum Barang datang. Tak beres definisinya,
maka morat marit, cantang perenang dan kacau balaulah sains. Cabang sains yang
mau diuraikan seperti ilmu bumi umpamanya, mesti dipastikan dibatasi,
didefinsikan lebih dahulu.
Kalau tidak, pembicaraan bisa meluap, mengembara kian kemari, melampaui dan
meninggalkan cakupannya. Madilog ini umpamanya, ialah satu perkara tentang cara
berpikir. Perkara lain, tetapi berhubungan kena mengena dengan Madilog boleh
dan mesti diuraikan, tetapi tak boleh melewati dan menyesatkan Madilog dari
pokoknya, dari tujuannya, yaitu perkara cara berpikir.
Sesudah cabang sebuah ilmu pengetahuan yang mau diuraikan itu
didefinisikan, maka perlulah dipastikan materi bahannya lebih dahulu, yakni
segala bukti yang menjadi sendir dari ilmu pengetahuan itu.
Akhirnya, hukum yang diperoleh sebagai hasil pemeriksaan yang tenang mesti
dipastikan betul-betul. Demikianlah pentingnya definisi dalam ilmu pengetahuan.
Satu definisi mesti cocok dengan perkara pertama, seperti disebut di atas
mesti accurat, jitu, tepat. Apakah yang bisa dinamai jitu, tepat, dan akurat
itu? Kalau materi yang dipastikan, didefinisikan itu terbatas, terpagar, dan
semuanya berada dalam batas-batas itu (Inggrisnya : mark of the thing,
refer to all things). Kalau pagar pembatasannya tak rapi dan tak semua
materi berada dalam pagar itu, maka definisi itu gagal.
Dari materi yang mana ia dipagari? Dari materi yang satu golongan, satu
kelas dengannya, tetapi mempunyai perbedaan.
Jadi definisi itu bermaksud: pertama, menentukan golongan kelas suatu
barang. Dan kedua, perbedaan barang itu dengan barang lain yang satu kelas,
satu golongan dengannya. Definisi itu mesti menampakkan essential
attributes, sifat-sifat utama. Sifat-sifat yang utama ialah kelas dan
perbedaan.
Contoh: kita mau memastikan, mendefinisikan manusia. Lebih dahulu kita
mesti mencari golongan, kelas manusia, yaitu hewan. Tetapi hewan itu cukup luas
cakupannya. Di dalamnya termasuk ular, kerbau, monyet, dll. Kita tahu monyet
itu hewan, dan manusia itu termasuk golongan hewan. Dalam hal ini manusia dan
monyet tadi memang bersamaan. Tetapi kanak-kanak pun tahu bahwa manusia bukan
monyet, dan monyet bukan manusia. Jadi definisi kita tadi, bahwa manusia itu
hewan belumlah pas. Kita mesti mencari perbedaan dengan monyet yang satu kelas
dengan manusia itu. Kita tahu, atau sekarang ini kita percya (mesti belum tentu
besok keyakinan ini tetap benar) bahwa manusia itu mempunyai akal, dan monyet
tidak, cuma berinsting.
Manusia pandai berpikir menurut hukum yang kita namai hukum berpikir atau
logika, tetapi monyet cuma berinsting, berkecerdasan yag diberikan alam
padanya. Pendeknya, menurut pengetahuan kita sekarang, perbedaan manusia dengan
monyet adalah bahwa yang pertama pandai berpikir dan yang kedua tidak.
Definisi, kepastian yang sempurna tentang manusia, sekarang ada seperti
berikut :”manusia ialah hewan yang berpikir”. Definisi semacam ini sudah bisa
menjawab dua syarat definisi: golongan atau kelas sebuah benda, dan perbedaan
antara benda itu.
1)
Masuk golongan apa manusia itu? Jawab:
masuk golongan hewan.
2)
Apa perbedaan manusia dengan monyet yang
masuk golongan hewan juga? Jawab: manusia pandai berpikir, monyet tidak.
Selama kita belum mendapat kepastian bahwa monyet tak pandai berpikir, maka
tingkat daya upaya kita yang pertama untuk mendapatkan definisi tadi sudah
selesai. Dalam hal ini kita mesti naik ke tingkat kedua. Kita mesti uji terus
apakah definisi tadi betul memadai. Sekarang mesti kita periksa. Pertama,
apakah semua barang yang mau kita definisikan itu (dalam hal ini manusia) masuk
ke dalam pagar pembatas atau tidak semuanya. Kedua, apakah ada barang lain yang
bukan manusia masuk ke dalam batas itu.
Kalau kita tahu bahwa semua A = B maka sebaliknya, kita mesti bertanya
apakah semua B = A. Kalau jawabnya ya, barulah selesai. Tegasnya, kalau kita
tahu semua manusia adalah hewan yang berpikir, maka kita mesti bertanya apakah
semua hewan yang berpikir itu manusia? Kalau jawabannya ya, maka benarlah
definisi itu. Kalau tidak, gagallah percobaan kita.
Marilah kita periksa apakah semua manusia itu adalah hewan yang berpikir.
Kita tahu umpamanya, tetangga kita selalu dipasung. Apa yang dia bilang,
kita tidak mengerti. Menggelikan atau menyedihkan hati kita. Orang bilang
tetangga ini “gila”. Otaknya sakit, tak beres lagi kerjanya. Dulu beres,
Sekarang tidak.
Tidak apa, ini adalah satu exception, satu perkecualian. Sains
pun mempunyai exeption. Lagi satu keberatan. Wak Gaib nama kenalan
kita itu, cakapnya lain dari orang biasa. Tadi malam katanya ia “naik nafas”
pergi ke Kairo berjumpakan Sultan Farouk. Tadi malam juga dia balik ke desa
Sawarga, tempatnya tinggal. Cerita semacam ini memang tak masuk pada akal kita
manusia biasa. Ini pun satu exeption dari manusia dipasung
tadi. Wak Gaib dari desa Sawarga, juga satu perkecualian dari manusia biasa.
Tetapi, perkecualian ini tidak seperti perkecualian biasa. Kedua manusia di
atas berotak juga dan otaknya berpikir juga, walaupun hasil pikirannya tak sama
dengan buah pikiran orang normal.
Untuk sementara, ujian kita lulus, ujian tentang “semua manusia adalah
hewan yang berpikir” itu bisa dipakai. Sekarang mesti kita periksa sebaliknya,
apakah semua hewan yag berpikir itu manusia.
Walaupun banyak cerita dari pemburu, penggembara, naturalisten,
ahli hewan dan tumbuhan yang membuktikan kecerdasan binatang seperti serigala,
gajah, monyet, kancil dan pelanduk dalam peri kehidupan mereka, sementara boleh
kita putuskan: tak ada di antara hewan yang bukan manusia itu pandai berpikir.
Malaikat umpamanya, pandai berpikir. Tetapi kita manusia biasa belum pernah
berjumpa malaikat dan kita tak bisa memanggil malaikat pada tempat dan waktu
yang kita pilih, seperti kita bisa nyalakan api asal ada latnya pada waktu dan
tempat yang kita kehendaki.
Untuk sementara, tak kita dapati barang yang bukan manusia termasuk dalam
golongan hewan yang berpikir. Semua manusia termasuk hewan yang berpikir.
Sebaliknya tak ada yang bukan hewan berpikir termasuk jadi manusia. Semua hewan
berpikir itu manusia belaka (A=B dan B=A). Jadi sementara benarlah definsi
kita. Luluslah ujian pada tingkat kedua. Tetapi kerja kita belum lagi sempurna.
Kita mesti naik ke tingkat tiga, tingkat penghabisan.
Pada tingkat ini kita mesti periksa, apakah definisi kita mencukupi segala
syarat berikut :
- 1.
Definisi sebisa-bisanya singkat, tetapi
jangan terlalu luas atau terlalu sempit.
- 2.
efinisi tak boleh circular atau
berputar-putar.
- 3.
Definisi itu mesti general atau
umum.
- 4. efinisi tak boleh memakai metafor, ibarat,
kata figuratif, penggambaran, kata yang obscurate, menggunakan
perkataan gaib, samar.
- 5.
Definisi tak boleh memakai kalimat
negatif.
Marilah kita jelaskan satu persatu.
1. Definisi itu sebisa-bisanya singkat.
Sebisa-bisanya!
Ada kalanya tidak bisa dipendekkan. Kalau dipendekkan maknanya menjadi
sempit. Definisi tak boleh terlalu sempit dan tak boleh terlalu luas. Kalau
saya bilang “manusia itu hewan”, maka betul definisi singkat tapi juga monyet
dan ular termasuk hewan. Jadi kalau definisi ini kita balik, kita dapati “hewan
itu manusia”. Tegasnya, ular, kerbau dan monyet itu manusia. Begitu juga kalau
saya bilang “manusia itu hewan bermata dua sebab kera dan ikan bermata dua.”
Definisi itu tak boleh sempit, ia mesti punya essential attributes:
segala sifat penting yang tak boleh lupa. Kalau kita katakan kuda itu binatang
memamah, maka definisi itu terlalu luas sebab kerbau juga binatang memamah.
Tetapi jika kita berkata “kuda itu binatang memamah buat ditunggangi Pangeran
Diponegoro”, maka artinya menjadi terlalu sempit sebab selain untuk ditunggangi
Pangeran Diponegoro, dia juga dipakai buat penarik delma, bajak dsb.
Dalam matematika kita lebih mudah mencari contoh. Sebab memang matematika
adalah buah pikiran yang pasti berdasar bukti yang didefinisikan lebih dahulu.
Demikianlah square, bujursangkar ialah satu gambar datar
tertutup dibatasi oleh 4 garis lurus yang sama panjang, mempunyai 4 sudut
siku-siku. Di sini bukan satu saja sifat yang penting. Pertama, dia mesti
“gambar datar tertutup”, bukan gambar pada tempat bertinggi rendah. Bukan
terbuka, melainkan semua sisinya bertemu. Kedua, dia mesti dibatasi oleh 4
garis lurus yang sama panjang, bukan 3 atau 5. Garisnya lurus tak boleh
bengkok, panjang garis itu sama pula. Ketiga, 4 sudutnya mesti siku-siku. Satu
pun dari ketiga sifat diatas tak boleh tertinggal. Kalau tertinggal bukan square yang
kita peroleh.
Memang definsi sebisa-bisanya pendek, tapi mesti mengandung semua sifat
penting.
2. Definisi itu tak boleh circular,
berputar-putar.
Kesalahan ini didapat kalau kita memakai perkataan lain yang bersamaan
artinya. Contoh dari Aristoteles. “Tumbuhan ialah benda hidup yang mempunyai
jiwavegetable”. Sedangkan vegetable itu artinya
tumbuhan juga. Jadi sebenarnya definisi ini: “tumbuhan ialah barang hidup yang
mempunyai jiwa tumbuhan”. Di sini nyata, tumbuhan balik artinya pada tumbuhan.
Setali tiga uang. Dengan begitu kita tak mendapat kepastian penjelasan tentang
tubuhan.
Demikianlah kalau Mahatma Gandhi mendefinisikan bahwa “ahimsa itu soul
force”, kekuatan jiwa yang berdasar kasihan, seperti simpati, rohani.
Apakah “kekuatan jiwa itu”? Itulah yang perlu lagi dibuktikan dengan mengganti
nama baru yang mesti diterangkan pula, maka pekerjaan itu berputar-putar di
sana saja, seperti menghesta kain sarung. Begitulah seorang kenalan saya tak
akan memberi keterangan apa-apa, kalau definition itu dia
jelaskan begini : “Definition, ialah satu ketentuan yang pasti, yang
ditentukan oleh ketentuan yang tentu”. Disini dia pakai perkataan “ketentuan”
dan “pasti” berulang-ulang, artinya sama dengan definisi. Meskipun definisinya
itu panjang, dia tak memberi keterangan baru, karena keterangan yang
diberikannya itu tak berpangkal tak berujung.
3. Definisi itu mesti general atau umum.
Dia mesti umum, biasa, lebih dikenal dari para barang yang hendak
didefinisikan. Hewan lebih umum, lebih luas cakupannya daripada manusia. Sebab
ke dalam daerah hewan termasuk juga monyet, ular, ikan, dan bukan saja manusia.
Tetapi walaupun cakupannya lebih luas, pengertian umum itu sebisa-bisanya lebih
dikenal, jangan diketahui oleh kaum istimewa saja, kaum terpelajar saja
umpamanya. Contohnya definisi berikut ini. Walaupun betul, cuma diketahui oleh
sebagian kecil manusia saja. “Jam adalah sebuah kronometer untuk mengukur waktu
dengan jitu”. Cukuplah kalau dibilang “jam adalah perkakas buat mengukur
waktu”. Tak perlu kita pergi ke kapal, dimana orang pakai semacam jam istimewa
yang bernama kronometer untuk pekerjaan yang kurang dikenal khalayak! Kecuali
kalau tak ada cara alin daripada cara khusus ini tadi.
4. Definisi tak boleh memakai metafor,
perumpamaan, kata figuratif dan kata yang obscurate, gaib.
Kita dengan definisi hendak memastikan, membuktikan dan menerangkan suatu
barang. Dengan memakai ibarat saja, penggambaran saja dan memakai perkataan
gaib yang tidak bisa dikenali panca indera, barang yang mau kita definisikan
itu tak akan bertambah nyata. Malah sebaliknya.
Demikianlah kalau seorang penyair, tukang metafor yang tulen, mengumpamakan
dirinya sebagai “sepantun anak ikan yang di waktu pasang besar hanyutlah ia”.
Dalam satu hal dia memiliki persamaan dengan ikan. Ikan dihanyutkan pasang dan
si penyair dihanyutkan sengsara hidup, walaupun sengsara hidupnya itu
seringkali cuma didapat di ujung pena Parker-nya saja. Tapi lain dari itu tak
banyak persamaan anak ikan tadi dengan penyair kita. Kalau dalam mendefinisikan
penyair kita definisikan anak ikan sebagai gantinya, maka masuklah pula segala
sifat anak ikan yang tak ada pada si penyair. Umpamanya kepala si anak ikan
selalu dingin, kecuali kalau sudah masuk kuali. Sedangkan kepala si penyair
belum tentu dingin, adem selalu.
Begitu juga dengan memakai gambaran atau memakai kata-kata gaib, barang
yang akan dipastikan tak akan bertambah pasti, malah sebaliknya bertambah gaib.
Demikianlah kalau sekiranya saya sajikan definisi tentang Rohani kepada
pembaca yang terhormat: “Rohani itu ialah satu kodrat, laksana Sang Garuda
Rajawali yang mengendari bulan dan matahari, dan menerbitkan bintang dan bumi
yang bisa menjelma menjadi Kuman Pasopati memasuki Pagar Jasmani”.
5. Definisi tak boleh memakai kalimat
negatif (tak ber-).
Kalau saya definisikan orang miskin sebagai orang ynag tak kaya, maka
definisi itu negatif. Tak bersifat yang nyata, yang positif. Bandingkanlah
dengan definisi ini: orang miskin ialah orang yang tak punya harta benda
apa-apa. Kadang dalam matematika sebuah definisi bersifat negatif, tapi ia
sebenarnya positif. Umpamanya: satu garis lurus itu tak mengubah tujuannya. Di
sini kata “tak mengubah” berarti “menetapkan”. Jadi definisi itu boleh diganti
menjadi: satu garis itu menetapkan tujuannya. Kadang-kadang tak ada akal lain
kecuali memberikan definisi yang negatif, umpamanya: gelap itu ialah tak terang.
Apabila Gautama Budha disesakkan oleh muridnya dengan pertanyaan yang
berhubungan dengan sifat nirwana, rohani, atau jiwa, maka dia jawab: 1. Bukan
ini. 2 Bukan itu, 3. Bukan ini atau itu (either this or that,
Inggrisnya). 4. Bukan tak ini dan tak itu (not neither this or that).
Barangkali sebagai pusaka dari putera raja kapilawastu yang memang pandai
sekali memakai logika, walaupun berdasar mistika, maka di masyarakat Indonesia
pun kita berjumpa dengan “jawaban main tidak” itu dalam ilmu gaib.
Terlampau panjanglah sudah uraian kita tentang definisi. Tetapi definisi
itu kita anggap sebagai wilayah sains, ilmu pengetahuan. Tak berdefinisi, maka
semua ilmu tinggal satu onggok bukti saja, seperti seonggok pasir, tak ada
pertalian masing-masing pasir. Baru kalau didefinisikan, yang berarti juga
diorganisir, disusun, digenalisir, baru segala bukti yang teronggok tadi jadi
sains. Onggokan pasir tadi baru bersatu dan kokoh, kalau diikat dengan semen.
ILMU tentang bidang dan bilangan yang kita pakai sekarang pada semua
sekolah yang berdasar peradaban barat ialah matematika, yang disusun oleh
Euclides. Walaupun aljabar amat penting dalam semua ilmu pengetahuan, sekarang
tiadalah dia akan saya ambil sebagai model, contoh untuk menjelaskan cara
berpikir yang dipakai dalam matematika. Barangkali di antara para pembaca tentu
ada seperti saya yang selalu diingatkan oleh guru, kalau menjawab perhitungan
aritmetika janganlah memakai cara aljabar. Peringatan dari guru itu bermakna
sekali.
Memakai jalan aljabar tidak menambah kecerdasan, di masa kita masih
memanjat tingkat yang pertama sekali dalam matematika. Bisa jadi cara berpikir
aljabar itu membatasi otak kita. Menjadikan kita berpikir mekanis, seperti
mesin, tiada memakai penyelidikan lebih dahulu.
Seperti mesin berhitung yang sekarang ini banyak dipakai begitulah jadinya
otak kita. Memindahkan persoalan berhitung aritmetika tadi pada persoalan
aljabar yang memang memudahkan semua persoalan dan lekas mendapatkan hasil.
Tiadalah lagi dipikirkan jalan, cara, metode mana yang dipakai dan cara mana
yang pendek dan jitu di antara beberapa cara. Yang dipikirkannya ialah lekas
mendapat hasil, pendapatan yang betul, result. Sedangkan sebetulnya
cara mendapatkan hasil itulah yang lebih penting dari pada hasil itu sendiri.
Begitulah menurut pendapat penulis ini.
Belakang hari di kelas sekolah yang lebih tinggi, penulis juga tiada begitu
lagi memperhatikan hasil itu. Kalau sudah terlihat cara yang baik di antara dua
atau lebih cara, maka sering penulis tiada lagi menyelesaikan persoalan itu
sampai mendapatkan result dan tidak perdulikan beberapa soal
yang bisa diselesaikan dengan hanya satu cara. Dengan begitu, banyak waktu
terpelihara dan saya pikir kecerdasan berpikir bisa maju. Pada matematika yang
tinggi, hasil itu memang tidak begitu penting lagi.
Memang aljabar lebih abstrak dari aritmetika, lebih terpisah dari pada
benda. Pada aritmetika saja kalau kita lihat 2 + 2 = 4, maka tiada lagi kita
pikirkan bahwa dua itu cuma bilangannya, nomornya, salah satu dari sifat barang
itu, bukan benda itu sendiri. Seperti juga hitam, ialah warna barang, bukan
barang itu.
bilangan itu sudah terpisah dari benda dan bisa mewakili semua benda. 2 itu
bisa jadi 2 kerbau atau 2 telur. Kita tahu, kalau 2 kerbau + 2 telur, kita
tidak akan mendapatkan 4 kerbau atau 4 telur. Yang 4 itu cuma bilangan. Satu
hal yang terpisah dari benda, Cuma ada dalam pikiran abstrak belaka. Syahdan
alajabar lebih terpisah, lebih abstrak lagi. Marilah kita ambil formula.
(a+b) (b-a) = a² - b². Kalau a itu 3 dan b itu 2 maka (3+2)(3-2) = 3 ² - 2 ².
Di sebelah kiri tanda = kita peroleh 5 x 1 = 5. Di kanan 9 – 4 = 5 pula. Jadi
yang di kiri bersatu, sama dengan di kanan. inilah juga asal makna aljabar
dalam bahasa Arab. Kalau 4 bukan 3 seperti diatas melainkan 5 dan b bukan 2
melainkan 3 umpamanya, maka kita peroleh (5+3) (5-3) = 5 ² - 3 ². Di kiri tanda
= kita peroleh 8 x 2 = 16. Di kanan juga 16, yaitu 25 – 9.
Begitulah seterusnya a itu mewakili tak berbatasnya angka, unlimited,
bisa 2, 3, 4 ....begitu juga b, mewakili tak berbatasnya. A itu tak perlu lebih
besar dari b, umpamanya (2+3) (2-3) = 2 ² - 3 ² atau 5 x (-1) = 4 – 9 = -5.
Q,E, D.
Seperti angka-angka tadi mewakili benda, 2 kerbau atau 2 telur, begitu juga
a yang mewakili angka, 2, 3, 4 dsb. Adalah hal yang abstrak, terpisah dari
benda. Sedangkan angka itu sendiri sudah abstrak, apalagi huruf a dan b dalam
aljabar tadi. Aljabar adalah ilmu yang lebih abstrak dari aritmetika, begitu
terpisah dari benda.
Bukan maksud saya mengatakan, bahwa karena matematika terpisah dari benda,
maka ia tak berguna. Jadi aljabar tinggi yang lebih abstrak tadi adalah lebih
tak berguna. Sudah tentu tidak. Bagaimanapun abstraknya aljabar, dia
berdasarkan aritmetika juga, dan aritmetika itu berdasarkan benda juga. Tetapi
guna mengambil contoh untuk menjelaskan cara berpikir, tentu kita tak boleh
mulai dari ilmu yang sudah abstrak, yang sudah sampai ke tingkat atas itu. Kita
mesti ambil permulaan atau pertengahan. Di mana cara berpikir itu masih
didasarkan pada barang yang nyata, pada bukti, facts. Kita ambil
contoh geometri. Geometri tidak diajarkan di sekolah rendah, melainkan di
sekolah menengah.
Bukti, facts, dalam geometri memang tak selalu begitu nyata
seperti pada ilmu alam atau kimia. Tetapi cukup nyata dan bisa digambarkan
dalam otak atau di atas kertas. Pentingnya geometri terletak pada definisinya
yang jitu dan “cara” yang pasti. Keduanya menambah kecerdasan berpikir. Dari
geometri kita bisa memanjat ke tangga yang lebih tinggi. Lulusan SMP kalau
punya otak sedikit lebih dari rata-rata, saya pikir dengan belajar sendiri bisa
sampai ke langit matematika, bila ia cukup sabar dan mempunyai waktu. Tetapi
susah, kalau bukan mustahil, mempelajari dan memahami logika dan dialektika
kalau tidak lebih dahulu dilatih, dididik dengan geometri.
BERMULA sekali dalam buku sekolah menengah, kita bertemu dengan definisi
geometri kira-kira seperti berikut: ilmu yang mempelajari sifat bentuk tiga
dimensi, bidang, garis, dan titik. Sifat yang dipakai dan dipelajari dari
badan, tentulah sifat yang berkenaan dengan ilmu geometri saja, bukan yang
berkenaan dengan ilmu lainnya, misalnya ilmu alam. Geometri tidak memperdulikan
zat berat, panas, dan energi suatu bentuk tiga dimensi.
Satu per satunya didefinsikan pula. Beginilah dipastikan :
Isi adalah bagian dari ruang alam yang berbatas ke semua penjuru.
Bidang adalah batas massa. Garis adalah batas bidang. Titik adalah batas garis.
Marilah kita periksa definisi di atas ini dengan melaksanakan pengetahuan
ktia tentang definisi.
Isi, katanya, ialah sebagian dari ruang alam, space. Jadi isi
masuk golongan, kelas yang lebih umum, yaitu “sebagian ruang alam”. Sebagian
itu bukan berarti seluruhnya dari ruang alam yang luas itu. Tetapi 1 m³ udara,
juga masuk golongan “sebagian ruang alam”. Kita tahu badan, seperti kerbau, manusia
dsb, bukan 1m³ udara yang juga sebagian dari ruang alam. Jadi definisi di atas
mesti dipagari, karena terlampau luas. Pagarnya, adalah perbedaan badan dengan
barang lain yang sama golongannya.
Anak kalimat “yang berbatas ke semua penjuru” inilah yang menjadi pagar.
Isi yang masuk golongan “sebagian dari ruang alam” itu harus berbatas ke semua
penjuru. Baik di atas maupun di bawah. Di kiri maupun di kanan. di depan atau
di belakang. Isi itu seperti peti dsb. Mempunyai batas bidang. Sedangkan udara
yang juga termasuk golongan “sebagian dari ruang alam” tak terbatasi oleh
bidang. Seterusnya, semua isi bernyawa atau tidak ialah sebagian dari ruang
alam yang berbatas ke semua penjuru. Dan sebaliknya, sebagian dari ruang alam
yang berbatas ke semua penjuru ialah isi.
Jadi definisi tentang isi cukup jitu. Golongan dan perbedaan adalah essential
attributes. Pula definisi itu pendek, tak berputar-putar, umum, tak
mengandung ibarat, kata gaib, dan tidak pula negatif. Pendek kata, definisi itu
sempurna menurut sains.
Seterusnya, bidang ialah batas isi.
Begitulah definisi tentang bidang, garis, dan titik contoh dengan sains,
jadi sainstifik. Tetapi akan terlalu panjang kalau saya mesti periksa satu
persatunya. Terserah kepada pembaca untuk memeriksanya sendiri. untuk menerapkan
yang sudah dipelajari.
Sesudah menerangkan tentang geometri dan bukti yang dipakainya, sesudah
mengingatkan bahwa definisi itu cocok dengan definisi pertama yang saya
kemukakan tentang sains, yaitu akurat, maka saya ingatkan definisi kedua dan
ketiga. Sains itu ialah organization of facts, penyusunan segala
bukti dan simplification by generalisation, penyederhanaan dengan
generalisasi bukti. Kedua definisi ini pun kena mengena, isi mengisi dan
keduanya berdasar atas facts, bukti.
Organisasi atau generalisasi dalam matematika berupa teori dan dalam ilmu
bintang atau ilmu alam berupa law atau hukum. Kita bisa dengar teorema Fermat
dan Euler, Binomium of Newton, Laws of Motion (Hukum
Gerak) Newton, Daltons Law (Hukum Kimia Dalton), dll. Teori
atau hukum tadi keduanya hasil dari penyusunan dan generalisasi beberapa bukti,
berdasarkan atas bukti. Tetapi bukti yang kita pakai dalam geometri, seperti
isi, bidang, garis, dan titik berlainan dengan bukti yang diladeni oleh ahli
bintang, tumbuhan, binatang, manusia, dan zat.
Isi bisa kita pastikan dengan panca indera kita, tetapi bidang, garis, dan
titik cuma bisa kita “hampiri” keadaanya dengan gambaran. Bidang itu tidak bisa
berdiri sendiri. Bidang peti tidak bisa kita potong jadi peti tadi. Kalau kita
potong berapapun tipisnya, maka jadilah badanlah dia dan mengambil “sebagian
dari ruang alam”. Selain itu, maka mesti kita pikirkan sifat yang lekat pada
bidang yakni dua dimensi, dua ukuran, dua besaran: panjang dan lebar. Sedang
badan itu mempunyai tiga dimensi : panjang, lebar, dan tinggi.
Garis ialah batas bidang. Garis hanya mempunyai satu dimensi, yakni
panjang. Jadi ia tak punya lebar. Berapa pun runcingnya pena kita, garis yang
kita bikin itu mesti masih punya lebar. Kita tahu yang punya lebar dan panjang
ialah bidang. Garis cuma satu dimensi saja yaitu panjang.
Titik ialah batas garis, satu titik berada di ujung dan yang lain berada di
pangkal garis. Suatu titik tak punya ukuran, besaran. Bagaimanapun halusnya ujung
pensil kita, titik yang kita bikin di atas kertas tadi masih punya 3 dimensi :
panjang, lebar dan tinggi.
Nyatalah sudah, bahwa bidang, garis, dan titik yang kita namakan bukti,
tidak seperti bukti biasa yang bisa kita saksikan dengan panca indera kita.
Tetapi kita bisa hampiri dengan gambaran, seperti molekul, atom, walaupun dalam
teorinya menjadi benda yang tak berbatas kecilnya, asalnya dari benda juga.
Kita tak perlu lari ke dunia kegaiban. Bidang, garis, dan titik yang mesti kita
dekati dengan gambaran walaupun tidak seperti bintang bagi ahli astronomi atau
kuman bagi ahli biologi, bukanlah barang yang semata-mata kosong, nothing,
seperti rohani.
Kita bisa mendekatinya dengan gambaran dan bisa menggambarkannya dalam
otak. Dan semenjak Rutherford, memang sudah bisa dilihat dengan teropong.
Walaupun alam tiada memperhatikan dan jarang sekali memberikan kepada kita
benda seperti kubus, silinder, bujur sangkar, lingkaran, segitiga, dan garis
lurus, tetapi sebagai hasil dari otak, maka ahli matematika, kaum insinyur dan
seniman sudah memberikan bermacam-macam gedung, rumah, dan kesenian yang permai
kepada kita. Menambah kesehatan dan mempertinggi peradaban kita.
“Cara berpikir” jitu yang melayani bukti, yang teristimewa masuk dalam
wilayah geometri tadi saja juga dipakai dalam memikirkan perkara-perkara lain.
Atau cara itu berkenan langsung atau tidak dengan cara yang dipakai untuk
melayani perkara di luar ilmu ukur. Sebab itu, cara berpikir dalam ilmu ukur
penting sekali buat latihan otak.
Pasal 4. TEORI DAN UJIAN.
TEORI mesti diuji. Teori dalam bahasa Inggris bisa didefinisikan sebagai
“satu hipotesis yang sudah diuji”. A proved hypothesis. Satu
hipotesis ialah satu paham yang sementara dipakai tetapi belum nyata
kebenarannya: satu persangka, satu kepercayaan semata-mata. Kalau sudah nyata
kebenarannya, ia bernama teori.
Selama atom masih tinggal dalam otak Democritus saja, maka atom tadi dalam
ribuan tahun masih tinggal sebagai hipotesis. Tetapi sesudah atom itu sekarang
bisa dilihat dengan mikroskop, maka atom itu bukan barang kepercayaan, dugaan
lagi, melainkan bukti. Kadang-kadang teori itu juga dipakai untuk ditentangkan
dengan praktek. Teori yang tidak bisa dipraktekkan semata-mata tinggal sebagai
teori belaka. Teori yang kita maksud di sini adalah teori yang nyata
kebenarannya, teori yang sudah diuji dan dilaksanakan sehari-hari.
Disini mesti diingat, bahwa perkataan Latin atau Yunani yang pindah ke
bahasa Belanda dan Inggris sudah tidak berubah lagi pengertiannya. Asalnya
sama, tetapi perkembangannya berlainan. Begitulah perbedaan terjemahan dan
pemakaian kata-kata “teori” dan “probelm” dalam dua bahasa tersebut.
Yang penting buat saya, buat Madilog, ialah metode atau cara yang
dijalankan untuk menguji benar tidaknya suatu teori. Metode yang dipakai :
3)
Metode reductio ad absurdum.
Ketiga metode ini sukar dilaksanakan dengan tepat kalau tiada mengambil
contoh dari geometri sendiri. Sebab itu kita rasa perlu di sini berlaku sebagai
murid sekolah menengah untuk menguji benar tidaknya suatu teori (Bagi pembaca
yang tidak mempelajari geometri, bagian ini bisa dilampaui saja).
Untuk melaksanakan metode ini saya ambil teori Pythagoras, filsuf Yunani
yang masyhur lebih dari 2.500 tahun yang lampau. Bukan saja teori ini memberi
contoh yang baik guna melaksanakan metode sintesis. Tetapi juga sebagai
penghormatan kepada pemikir besar zaman purbakala yang dengan beberapa pemikir
Yunani lain, boleh dianggap perintis sains. Teori Pythagoras adalah satu anak
tangga yang mesti dinaiki pada jenjang geometri, menurut sistem Euclides. Beberapa
cara ujian bisa dilakukan. Dulu saya tahu beberapa jalan. Sekarang sudah lupa.
Tetapi ujian yang di bawah ini cukup baik buat maksud kita.
TEORI PYTAHGORAS :
“Jumlah kuadrat (lipat dua) dari dua garis sudut siku = kuadrat dari garis
miring
Terbukti ABC bersiku (90º) pada A.
Mesti di uji : AC ² + AB ² = BC ²
Ujian: Kita tarik garis
tinggi AD (artinya AD membentuk sudut (90º) pada BC
ADC sama bentuk dengan ADB.
Jadi, ADC sama bentuk dengan ADB
(menurut teori sama sebangun) – tingkat I
CD : AC = AC : BC
DB : AB = AB : BC
(menurut teori sudut siku) – tingkat II
Jadi AC ² = CD x BC
AB ² =
DB x BC
(menurut teori hukum aritmetika) – tingkat III
AC ² + BC ² = (CD + DB) x BC
= BC x BC
= BC ²
(menurut hukum aritmetika) – tingkat IV
Empat tingkat I, II, III, IV, kita mesti jalani baru sampai ke penghabisan.
Masing-masing dari 4 tingkat itu ialah teori geometri juga, tetapi III dn IV
ialah teori atau hukum yang dipakai pada aritmetika yang bisa dipakai pula
dalam aljabar. Tiap-tiap teori yang dipakai bisa dipecah lagi menjadi teori
yang dipelajari lebih dahulu.
Nyatalah sifat atau metode cara sintetis itu memasang teori yang sudah
dikenal, sampai teori yang mesti diuji nyata kebenarannya. Kita berjalan dari
yang dikenal kepada yang baru. Kita pasang segala teori yang sudah dikenal guna
menyatakan yang belum dikenal. Seolah-olah kita berjenjang naik!
Kalau kita pakai jalan analitis, kita berlaku sebaliknya. Kita bertangga
turun.
Teori = soal : kalau salah satu dari 2 sisi sudut siku itu setengah dari
sisi yang miring (hypotenusa), maka di depan sisi itu ada sudut 30º
Diketahui : sudut CAB = 90 º
AC = ½ BC = CD
Mesti di uji sudut ABC = 30 º
Disini kita tidak kenal atau tak lekas kenal teori yang bisa dipasang guna
mencapai maksud kita. Bisa jadi kalau lama kita renungkan atau kita pendam soal
ini dalam kepala, maka sesudah satu atau dua jam, satu atau dua hari, sedang
mandi atau menyepak bola, sedang minum es atau makan gado-gado, jawabnya
tiba-tiba keluar. Tetapi sikap ini tak bisa dipakai dalam ujian. Kalau jalan
sintetis tak lekas membawa hasil, maka andaikan teori ini benar.
Jadi sudut ABC yang mesti kita uji itu betul 30 º
Kita bertanya, apakah akibatnya? Kalau akibatnya tidak berlawanan dengan
hukum geometri umumnya dan fakta-fakta soal, yaitu bukti teori yang khususnya
mesti kita wujudkan, maka benarlah soal itu.
Demikianlah kalau ABC =
30º, maka ACB =
60º. Kalau begitu ADC = 60º
sebab AC = CD menurut bukti-bukti soal. Kalau ADC =
60º, maka ADB =
180º - 60º = 120º.
Kalau ADB =
120º, maka BAD =
180º - (120º+30º) = 30º
Kalau BAD =
30º, maka DAC =
60º
Dan ini benar, menurut yang berbukti bermula. Quot Erat
Demonstrandum. Demikianlah sudah terbukti.
Nyatalah di atas, kita bermain dengan “kalau” dan main “andai”. Dari ujung
yakni perkara yang mesti ktia uji sampai ke pangkal, ke dasar geometri, kita
main “andai”. Bila kita tak bertemu dengan hal yang berlawanan, dengan geometri
umumnya dan bukti-bukti yang didasarkan pada soal itu sendiri khususnya, maka
benarlah jalan kita. Betullah teori atau soal itu tadi.
Dengan metode sintesis kita berjalan dari yang dikenal ke yang belum atau
yang mau kita kenal. Dengan metode analitis sebaliknya. Kita berjalan dari yang
mau tetapi belum kita kenal, kepada jalan yang sudah kita kenal. Kita ungkap
segala yang tersembunyi dalam rahasia baru, dalam teori atau soal baru.
3. Metode reduciton ad absurdum
Ada kalanya kita tak lekas atau tak dapat jalankan 2 metode di atas. Dalam
hal ini kita pakai perkakas terakhir, metode reduciton ad absurdum.
Kita jerumuskan, sengaja sesatkan siapa yang tak percaya pada teori itu supaya
insyaf, bahwa teori itu saja yang benar.
Teori atau soal berkata :
Cuma satu garis siku bisa dijatuhkan dari titik C pada garis AB.
Terbukti : garis AB
Sudut CDA = 90º
Mesti diuji : cuma CD saja yang bersiku
(90º) pada AB.
Ujian : kita kerok otak kita mencari teori dan hukum yang kita kenal untuk
menyelesaikan soal ini. Tak dapat! kita bermain “pengandaian” dan coba berjalan
dari yang belum dikenal pada yang nyata dikenal. Gagal! Kita buntu, keringat
sudah keluar, kita sedang dalam examen dan sang waktu hampir
berlalu. Sekarang, mau tak mau, lari pada jalan ketiga : reduction ad
absurdum.
Seandainya ada garis kedua, bersiku, jatuh dari C pada AB, umpamanya garis
CE. Kalau begitu sudut CED = 90º. Maka jumlah 3 sudut CDE = 90º + 90º + Xº,
atau 180º + Xº lebih besar dari 180º, maka bertentangan dengan hukum yang sudah
dikenal dalam geometri, yaitu: jumlah semua sudut dalam sebuah segitiga selalu
180º. Maka pengandaian tadi absurd. Bertentangan dengan hukum yang dikenal.
Karenanya teori yang mau kita uji di atas itu benar.
Pada jalan ketiga ini, pertama kali mengandaikan akibat teori itu salah.
Kita berjalan membelakang dari akibat ke pangkal. Akhirnya kita sesat, sebab
kita berjumpa dengan hal yang bertentangan dengan hukum atau teori geometri
yang sudah diakui kebenarannya lebih dahulu. Jadi akhirnya kita yakin bahwa
akibat teori yang mau diuji itu sendiri tidaklah salah. Semua jalan lain malah
menyesatkan kita. Kalau akibat disalahkan, maka “dasar-dasar” geometri yang
sudah diakui kebenarannya mesti disahkan pula.
Dalam problema, yaitu soal-soal membuat sebuah gambar geometri (geometry
figure) dengan penggaris dan jangka, kita juga memakai dua cara pertama
dalam menguji teori tadi: sintesis dan analitis.
Ada lagi satu cara yang bisa dipakai, yaitu intersection of logic,
atau pertemuan jalan. Sesudah gambar geometri tadi dibuat, maka seperti pada
teori, kita mesti menguji kebenaran gambar yang kita peroleh. Uji, apakah
gambar itu memenuhi syarat yang dituntut oleh problema. Jadi sebuah problema
mesti mula-mula dipecahkan baru kemudian di uji.
Untuk meringkas, maka sekarang tidaklah perlu kita membuat gambar untuk
menjelaskan dua cara yang pertama, karena sudah masuk pembicaraan kita
terdahulu. Untuk memudahkan pengertian, lebih baik kita mulai dengan cara yang
baru itu.
Problema: Tariklah garis menyinggung pada satu
lingkaran di luar titik tadi.
Diketahui: Lingkaran M lingkaran N
Dikehendaki: Menarik garis menyinggung dari P ke
lingkaran dari P ke lingkaran N
Konstruksi : Sambungkan P dengan M
Buat lingkaran penolong M dengan memakai titik M sebagai titik pusat.
Lingkaran N memotong lingkaran pada titik A dan titik
B
Hubungkan titik A dan B dengan P.
Jadilah garis PA dan PB sebagai garis singgung yang dikehendaki.
Ujian: Tarik garis penolong MA dan MB. Nyata bahwa sudut MAP dan MBP
bersiku 90º, karena masing-masing berdiri pada lingkaran. Garis PA dan PB
berdiri tegak lurus atas straal MB dan MA. Jadinya kedua garis
PA dan PB adalah dari singgung.
Amatilah sudut MBP. Sudut itu 90º sebab berdiri menentang ½ lingkaran PBM.
Ia adalah pertemuan garis PB dan NB di titik B. Titik B pada dua garis PB
berlocus, bertempat di seluruh lingkaran M. Dimana dua lingkaran itu bertemu,
berselang, seperti di B, disanalah titik B dari garis PB dan B dari garis MB
berpadu.
Amatilah sendiri sudut MAP.
Pasal 5. CARA BERPIKIR MATEMATIS DAN
KEHIDUPAN
SEBETULNYA cara berpikir dalam geometri tadi, walaupun sedikit lain
bentuknya, termasuk juga ke dalam cara kita berpikir sehari-harinya. Makin
cerdas otak kita dilatih oleh matematika, makin besar harapan kita akan
ketetapan dan kebenaran buah pikiran kita, yakni kalau kita perhatikan syarat
lainnya bagi kesempurnaan berpikir.
Kalau seorang bapak yang berpengalaman mengingatkan anaknya yang keras hati
bahwa uang yang ada dalam kantongnya itu tidak cukup buat perjalanan yang
begitu jauh, maka sebetulnya ia memasang alasan, seperti ahli matematika tadi
ketika sedang menguji benar tidaknya suatu persoalan. Si bapak menghitung
berapa hari jauhnya perjalanan, berapa belanja seharinya dsb. Kalau dalam
perhitungannya, ia menemukan uang yang diperlukan jauh lebih banyak dari uang
yang ada di kantong anaknya, maka ia memutuskan bahwa uang anaknya tak cukup.
Si anak terburu nafsu, salah perkiraan.
Kalau seorang advokat mengajukan, memasang beberapa hukum untuk membenarkan
perbuatan orang yang ia lindungi atau untuk menyalahkan lawannya, maka ia
sebenarnya memakai cara yang sehari-harinya juga dipakai oleh ahli matematika.
Makin tersusun alasannya, makin benar satu per satu alasan itu. Makin
tangkas ia membentuk alasannya, makin besarlah pengaruhnya pada pendengar.
Lenin, sesaat sebelum Oktober 1917, sesudah ia memperhatikan materialisme
dialektis dan mengingatkan pertentangan kelas dalam sejarah dunia dan sejarah
Rusia, mendesak pada pengikutnya untuk merebut pemerintahan dengan alasan
seperti: 1. Suasana revolusioner – ekonomi dan politik – memang cukup. 2.
Partainya memang berdisiplin keras., 3. Seluruh rakyat Rusia memang sudah
berada di bawah pengaruh partai Komunis, dan 4. Musuh di dalam dan di luar
Rusia sedang bercekcok. Ia memasang semua alasan yang benar dan tepat,
karenanya percobaan itu akan berhasil. Teorinya, dalam hal ini teori itu
berarti perhitungan, sudah benar. Hasilnya semata-mata tergantung pada
kecerdikan dan keberanian yang menjalankan.
Sebaliknya kalau kita mau mengemukakan bahwa Gandhiisme, kalau dipraktekkan
sedikit mesti meruntuhkan banyak penduduk dan kecerdasan rakyat India maka
susah kita memakai cara sintetis (memasang) alasan untuk menguji paham kita.
Dalam hal ini baik kita pakai jalan analitis. Kita misalkan Gandhi dan
gandhiisme sekarang mengemudikan India merdeka. Kita tahu bahwa Gandhi
menganggapp mesin sebagai setan dan kota tempat berkumpulnya mesin sebagai
neraka. Kita tahu, bahwa dia percaya pada “perkakas tenun tangan” yang
diangkutnya sampai ke London dan dijadikan syarat hidup bagi pengikutnya.
Sekarang kita periksa akibatnya, kalau Gandhi dan Gandhiisme mengendalikan
ekonomi Hindustan.
Setan mesin tak dipakai lagi. Dengan begitu pabrik kain, kereta api, pabrik
kimia, dan pabrik mesin sendiri tak berguna. Tambang arang, tambang besi, dll
mesti ditutup. Ilmu alam, kimia, matematika, dll apa gunanya? Sekoah yang
mengajarkan semua ilmu barat itu tak pula akan berguna lagi. Seperti buat
Gandhi, satu mangkok susu lembu sehari dengan dua atau tiga biji pisang,
barangkali sedikit nasi tak berdaging, cukuplah buat hidup sementara menunggu
perpaduan dengan yang Rohani, begitulah mestinya dia anggap besar kecilnya
keperluan manusia.
Dengan jatuhnya mesin, jatuhnya ilmu pengetahuan. Dengan jatuhnya ilmu
pengetahuan, jatuhlah ilmu kedokteran yang sehidup semati. Semaju mundur dengan
ilmu pengetahuan. Dengan begitu tak ada daya upaya lagi untuk memberantas
malaria, kolera, pes, atau penyakit baru yang mesti berjangkit akibat
pengangguran dan kelaparan yang mesti hebat dahsyat. Dengan jatuhnya ilmu kimia,
jatuhlah pertanian. Dan kalau kekurangan makanan, maka seperti dulu, tak ada
kapal atau kereta pengangkut makanan dari tempat kaya makanan ke tempat miskin
dengan lekas. Matinya manusia seperti dulu lagi, bertimbun-timbun dengan
datangnya bahaya kelaparan berulang-ulang. Jadi penduduk India, walaupun boleh
jadi suci dan alim seperti Mahatma Gandhi, akan surut anjlok ke bawah kurang
lebih 400 juta sekarang.
Dengan jalan memisahkan Gandhiisme sungguh dijalankan, kemudian memeriksa
akibatnya seperti seorang ahli matematika, kita sampai pada tesis yang kita
majukan, bahwa Gandhiisme mesti setidaknya menyusutkan penduduk India, kalau
tidak melenyapkannya sama sekali. Lenyap, sebab jangan lupa, dunia sekarang
cuma buat yang kuat saja, bukan dunia impiannya mahatma Gandhi.
Kalau seterusnya kita mau ajukan bahwa “ahimsa” Mahatma gandhi itu tak bisa
menciptakan perdamaian dunia, seperti Mahatma sendiri pernah akui bisa, maka
jitu dan pendek sekali kita gunakan cara ketiga. Menguji teori dengan
penyesatan.
Kita mulai! Kalau ada orang yang bertentangan dengan paham kita mengadakan
bisa, maka ikutilah dia sampai di sesat. “Kalau bisa”, kata kita, “tentu
perdamaian dunia sudah lama datang”. Tetapi perdamaian sekarang lenyap, sebab
itu “ahimsa” tak bisa menciptakan perdamaian dunia. Jadi paham lawan kita salah
dan kita benar QED.
Gandhi sudah terkenal di dunia fana ini sejak tahun 1919. Lebih dari 20
tahun melalui radio atau jalan lain, dia sampaikan “ahimsa” pada mereka yang
berkewajiban memegang perdamaian. Tetapi walaupun Gandhi hadir dengan “ahimsa”,
perdamaian dunia tak pernah ada dan pasti tak akan ada selama kapitalisme ada!
Memang dalam perdebatan politik acapkali dipakai metode ad absurdum ini!
Jalan ada menyelesaikan problem, yaitu “perjumpaan titik dari dua jalan”,
intersection of logis, sebenarnya tak asing bagi kita. Perhatikanlah ke mana
perginya pemburu macan yang cerdik. Ia pergi ke suatu tempat (titik) dimana
jalan macan bersilang, memutus jalan mangsanya, babi umpamanya. Pada seluruh
jalan macan itu bisa jadi ia menjumpai macan, tetapi seluruh jalan itu (lingkar
pertama) begitu panjang. Kalau ia ikuti seluruh jalan babi, boleh jadi ia akan
bertemu macan yang hendak memangsa babi. Tetapi seluruh jalan babi itu (lingkar
kedua) terlalu panjang pula. Adalah lebih dekat dan lebih besar harapan si
pemburu kalau ia pergi ke titik dimana dua lingkaran tadi berselang bertemu. Di
sini bisa jadi sekali ia berjumpa macan.
Pelarian karena mencuri atau membunuh pelarian karena politik ada banyak
perbedan tetapi ada pula persamaan. Perbedaannya tentu mudah dicari. Tetapi
persamaanya, selain melarikan diri, tiada selalu dikenal. Tetapi detektif,
resersir yang bijaksana mesti tahu akan persamaannya. Lebih-lebih kalau
perlarian politik tadi berdarah filsafat pula. Dalam hal ini si pelarian
filsafat tertarik oleh tempat yang sunyi, ini pun menarik si pencuri seperti
magnet menarik besi. Disinilah pertemuan logis kedua mahluk yang berakal tadi.
Si resesir yang ahli bijaksana tak perlu ketahui dan ikut seluruhnya jalan
si pencuri atau si pelarian politik berdarah filsafat. Dua jalan mereka
biasanya berselang, bertemu pada satu tempat, yaitu tempat yang sunyi. Inilah
rahasia buat resersir yang cerdik.
Tetapi buat pelarian yang cerdik, rahasia ini bukan rahasia lagi.
Bagaimanapun juga yang kita mau ajukan disini ialah pandangan bahwa cara
berpikir intersection of logis bukan semata-mata perangkat
berpikir ahli matematika saja.
Pasal 6. PERKEMBANGAN MATEMATIKA
TIAP-TIAP barang itu memang ada lawannya. Lawan plane geometry (geometri
bidang datar) tidak saja sudah terbit, tetapi juga pesat majunya. Di Jerman
dirintis oleh Riemann, di Rusia oleh Minkofsky. Geometry baru itu tidak lagi
berdasarkan atas bidang datar seperti geometri Euclides sekarang, tetapi atas
bidang melengkung. Bumi ini, begitulah uraian ahli geometri baru ini, bulat
seperti bola. Kita tahu di dua kutub bumi kita ini sedikit data. Jadi berapapun
kecilnya bagian bumi ini kita ambil, ia tidak mungkin datar, melainkan
melengkung. Jadi garis atau sudut pada bidang melengkung in sebenarnya tidaklah
lurus.
Kebenaran uraian ahli geometri baru itu sudah tentu tak bisa dibantah.
Tetapi dalam perhitungan sehari-hari, geometri Euclides sudah memadai. Kalau
salah, maka salahnya itu tak seberapa. Begitulah juga cara yang dipakai oleh
Einstein untuk menghitung gerhana umpamanya, berlainan dengan cara Newton.
Tetapi beda hasilnya tidaklah seberapa, cuma beberapa menit atau detik saja.
Bagi ahli bintang dan matematika perbedaan hasil perhitungan yang sedikit itu
tentu berarti besar, tetapi buat kita tidak seberapa artinya.
Bagaimana nasib geometri Euclides kelak tentulah tak seorang pun bisa
menaksir. Bisa jadi Euclides tetap dipakai buat matematika rendahan umpamanya.
Sedangkan matematika tinggi dipakai buat dasar non Euclides. Tetapi tak
mustahil non Euclides dipakai buat seluruh matematika. Mungkin pula dua sistem
cara itu berpadu, diambil yang baik dari masing-masing. Nasib ilmu pengetahuan
tidak ditentukan oleh sifat ilmu pengetahuan itu sendiri saja, tetapi juga oleh
industri dan kelas yang membutuhkan ilmu itu. Siapa tahu perusahaan baru atau
pesawat baru lebih cocok dengan sistem Riemann. Kalau begitu maka sistem inilah
yang akan dikembangkan oleh satu golongan atau negara baru.
Bagaimana pun hari depan plane geometry, ilmu ini cukup baik
untuk dipakai mengasah otak. Selain itu, yang bisa memberi obat haus pada otak
kita manusia umumnya dan pada penagih pemadat matematika khususnya, ialah rasa
ingin tahu. Kita manusia, memang hewan yang ingin tahu. Curious,
niewsgiering. Dalam hal ini kita lebih ingin tahu dibanding monyet, tikus,
dan binatang apapun juga.
Sedikit menyimpang, tetapi berbalik kesana juga! Penulis ini tegasnya,
dalam pelariannya yang lama itu bukan saja kesehatannya yang turun naik, tetapi
kantongnya pun merasakan pasang naik dan pasang surut itu. Tetapi dalam
perasaan kekurangan materi, penulis banyak mendapatkan materi pada ilmu tak
bermateri. Pada matematika ini. Persoalan matematika melupakan banyak perkara
lain-lain yang tidak diharapkan lekas datang.
Jawaban atas soal matematika yang diperoleh sendiri memberi kepercayaan
pada diri sendiri dan kegiatan untuk meneruskan. Terutama bahasa yang dipakai
dalam matematika – bahasa Inggrisnya umpamanya- jitu tajam, terang, dan merdu!
Ya, merdu buat si penulis. Semerdu-merdunya, sebab memenuhi sifat-sifat sains.
Memang masyarakat kita kekurangan pimpinan dan kebutuhan pendidikan.
Kegemaran berhitung dan berpikir memang umum di Indonesia. Di daerah yang saya
kenal ketika saya masih pemuda, kegiatan untuk berhitung itu memang luar biasa.
Di tanah Batak dan Minangkabau kegiatan itu sampai ke puncak. Di lain tempat di
Jawa Tengah umpamanya, saya dengar begitu juga. Tetapi kita tak mempunyai
pimpinan. Pendidikan ala sekolah Belanda tak menambah, bahkan membunuh kegiatan
matematika. Kalau si murid mempelajari matematika, bukan karena ia suka pada
ilmu itu, melainkan karena ia terpaksa mempelajari, untuk mendapatkan pangkat
yang tinggi, seperti opzicthter atau insinyur. Tetapi kalau ia
sudah mendapat angka yang memuaskan, matematika sebagai pelatih otak dia
lemparkan sama sekali.
Perhatiannya dari mula sampai akhir semata-mata pada gaji. Selain itu,
ribuan pemuda yang bersemangat pada matematika khususnya dan sains pada umumnya
tidak mendapat kesempatan sama sekali. Akibat kemiskinan.
Apabila soerang murid kelas bawah dari sekolah rakyat kebetulan masuk ruang
kelas tertinggi dari sekolah itu dan melihat satu soal aritmetika di papan
tulis, maka kagumlah dia. Berapa kali pun ia baca, dia tak akan mengerti
persoalan itu. Apalagi menyelesaikannya. Apabila murid kelas tertinggi dari
sekolah rakyat tadi melihat satu problem matematika di sebuah papan tulis
sekolah menengah, maka kekaguman yang kita sebutkan tadi bertukar ketakjuban.
Ia merasa kepandaiannya picik sekali. Dirinya tak berarti, Angka, huruf, garis,
dan sudut kacau balau di matanya. Sama sekali rahasia baginya. Membingungkan.
Sebenarnya matematikalah yang paling gampang kalau dibandingkan dengan
sains yang lain, yaitu bagi mereka yang berpikir logis dan cerdik memakai cara.
Bagi mereka semacam ini, tak perlu banyak menghafalkan. Sedangkan ilmu-ilmu
lain, seperti ilmu bumi dan sejarah, perlu hafal menghafal berulang-ulang.
Acapkali buktinya tak terorganisir dan tidak umum layaknya matematika dan ilmu
alam. Untuk matematika, cukup kalau teori yang tak seberapa banyak itu dipegang
dan terutama sekali berpegang teguh pada cara berpikir seperti yang sudah
diuraikan. Berbeda dengan ilmu-ilmu lain, matematika sangat teratur tingkatnya,
dari yang paling mudah ke yang sedikit lebih susah, dari sedikit susah ke
tingkat sedikit lebih tinggi, begitulah terus sampai ke puncak
setinggi-tingginya. Bagi pemuda yang berdarah logis dan cerdik, maka sekalian
tingkat itu bisa dinaiki dengan gampang. Tidak sadar mereka tiba-tiba sudah
sampai ke puncak.
Kalau sekiranya pemuda yang tidak begitu beruntung dalam masyarakat ini,
tetapi sudah punya sedikit dasar matematika, umpamanya lepasan SMP, mau belajar
sendiri, hal ini bukanlah percobaan si cebol hendak mencapai hulan. Dari
geometri bidang datar ia bisa terus ke stereometri yang mempelajari titik dan
garis tidak lagi pada satu bidang datar melainkan beberapa bidang datar (kubus,
silinder, dsb). Dari sini, sesudah mempelajari aljabar, tak berapa susahnya
naik ke tingkat yang lebih tinggi seperti trigonometri, geometri analitis,
geometri Rieman atau Minkofsky pun.
Memang pada stereometri, kita mesti berlaku lebih abstrak daripada
geometri. Di geometri kita menghadapi sudut atau bidang yang bisa digambarkan
di atas kertas, tetapi pada stereometri acapkali gambaran sudut atau bidang itu
mesti digambarkan dalam otak saja.
Memang, dengan Minsofsky kita mesti lebih abstrak lagi bila menggambarkan 4
dimensi, karena 4 dimensi itu bersandar atas 3 dimensi seperti atap kubus yang
sudah kita kenal. Kalau 2 dimensi itu terjadi dari 2 garis yang bersiku satu
sama lainnya (perpendicular upon each other) seperti bidang, maka gambar
ini bisa kita buat di atas kertas. Kalau tiga bidang siku yang bersiku pula
satu sama lainnya seperti kubus, maka gambar kubus semacam ini masih juga bisa
kita bikin di atas kertas. Tetapi 4 dimensi, yaitu tiga dimensi ditambah
dimensi waktu, time, akan gambar semacam ini tak bisa dibikin si
atas kertas dan tak bisa lagi digambarkan dalam otak. Pisahan abstraksi semacam
ini sudah sampai ke puncaknya.
Tetapi dengan memakai hukum yang diberikan oleh matematika mana juga,
dengan cara sintetis, analitis, atau reductio ad absurdum, kita
biasanya dapat menyelesaikan satu persoalan, bahkan teori relativitas Einstein
pun. Sebagian saja kalau tidak seluruhnya. Sistemnya saja, kalau sisanya tidak
bisa kita pahami.
Sedikit tentang teori relativitas ini. saya tidak ahli dalam hal ini.
Beberapa buku sudah saya baca tentang teori ini dalam bahasa Inggris.
Kebanyakan penulisnya sendiri, saya ingat, tidak bisa menjelaskan teori baru
ini. Ya, bahkan ada yang mengatakan Einstein sendiri tak tahu apa sebetulnya
teori ini. Buku Einstein sendiri, seperti Relativitas Khusus dan Relativitas
Umum (Spezielle Relativitat dan Algemeine
Relativitat) belum saya baca. Sudah atau belum bisa didefinisikannya teori
relativitas pada saat saya menulis ini tidaklah begitu penting. Teori ini sudah
diakui oleh ahli seluruh dunia. Teori ini bisa dipakai dan hasilnya lebih jitu
dari yang sudah, katanya. Barangkali karena teori ini masih muda maka ia belum
bisa didefinisikan, seperti juga listrik umpamanya. Listrik bisa ditimbulkan,
diukur dan dipakai kekuatannya, tetapi kalau ditanyakan “apa” lsitrik itu, maka
jawabnya masih berupa hipotesis. Hal ini saya pikir tidaklah merugikan.
Sepanjang perkiraan saya, selama masih ada pemikir dan pikiran di dunia ini,
selama itu pula akan terus menerus adanya hypotheses, azioma,
postulates, dugaan sebagai pangkalan berpikir. Seperti sebuah pangkalan
kapal bisa diganti, begitu juga hipotesis tadi bisa diganti.
Maksud saya mengemukakan teori relativitas ini adalah untuk sekali lagi
menasehati pemuda kita yang punya otak dan waktu, agar mempelajari teori yang
dianggap paling penting ini. Cuma berhubung dengan nasehat ini, maka saya
sedikit hendak menguraikan kesan yang saya peroleh tentang teori muda ini.
Lima belas tahun lalu saya pelajari sendiri teori ini sewaktu di Tiongkok.
Sesudah itu saya sama sekali tak membaca buku tentang itu. Sekarang sudah tentu
bukan waktunya dan sama sama sekali tak ada pustaka buat mempelajarinya sekali
lagi. Memang dulu saya sudah bisa memahami beberapa rumus Lorentz yang dipakai
oleh Einstein. Tapi tak satu pun rumus itu masuk ke dalam jembatan keledai
ingatan saya. Kesan terpenting yang saya dapatkan dari teori ini adalah kesan
yang berhubungan dengan maksud buku ini, yakni reaksi persinggungan “arah” dan
kecepatan”, suatu pergerakan dengan “titik pandang”.
Contoh (dari saya sendiri): sebuah kereta api berjalan dari Timur ke Barat.
Seorang penumpuang dalam kereta api itu berjalan dari Barat ke Timur, jadi arah
penumpang itu bertentangan dengan arah kereta api. Tetapi dipandang dari satu
titik di atas rel kereta, maka si penumpang sama arahnya dengan kereta, ialah
dari Timur ke Barat (kecuali kalau si penumpang berjalan lebih cepat dari
kereta). Dipandang dari satu titik pada lingkaran bumi mengelilingi matahari,
maka orang tadi dengan bumi ini berjalan dari Barat ke Timur. Demikianlah arah
tadi bergantung pada “titik” memandang.
Kecepatan juga begitu! Dua orang, A dan B berjalan bersongsongan. A
berjalan menuju B dan B berjalan menuju A. Kecepatan A 7 km/jam dan B 6 km/jam.
Jadi dalam 1 jam A 13 km menghampiri B. Sekarang mereka bertemu pada satu
titik. Dari titik ini mereka sama-sama berjalan, umpamanya dari Barat ke Timur.
Kalau sekarang A melihat pada B, maka tiap-tiap jam A meninggalkan B 1 km
(7-6). Kalau dibandingkan dengan posisi B, seolah-olah A berjalan 1 km saja
tiap jam. Umpamanya ada orang lain, C, berjalan juga dari Barat ke Timur,
searah dengan A dan sama cepat dengannya (7 km/jam). Maka A melihat C
seolah-olah tak bergerak. Kalau ia melihat pada C saja, maka ia sangka ia
berjalan 0 km dalam 1 jam. Dipandang dari titik baru ini, ia tak maju dan tak
mundur.
Dalam hal ini titik memandang adalah pangkal berpikir. Arah dan kecepatan
kita pergi berkaitan relatif dengan titik kita memandang.
Dalam hal ini, kalau saya tak salah, maka teori relativitas itu berhubungan
dengan Dialektika. Sepintas lalu saya mau katakan seolah-olah cara berpikir
dalam geometri itu berbanding dengan logika, seperti cara relativitas dengan
dialektika.
Perkara teori relativitas ini pada hampir penghabisan buku akan
dilanjutkan. Tetapi apa yang sudah saya tulis diatas, cuma beberapa kalimat
yang tidak berkenaan dengan teori itu sendiri. saya yang ubah. Isinya sendiri
sedikit pun tidak diubah karena memang tidak perlu diubah. Contoh yang saya
berikan pada tingkat uraian ini tentang teori relativitas saya pikir memadai,
yang akan diuraikan kelak sebagai tambahan buat memperdalam ilmu yang sudah
diketahui.
Sebelumnya saya bilang bahwa 15 tahun yang lampau saya pelajari teori
relativitas itu dan sekarang saya tak mempunyai pustaka dan waktu
mempelajarinya sekali lagi.
Pernyataan ini mesti dikoreksi. Sesudah lebih kurang setengah buku ini saya
tulis, saya mendapatkan pustaka. Walaupun tergesa-gesa, bisa juga mendapatkan
bahan baru, untuk menambah contoh dan memperdalam ilmu ini. Contoh di atas ini
boleh dianggap seperti tinjauan pendek dan populer.