SEJARAH GERAKAN MAHASISWA INDONESIA
“ Hilangkan
steriliteit dalam gerakan mahasiswa “- Judul Pidato Bung Karno di Konperensi
Besar GMNI di Kaliurang Jogjakarta, 1959. Dinamika gerakan mahasiswa menjadi
bagian penting dalam setiap gerak sejarah Bangsa ini. Sejak Pra Kemerdekaan
atau sebelum Proklamasi 17 Agustus 1945 di deklarasikan, kaum muda Indonesia
utamanya mahasiswa sudah memperlihatkan peran penting mereka. Dinamika gerakan
mahasiswa memang mewarnai kehidupan yang ada di Negara ini. Hitam-putih bangsa
ini pun tak terlepas dari gerakan-gerakan mahasiswa.
Terlalu panjang
jika harus mencatatkan perjalanan Gerakan mahasiswa Indonesia, maka dalam
tulisan ini kami coba menuliskan secara ringkas namun tidak menanggalkan
lekatan substansi sejarah yang ada. Dengan itu kami membagi dalam 7 era (
angkatan ) yang memang tidak bisa boleh dilupakan oleh seluruh Generasi bangsa
Indonesia. 1. Angkatan ’08 ( Era Kolonial/Orde Lama ) Tanggal 20 Mei 1908
berdiri organisasi Budi Utomo. Organisasi ini didirikan di Jakarta oleh
mahasiswa-mahasiswa STOVIA.
Budi Utomo lahir
dengan watak yang mulai berani melawan kekuasaan Kolonialisme pada waktu itu.
Hari kelahiran Budi Utomo dikemudian hari diperingati sebagai hari Kebangkitan
Nasional. Tak Cuma mahasiswa Indonesia yang berkuliah didalam negeri saja,
bahkan Mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang ada diluar negeri pun mulai terbuka
fikirannya. Di Belanda, Mohammad Hatta dkk mendirikan organisasi Indische
Vereeninging yang kemudian berubah nama menjadi Indonesische Vereeninging pada
tahun 1922.Organisasi ini awalnya merupakan suatu wadah kelompok diskusi
mahasiswa yang kemudian orientasi pergerakannya lebih jelas dalam hal politik.
Indische Vereniging berganti nama menjadi Perhimpunan Indonesia untuk
mengakomodasi semua orang Hindia (Indonesia) tanpa diskriminasi. 2. Angkatan
’28 ( Era Persatuan Pemuda ) Soetomo pada tanggal 19 oktober 1924 mendirikan
Kelompok Studi Indonesia (Indonesische Studie-club). Tujuan utamanya adalah
menyebarluaskan prinsip-prinsip persatuan dan solidaritas Indonesia.
Indonesische Studiedub mempunyai misi untuk mendorong kaum terpelajar di
kalangan orang-orang pribumi supaya memupuk kesadaran hidup bermasyarakat,
pengetahuan politik, mendiskusikan masalah-masalah nasional dan sosial, serta
bekerja sama untuk membangun Indonesia.
Terbentuknya
Indonesische Studiedub ini merangsang dibentuknya kelompok-kelompok studi di
tempat lain, seperti di Bandung, Yogyakarta, Jakarta, Semarang, dan Solo.
Selain ISC, kelompok studi yang paling aktif adalah Algemene Studiclub di
Bandung, oleh Soekarno dan kawan – kawannya dari Sekolah Tinggi Teknik (ITB)
yang di bentuk pada tanggal 11 Juli 1925. Pembentukan kelompok-kelompok diskusi
ini merupakan bentuk kekecewaan mereka terhadap perkembangan pergerakan politik
mahasiswa yang semakin tumpul pada masa itu. Kemudian pada tahun 1926,
terbentuklah organisasi Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI) yang
merupakan organisasi yang berusaha untuk menghimpun seluruh mahasiswa di
Indonesia dan lebih menyuarakan yang namanya wawasan kebangsaan dalam diri
mahasiswa. Hal tersebut lah yang kemudian mereka realisasikan dengan
menyelenggarakan sebuah kongres paling bersejarah dalam dunia kepemudaan mahasiswa
di tanah air. Yaitu Kongres Pemuda II yang berlangsung di Jakarta pada 26-28
Oktober 1928 yang kemudian menghasilkan sumpah pemuda yang sangat bersejarah
untuk bangsa ini. 3. Angkatan ’45 ( Era Awal Pemerintahan Soekarno/Orde Asli )
Kondisi pendidikan maupun kehidupan politik pada zaman pemerintahan Jepang jauh
lebih represif dibandingkan dengan kolonial Belanda, antara lain dengan
melakukan pelarangan terhadap segala kegiatan yang berbau politik, dan hal ini
ditindak lanjuti dengan membubarkan segala organisasi pelajar dan mahasiswa,
termasuk partai politik.
Dalam perkembangan
berikutnya, dari dinamika pergerakan nasional yang ditandai dengan kehadiran
kelompok-kelompok studi, dan akibat pengaruh sikap penguasa Belanda yang
menjadi Liberal, muncul kebutuhan baru untuk menjadi partai politik, terutama
dengan tujuan memperoleh basis massa yang luas. Kelompok Studi Indonesia
berubah menjadi Partai Bangsa Indonesia (PBI), sedangkan Kelompok Studi Umum
menjadi Perserikatan Nasional Indonesia (PNI). Secara umum kondisi pendidikan
maupun kehidupan politik pada zaman pemerintahan Jepang jauh lebih represif
dibandingkan dengan kolonial Belanda, antara lain dengan melakukan pelarangan
terhadap segala kegiatan yang berbau politik; dan hal ini ditindak lanjuti
dengan membubarkan segala organisasi pelajar dan mahasiswa, termasuk partai
politik, serta insiden kecil di Sekolah Tinggi Kedokteran Jakarta yang
mengakibatkan mahasiswa dipecat dan dipenjarakan. Praktis, akibat kondisi yang
vacuum tersebut, maka mahasiswa kebanyakan akhirnya memilih untuk lebih
mengarahkan kegiatan dengan berkumpul dan berdiskusi, bersama para pemuda
lainnya terutama di asrama-asrama.
Tiga asrama yang
terkenal dalam sejarah, berperan besar dalam melahirkan sejumlah tokoh, adalah
Asrama Menteng Raya, Asrama Cikini, dan Asrama Kebon Sirih. Tokoh-tokoh inilah
yang nantinya menjadi cikal bakal generasi 1945, yang menentukan kehidupan
bangsa. Salah satu peran angkatan muda 1945 yang bersejarah, dalam kasus
gerakan kelompok bawah tanah yang antara lain dipimpin oleh Chairul Saleh dan
Soekarni saat itu, yang terpaksa menculik dan mendesak Soekarno dan Hatta agar
secepatnya memproklamirkan kemerdekaan, peristiwa ini dikenal kemudian dengan
peristiwa Rengasdengklok. 4. Angkatan ’66 ( Kejatuhan Pemerintahan Soekarno/Era
awal Rezim Soeharto ) Pasca Kemerdekaan Indonesia ditahun 1945, gerakan-gerakan
mahasiswa/ kaum muda tak pernah berhenti bahkan justru semakin menguat.
Terbukti dari munculnya organisasi-organisasi mahasiswa di masing-masing kampus
yang ada. Di era awal Kemerdekaan ini, banyak organisasi-organisasi mahasiswa
yang sudah ada sejak zaman penjajahan kemudian terlahir kembali dengan terlebih
dahulu mengalami penyatuan dengan organisasi-organisasi yang di pandang
memiliki kesamaan terutama dalam landasan berfikir dan bergeraknya.
Pergerakan
Mahasiswa Katholik Indonesia ( PMKRI ) yang berfungsi sebagai organisasi
pembinaan dan organisasi perjuangan mahasiswa katolik di sahkan pada tahun 1947
setelah mengalami peleburan dengan beberapa organisasi katholik lainnya,
setelah itu terbentuk organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang juga
merupakan hasil peleburan dengan organisasi-organisasi islam sebelumnya,
kemudian terbentuk pula Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI)
yang didirikan melalui kongres mahasiswa di Malang. Memasuki tahun 1950,
kemudian terbentuklah Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia ( GMKI ) mengusung
spirit Kristiani dan juga embrio-embrionya sudah ada sejak zaman penjajahan,
pada tahun 1954 kemudian lewat proses fusi beberapa organisasi, lahirlah
Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia ( GmnI ) dengan mengusung Ideologi
Marhaenisme, ajaran Soekarno.
Kemudian lahir pula
Gerakan Mahasiswa Sosialis ( GemSos ) yang berfaham Sosialis sementara pada
tahun 1956 lahirlah Central-Gerakan Mahasiswa Indonesia ( C-GMI ) yang berfaham
Komunis dan di tahun 1960 lahirlah Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia ( PMII )
yang bercorak Nahdatul Ulama.
Di antara
organisasi mahasiswa pada masa itu, GmnI dan CGMI lebih menonjol dengan PNI dan
PKI yang tampil sebagai salah satu partai kuat hasil Pemilu 1955. CGMI dan GmnI
secara berani menjalankan politik konfrontasi dengan organisasi mahasiswa
lainnya, bahkan lebih jauh berusaha memengaruhi PPMI, kenyataan ini menyebabkan
perseteruan sengit antara CGMI dengan HMI terutama dipicu karena banyaknya
jabatan kepengurusan dalam PPMI yang direbut dan diduduki oleh CGMI dan juga
GMNI-khususnya setelah Konggres V tahun 1961.
Pertarungan sengit
antara Organisasi Nasionalis dan Komunis melawan organisasi yang berbasis
Agamis pun semakin menguat belum lagi dengan upaya dari ABRI yang dengan
perlahan mendekati kelompok agamis guna merontokkan PKI yang merupakan basis
pendukung Soekarno setelah PNI. Hal itu kemudian berujung pada meletusnya
Gerakan 30 September 1966 atau yang disebut Bung Karno Gestok. Peristiwa
tersebut menurut tafsiran Rezim Soeharto adalah upaya kudeta yang hendak
dilakukan oleh PKI namun berhasil digagalkan sementara banyak yang berpendapat
hal itu adalah rekaya dari Amerika untuk menghancurkan pengaruh Komunisme serta
menggulingkan pemerintahan Soekarno yang terkenal anti terhadap Amerika dkk (
Nekolim ).
Tanggal 25 Oktober
1966 yang merupakan hasil kesepakatan sejumlah organisasi yang berhasil
dipertemukan oleh Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan (PTIP) Mayjen
dr. Syarief Thayeb, yakni PMKRI, HMI,PMII,Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia
(GMKI), Sekretariat Bersama Organisasi-organisasi Lokal (SOMAL), Mahasiswa
Pancasila (Mapancas), dan Ikatan Pers Mahasiswa (IPMI) terbentuklah Kesatuan
Aksi Mahasiswa Indonesia ( KAMI ). Tujuan pendiriannya, terutama agar para
aktivis mahasiswa dalam melancarkan perlawanan terhadap PKI menjadi lebih
terkoordinasi dan memiliki kepemimpinan. Munculnya KAMI diikuti berbagai aksi
lainnya, seperti Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda
Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), dan
lain-lain. Kesatuan-kesatuan Aksi tersebut dibantu dengan Militer ( Angkatan
Darat ) yang kemudian melancarkan aksi berupa demonstrasi serta terror kepada
pemerintahan Soekarno dan Organisasi-organisasi pendukungnya. Praktis GmnI
serta C-GMI menjadi sorotan utama mereka, penangkapan hingga penahanan terhadap
pimpinan-pimpinan 2 organisasi tersebut pun dilakukan. Tak hanya itu,
gerakan-gerakan mahasiswa/gerakan pemuda pun terlibat dalam aksi pemusnahan
simpatisan ( masyarakat yang di cap komunis ) diberbagai daerah yang ada di
Indonesia. Aksi-aksi yang terus dilakukan pun menjadi salah satu gelombang yang
menggulung pemerintahan Soekarno.
Lewat surat
“misteri” Perintah Sebelas Maret ( SUPERSEAMAR ) Pemerintahan Soekarno perlahan
mulai dilucuti dan pada akhirnya 1 Juli 1966, Soeharto ditunjuk sebagai pejabat
presiden berdasarkan Tap MPRS No XXXIII/1967 pada 22 Februari 1967. Selaku
pemegang Ketetapan MPRS No XXX/1967, Soeharto kemudian menerima penyerahan
kekuasaan pemerintahan dari Presiden Soekarno. Melalui Sidang Istimewa MPRS,
pada 7 Maret 1967, Soeharto ditunjuk sebagai pejabat presiden sampai
terpilihnya presiden oleh MPR hasil pemilihan umum. Naiknya Soeharto menjadi
Presiden menjadi angin segar bagi para tokoh-tokoh mahasiswa angkatan 66 yaitu
dengan banyak yang duduk di kursi DPR/MPR serta diangkat dalam kabibet
pemerintahan Orde Baru.
Cosmas Batubara (Eks Ketua Presidium KAMI Pusat),
Sofyan Wanandi, Yusuf Wanandi ketiganya dari PMKRI, Akbar Tanjung dari HMI dll
pun berada dalam lingkaran pemerintahan Rezim Soeharto. 5. Angkatan 74 ( Era
kebangkitan Perlawanan Terhadap Rezim ) Ditahun-tahun ini, ada perbedaan dalam
karakter berjuang Gerakan Mahasiswa dengan pendahulu-pendahulu mereka. jika
angkatan 66 disokong oleh kekuatan militer, angkatan 74 justru berhadapan
dengan militer. Sebelum gerakan mahasiswa 1974 meledak, bahkan sebelum
menginjak awal 1970-an, sebenarnya para mahasiswa telah melancarkan berbagai
kritik dan koreksi terhadap praktek kekuasaan rezim Orde Baru, seperti: •
Golput yang menentang pelaksanaan pemilu pertama pada masa Orde Baru pada 1972
karena Golkar dinilai curang. • Gerakan menentang pembangunan Taman Mini
Indonesia Indah pada 1972 yang menggusur banyak rakyat kecil yang tinggal di
lokasi tersebut. Diawali dengan reaksi terhadap kenaikan harga Bahan Bakar
Minyak (BBM), aksi protes lainnya yang paling mengemuka disuarakan mahasiswa
adalah tuntutan pemberantasan korupsi. Lahirlah, selanjutnya apa yang disebut
gerakan “Mahasiswa Menggugat” yang dimotori Arif Budiman yang merupakan Kakak
dari Soe Hok Gie, salah satu aktivis angkatan 66.
Berbagai borok
pembangunan dan demoralisasi perilaku kekuasaan rezim Orde Baru terus mencuat.
Menjelang Pemilu 1971, pemerintah Orde Baru telah melakukan berbagai cara dalam
bentuk rekayasa politik, untuk mempertahankan dan memapankan status quo dengan
mengkooptasi kekuatan-kekuatan politik masyarakat antara lain melalui bentuk
perundang-undangan. Misalnya, melalui undang-undang yang mengatur tentang
pemilu, partai politik, dan MPR/DPR/DPRD. Muncul berbagai pernyataan sikap
ketidakpercayaan dari kalangan masyarakat maupun mahasiswa terhadap sembilan
partai politik dan Golongan Karya sebagai pembawa aspirasi rakyat. Sebagai
bentuk protes akibat kekecewaan, mereka mendorang munculnya Deklarasi Golongan
Putih (Golput) pada tanggal 28 Mei 1971 yang dimotori oleh Arif Budiman, Adnan
Buyung Nasution, Asmara Nababan.
terus berlanjut.
Tahun 1972, dengan isu harga beras naik, berikutnya tahun 1973 selalu diwarnai
dengan isu korupsi sampai dengan meletusnya demonstrasi memprotes PM Jepang
Kakuei Tanaka yang datang ke Indonesia dan peristiwa Malari pada 15 Januari
1974. Peristiwa Malari (Malapetaka Limabelas Januari) adalah peristiwa
demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan sosial yang terjadi pada 15 Januari 1974.
Peristiwa itu terjadi saat Perdana Menteri (PM) Jepang Tanaka Kakuei sedang
berkunjung ke Jakarta (14-17 Januari 1974). Mahasiswa merencanakan menyambut
kedatangannya dengan berdemonstrasi di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma.
Karena dijaga ketat, rombongan mahasiswa tidak berhasil menerobos masuk
pangkalan udara. Tanggal 17 Januari 1974 pukul 08.00, PM Jepang itu berangkat
dari Istana tidak dengan mobil, tetapi diantar Presiden Soeharto dengan
helikopter dari Bina Graha ke pangkalan udara. Kedatangan Ketuaa
Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), Jan P. Pronk dijadikan momentum
untuk demonstrasi antimodal asing.
Klimaksnya,
kedatangan PM Jepang, Januari 1974, disertai demonstrasi dan kerusuhan. 6.
Angkatan 77/78 ( Era NKK/BKK ) Setelah peristiwa Malari, hingga tahun 1975 dan
1976, berita tentang aksi protes mahasiswa nyaris sepi. Mahasiswa disibukkan
dengan berbagai kegiatan kampus. Menjelang dan terutama saat-saat antara
sebelum dan setelah Pemilu 1977, barulah muncul kembali pergolakan mahasiswa
yang berskala massif. Pada sekitra Juli 1977, Pemerintah mencoba untuk
mendekati mahasiswa, Tim Dialog Pemerintah yang akan berkampanye di berbagai
perguruan tinggi pun dibentuk. Namun, upaya tim ini ditolak oleh mahasiswa. Hal
itu kemudian berimbas pada pendudukan militer atas kampus-kampus karena
mahasiswa dianggap telah melakukan pembangkangan politik, penyebab lain adalah
karena gerakan mahasiswa 1978 lebih banyak berkonsentrasi dalam melakukan aksi
diwilayah kampus. Karena gerakan mahasiswa tidak terpancing keluar kampus untuk
menghindari peristiwa tahun 1974, maka akhirnya mereka diserbu militer dengan
cara yang brutal.
Hal ini kemudian
diikuti oleh dihapuskannya Dewan Mahasiswa dan diterapkannya kebijakan NKK/BKK
di seluruh Indonesia. Setelah gerakan mahasiswa 1978, praktis tidak ada gerakan
besar yang dilakukan mahasiswa selama beberapa tahun akibat diberlakukannya konsep
Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) oleh
pemerintah secara paksa. Kebijakan NKK dilaksanakan berdasarkan SK No.0156/U/1978 sesaat setelah Dooed Yusuf dilantik
tahun 1979. Konsep ini mencoba mengarahkan mahasiswa hanya menuju pada jalur
kegiatan akademik. Menyusul pemberlakuan konsep NKK, pemerintah dalam hal ini
Pangkopkamtib Soedomo melakukan pembekuan atas lembaga Dewan Mahasiswa, sebagai
gantinya pemerintah membentuk struktur keorganisasian baru yang disebut BKK. Berdasarkan
SK menteri P&K No.037/U/1979kebijakan ini membahas
tentang Bentuk Susunan Lembaga Organisasi Kemahasiswaan di Lingkungan Perguruan
Tinggi, dan dimantapkan dengan penjelasan teknis melalui Instruksi Dirjen
Pendidikan Tinggi tahun 1978 tentang pokok-pokok pelaksanaan penataan kembali
lembaga kemahasiswaan di Perguruan Tinggi. Kebijakan BKK itu secara implisif
sebenarnya melarang dihidupkannya kembali Dewan Mahasiswa, dan hanya
mengijinkan pembentukan organisasi mahasiswa tingkat fakultas (Senat Mahasiswa
Fakultas-SMF) dan Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas (BPMF).
Namun hal yang
terpenting dari SK ini terutama pemberian wewenang kekuasaan kepada rektor dan
pembantu rektor untuk menentukan kegiatan mahasiswa, yang menurutnya sebagai
wujud tanggung jawab pembentukan, pengarahan, dan pengembangan lembaga
kemahasiswaan. Dengan konsep NKK/BKK inilah kemudian muncul “stempel”
organisasi intra ( internal ) dan ekstra ( eksternal ) kampus yang tentu saja
gunanya memecah konsentrasi gerakan mahasiswa dengan mencoba menyibukkan
mahasiswa dengan aktivitas yang tidak bersentuhan dengan rakyat. Di awal-awal
tahun 80-an muncul kelompok-kelompok studi sebagai alternatif terhadap suasana
birokratis dan apolitis wadah intra kampus. Dalam perkembangannya eksistensi kelompok
ini mulai digeser oleh kehadiran wadah-wadah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
yang tumbuh subur pula sebagai alternatif gerakan mahasiswa. 7. Angkatan 98 (
Detik-detik tumbangnya Soeharto/Era Reformasi ) Memasuki awal tahun 1990-an, di
bawah Mendikbud Fuad Hasan kebijakan NKK/BKK dicabut dan sebagai gantinya
keluar Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan (PUOK).
Melalui PUOK ini
ditetapkan bahwa organisasi kemahasiswaan intra kampus yang diakui adalah Senat
Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT), yang didalamnya terdiri dari Senat Mahasiswa
Fakultas (SMF) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Namun tetap saja PUOK ini
bertujuan mengekang aktivitas Gerakan Mahasiswa, bahkan cenderung lebih
tersistematis hingga mahasiswa benar-benar nyaris tidak memiliki waktu untuk
melebur bersama rakyat karena disibukkan dengan kegiatan kampus mereka. Krisis
moneter pada pertengahan tahun 1997 pun menjadi momen bagi Gerakan Mahasiswa
untuk kembali muncul. Kelompok-kelompok diskusi ataupun organisasi-organisasi
yang selama ini “bersembunyi” mulai memberanikan diri untuk tampil. Namun para
analis asing kerap menyoroti percepatan gerakan pro-demokrasi pasca Peristiwa
27 Juli 1996 Peristiwa 27 Juli 1996, disebut sebagai Peristiwa Kudatuli (
KERUSUHAN DUA PULUH TUJUH JULI) adalah peristiwa pengambilalihan secara paksa
kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jl Diponegoro 58 Jakarta Pusat
yang saat itu dikuasai pendukung Megawati Soekarnoputri. Penyerbuan dilakukan
oleh massa pendukung Soerjadi (Ketua Umum versi Kongres PDI di Medan) serta
dibantu oleh aparat dari kepolisian dan TNI yang memang sudah gerah dengan
tindak-tanduk Megawati bersama dengan aktvis gerakan mahasiswa yang secara
terang-terangan mengecam pemerintahan rezim Soeharto. Peristiwa ini meluas
menjadi kerusuhan di beberapa wilayah di Jakarta, khususnya di kawasan Jalan
Diponegoro, Salemba, Kramat. Beberapa kendaraan dan gedung terbakar.
Budiman Sudjatmiko
( aktivis Partai Rakyat Demokratik ) mendapat hukuman terberat, yakni 13 tahun
penjara sementara yang lain banyak yang bersembunyi menghindari pengejaran
militer. Ditahun-tahun itulah kemudian harga-harga kebutuhan melambung tinggi,
daya beli masyarakat pun berkurang. Tuntutan mundurnya Soeharto menjadi agenda
nasional gerakan mahasiswa. Ibarat gayung bersambut, gerakan mahasiswa dengan
agenda reformasi mendapat simpati dan dukungan dari rakyat. menjelang
pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 1997 dan Sidang Umum Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) tahun 1998 terjadilah penculikan kepada para
aktivis aktivis pro-demokrasi yang terjadi Peristiwa penculikan ini dipastikan
berlangsung dalam tiga tahap: Menjelang pemilu Mei 1997, dalam waktu dua bulan
menjelang sidang MPR bulan Maret, sembilan di antara mereka yang diculik selama
periode kedua dilepas dari kurungan dan muncul kembali. Beberapa di antara
mereka berbicara secara terbuka mengenai pengalaman mereka.
Tapi tak satu pun
dari mereka yang diculik pada periode pertama dan ketiga muncul. Selama periode
1997/1998, KONTRAS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan)
mencatat 23 orang telah dihilangkan oleh alat-alat negara. Dari angka itu, 1
orang ditemukan meninggal (Leonardus Gilang), 9 orang dilepaskan penculiknya,
dan 13 lainnya masih hilang hingga hari ini Sembilan aktivis yang dilepaskan
adalah: 1. Desmond Junaidi Mahesa, diculik di Lembaga Bantuan Hukum Nusantara,
Jakarta, 4 Februari 1998 2. Haryanto Taslam , 3. Pius Lustrilanang, diculik di
panpan RSCM, 2 Februari 1998 [ 4. Faisol Reza, diculik di RSCM setelah
konferensi pers KNPD di YLBHI, Jakarta, 12 Maret 1998 5. Rahardjo Walujo Djati,
diculik di RSCM setelah konferensi pers KNPD di YLBHI, Jakarta, 12 Maret 1998
6. Nezar Patria, diculik di Rumah Susun Klender, 13 Maret 1998 7. Aan
Rusdianto, diculik di Rumah Susun Klender, 13 Maret 1998 8. Mugianto, diculik
di Rumah Susun Klender, 13 Maret 1998 9. Andi Arief, diculik di Lampung, 28
Maret 1998 Ke-13 aktivis yang masih hilang dan belum kembali berasal dari
berbagai organisasi, seperti Partai Rakyat Demokratik, PDI Pro Mega, Mega
Bintang, dan mahasiswa ;
1. Petrus Bima Anugrah (mahasiswa
Unair dan STF Driyakara, aktivis SMID. Hilang di Jakarta pada 30 Maret 1998)
[14] 2. Herman Hendrawan (mahasiswa Unair, hilang setelah konferensi pers KNPD
di YLBHI, Jakarta, 12 Maret 1998) [15] 3. Suyat (aktivis SMID. Dia hilang di
Solo pada 12 Februari 1998) 4. Wiji Thukul (penyair, aktivis JAKER. Dia hilang
diJakarta pada 10 Januari 1998) 5. Yani Afri (sopir, pendukung PDI Megawati,
ikut koalisi Mega Bintang dalam Pemilu 1997, sempat ditahan di Makodim Jakarta Utara.
Dia hilang di Jakarta pada 26 april 1997) 6. Sonny (sopir, teman Yani Afri,
pendukung PDI Megawati. Hilang diJakarta pada 26 April 1997) 7. Dedi Hamdun
(pengusaha, aktif di PPP dan dalam kampanye 1997 Mega-Bintang. Hilang di
Jakarta pada 29 Mei 1997) 8. Noval Al Katiri (pengusaha, teman Deddy Hamdun,
aktivis PPP. Dia hilang di Jakarta pada 29 Mei 1997) 9. Ismail (sopir Deddy
Hamdun. Hilang di Jakarta pada 29 Mei 1997) 10. Ucok Mundandar Siahaan
(mahasiswa Perbanas, diculik saat kerusuhan 14 Mei 1998 di Jakarta) 11. Hendra
Hambali (siswa SMU, raib saat kerusuhan di Glodok, Jakarta, 15 Mei 1998) 12.
Yadin Muhidin (alumnus Sekolah Pelayaran, sempat ditahan Polres Jakarta Utara.
Dia hilang di Jakarta pada 14 Mei 1998) 13. Abdun Nasser (kontraktor, hilang saat
kerusuhan 14 Mei 1998, Jakarta) Mugiyanto, Nezar Patria, Aan Rusdianto (korban
yang dilepaskan) tinggal satu rumah di rusun Klender bersama Bimo Petrus
(korban yang masih hilang). Faisol Reza, Rahardjo Walujo Djati (korban yang
dilepaskan), dan Herman Hendrawan (korban yang masih hilang) diculik setelah
ketiganya menghadiri konferensi pers KNPD di YLBHI pada 12 Maret 1998. Hari
demi hari demonstrasi bertambah gencar dilaksanakan oleh para mahasiswa,
terutama setelah pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM dan ongkos angkutan
pada tanggal 4 Mei 1998. Agenda reformasi yang menjadi tuntutan para mahasiswa
mencakup beberapa tuntutan, seperti: • Adili Soeharto dan kroni-kroninya, •
Laksanakan amandemen UUD 1945, • Hapuskan Dwi Fungsi ABRI, • Pelaksanaan otonomi
daerah yang seluas-luasnya, • Tegakkan supremasi hukum, • Ciptakan pemerintahan
yang bersih dari KKN Gedung parlemen, yaitu Gedung Nusantara dan gedung-gedung
DPRD di daerah, menjadi tujuan utama mahasiswa dari berbagai kota di Indonesia.
Seluruh elemen mahasiswa yang berbeda paham dan aliran dapat bersatu dengan
satu tujuan untuk menurunkan Soeharto. Dalam gerakan mahasiswa pada tahun 1998,
Forum Kota bersama FKSMJ tercatat oleh sejarah sebagai organ gerakan mahasiswa
pertama yang memasuki Gedung DPR/MPR pada tanggal 18 Mei 1998. pada awalnya
Forkot beranggotakan 16 kampus yang memilki akar sejarah pergerakan mahasiswa
seperti UKI (Universitas Kristen Indonesia), IKIP Jakarta (sekarang Universitas
Negeri Jakarta), IAIN Syarif Hidayatullah, Unas (Universitas Nasional), ISTN
(Institut Sains dan Teknologi Nasional), Atmajaya, Institut Teknologi
Indonesia, Universitas Jayabaya dan lain sebagainya. Kemudian jumlah itu sempat
membengkak menjadi 70-an lebih kampus. Forum Kota sendiri dibentuk untuk
menyatukan Gerakan yang ada dikampus-kampus seputar Jakarta, dengan Adian
Napitupulu sebagai salah satu pengagasnya. Ditahun ini pula lahir salah satu
organisasi mahasiswa bernama KAMMI ( Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia )
yang berbasis mahasiswa Muslim dengan mengambil momentum pada pelaksanaan Forum
Silahturahmi Lembaga Dakwah Kampus (FS-LDK) X se-Indonesia yang diselenggarakan
di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Acara ini dihadiri oleh 59 LDK yang
berafiliasi dari 63 kampus (PTN-PTS) diseluruh Indonesia . Jumlah peserta
keseluruhan kurang lebih 200 orang yang notabenenya adalah mahasiswa yang aktif
di lembaga dakwah kampus. Fahry Hamzah ( Politikus Partai Keadilan Sejahtera )
terpilih menjadi Ketua Umum pertama. Selanjutnya didalam Gerakan 1998 yang menuntut
reformasi dan dihapuskannya “KKN” (korupsi, kolusi dan nepotisme) pada
1997-1998, lewat pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa, akhirnya
memaksa Presiden Soeharto melepaskan jabatannya. Berbagai tindakan represif
yang menewaskan aktivis mahasiswa dilakukan pemerintah untuk meredam gerakan
ini di antaranya: Peristiwa Cimanggis, Peristiwa Gejayan, Tragedi Trisakti,
Tragedi Semanggi I dan II , Tragedi Lampung. Gerakan ini terus berlanjut hingga
pemilu 1999. Dalam peristiwa-perisitiwa inilah beberapa nama mahasiswa pun
tercatat menjadi korban hingga kehilangan nyawa. 8. Angkatan Pasca Reformasi (
Era Demokrasi ) Ditahun-tahun pasca reformasi, Gerakan mahasiswa bisa dikatakan
kehilangan daya juang mereka. hingga saaat ini 16 tahun pasca Gerakan 1998
bergulir, tidak ada gerakan mahasiswa yang bisa dikatakan massif terjadi.
Selain dari gagalnya agenda reformasi yang banyak diakui oleh para aktivis
reformasi, agenda reformasi pun digagalkan oleh kemunculan reformis-reformis
gadungan. Selain itu tak sedikit pula Aktivis era 74, 76/77 hingga 98 justru
seakan kehilangan idealismenya ketika bersepakat untuk ikut dalam politik
transaksional yang menyengsarakan rakyat dan tak tangggung-tanggung stempel “
mantan aktivis “ pun seolah menjadikan mereka komoditas unggul dalam pasar
partai politik.
Era kebebasan yang
didapatkan setelah Selama 32 tahun terkungkung dalam baying kekejaman rezim
Soeharto pun seakan terlewati begitu saja. Gerakan-gerakan mahasiswa justru
tidak memaknai kebebasan tersebut sebagai alat untuk memperjuangkan cita-cita
kemerdekaan, sebaliknya organisasi-organisasi mahasiswa justru seakan dinina
bobokan dengan kebebasan tersebut. Bisa dikatakan hingga kini dari sekian
banyaknya organisasi mahasiswa yang ada, tak banyak yang masih berada di jalur
yang semestinya, dimana tetap berada dalam barisan rakyat. belum terhapusnya
pola berfikir peninggalan Rezim Soeharto ( organisasi internal dan eksternal
kampus ) dan diperparah dengan tida adanya upaya untuk duduk bersama dan
bergerak bersama ditengah lingkaran rakyat semakin menambah kemunduran gerakan.
Hal itulah yang seharusnya menjadi PR untuk diselesaikan bersama saat ini,
bahwa tak ada yang membedakan antara Internal dan eksternal karena mereka
memiliki tangggung jawab yang sama yakni bagaimana menegakkan Tri Darma
Perguruan Tinggi.
Dari sedikit
catatan-catatan gerakan pemuda/Mahasiswa diatas, sudah semestinya kita kembali
untuk memulai merubah pola berfikir serta berjuang kita. Pola fikir yang
cenderung reformis, kompromi terhadap hal-hal yang justru kita tahu
menyengsarakan rakyat, pola berfikir yang birokratis, elitis, kariris ataupun
oportunis itu pun harus dihilangkan. Selain itu pula, kita sudah seharusnya
semakinmendekatkan diri kepada rakyat, apalagi kita percaya bahwa perubahan
hanya bisa terjadi dengan kekuatan perjuangan bersama rakyat. Dan yang menjadi
tugas yang tak kalah pentingnya adalah menyingkirkan pola berfikir peninggalan
rezim Soeharto yang mengkotak-kotakkan yang memisahkan antara gerakan rakyat
dengan gerakan mahasiswa, yang memisahkan atau memberikan identitas adanya
organisasi internal maupun eksternal, karena tak ada gunanya lagi kita
meributkan hal itu, memperdebatkan hal yang sama sekali tidak akan merubah
kehidupan atau keberlangsungan berbangsa-bernegara. Bahkan sudah saatnya
organisasi-organisasi ataupun Lembaga-lembaga Mahasiswa untuk saling melingkar
bersama, berdiskusi serta bergerak bersama-sama untuk melanjutkan cita-cita
para kemerdekaan, Membangun suatu tatanan dunia, dimana semua manusia hidup
bergandengan tangan, tanpa penindasan bangsa atas bangsa, tanpa penghisapan
manusia atas manusia. 888 Tulisan ini terutama dipersembahkan kepada seluruh
kawan-kawan gerakan, semoga bermanfaat. Rakyat bersatu tak bisa dikalahkan.
—Diambil dari
berbagai sumber—